“Bangunan sentral di kawasan Kota Tua, Jakarta yang letaknya di areal Taman Fatahillah ini mencatat perkembangan kota pelabuhan yang sekarang menjelma menjadi kota metropolitan, Jakarta”
Jelajah museum kali ini saya menyambangi museum yang banyak orang salah
dalam menyebutkan namanya. Seperti halnya Museum Gajah yang sebenarnya adalah
Museum Nasional, museum ini pun nama aslinya adalah Museum Sejarah Jakarta.
Tapi, museum yang terletak di Jalan Fatahillah ini lebih dikenal dengan nama
Museum Fatahillah. Ternyata disamping karena letaknya, penamaan tersebut untuk mengenang pemberi nama
Jayakarta yang tadinya Sunda Kelapa yaitu Pangeran Fatahillah dari kerajaan
Demak tahun 1526.
Museum yang menempati bangunan bergaya neo-klasik ini dulunya adalah
kantor balai kota Batavia pada masa kolonial Belanda lengkap dengan penjara
bawah tanahnya. Dari luar, tampak kesan bangunan klasik khas Belanda yang
pembangunannya dimulai tahun 1620, dengan kubah yang ada arah mata angin di ujung
atapnya dan serambi di kedua sisinya. Sekarang bangunan ini diperuntukan sebagai
ruang pamer pada lantai 1 dan 2, dan ada taman, kantor administrasi, dan kantin
di bagian belakangnya.
Melewati gerbang sejarah (baca : pintu masuk), kita langsung disambut
penjaga loket. Dengan membayar tidak lebih dari 5000 rupiah kita sudah mendapat
ijin menembus zaman -zaman perkembangan Jakarta. Untuk mendapatkan informasi yang lebih efisien sebaiknya kita mengikuti
peta yang sudah menujukan nomor ruangan yang diurutkan berdasarkan zaman. Di
lantai 1, kita bisa mulai dengan memasuki ruangan sebelah kanan dari loket.
Disana ada informasi mengenai Jakarta, foto gubernur (baru sampai Bang Yos) dan
ada warung rokok pinggir jalan. Tapi sayang, tidak dijelaskan mengapa warung
pojok dan becak dipajang disana.
Merunut pada setiap ruangan selanjutnya, kita disuguhi berbagai replika,
prasati dan pajangan dari zaman prasejarah dan kerajaan-kerajaan di sekitar
Sunda Kelapa. Saya sempat bertanya pada pemandu wisata yang sedang memandu
bule-bule, apakah Prasati Ciaruteun yang ada disana asli atau replika. Si guide
menjawab asli, padahal saya tahu kalau itu replika. “itu asli mas” ujarnya
yakin. Patut dipertanyakan nih guide.
Lanjut lagi, kita akan memasuki zaman kolonial Belanda dan Jepang serta hal-hal
yang berbau Betawi.
Di lantai 2 isinya kebanyakan meubel-meubel tua dan ruangan-ruangan pertemuan
yang digunakan pada zaman Belanda. Ada kursi, meja, lemari bahkan cermin besar
disana. Di lantai 2 ini juga saya sempat menguping penjelasan guide yang salah.
Saat sampai di replika lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro”, si guide
menjelaskan lukisan tersebut adalah lukisan Tuanku Imam Bojol. “Darimana
sumbernya itu bang, udah jelas ada judul tulisannya.” Saya membatin. Tapi tak
apa lah bertemu rombongan bule itu lagi, si anak yang cewenya, cantik. Hehehe.
Di bagian taman, ada 2 pajangan menarik yaitu patung dewa Hermes yang
saat itu sedang dipugar. Saya selalu bertanya-tanya kenapa banyak sekali dewa
Hermes di museum-museum Jakarta. Yang menjadi perhatian selain penjara bawah
tanah yang gelap dan masih lengkap dengan besi-besi bulat tentu saja meriam si
Jagur yang berlambang “jempol kejepit” atau dalam bahasa portugis “Mano in
Figa” yang berarti kesuburan dan kepercayaan. Meriam itu sangat anggun dan
unik, ada tulisan huruf romawi yang berbunyi “Ex me ipsa renata sum” yang
artinya “saya lahir kembali dari diri saya”. Sayang meriam bernilai historis
dan spiritual tinggi yang memiliki berat 3,5 ton itu masih banyak yang tidak
menghargai. Ada yang kadang menertawakan lambang tangannya bahkan menungganginya
untuk berfoto.
Bersantai di taman Museum ini cukup menyenangkan, ada penjual makanan
dan adem pepohonannya kontras dengan lapangan Taman Fatahillah yang terik kala siang.
~~ Salam Dolan ~~
Tidak ada komentar :
Posting Komentar