“Tepat di usia 22 tahun pada tanggal 22 September 2013, saya mendapat sapaan fajar yang berbeda dari 21 kali usia saya bertambah. Sang fajar terasa dekat dan hangat menyapu dinginnya malam di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat”
Perjalan kali ini memang saya pas-paskan dengan ulang tahun saya yang
ke-22. Alasannya, karena tanggal 22 September 2013 itu hari Minggu, jadi
langsung saja di jadwalkan (aji mumpung). Kali ini, ada yang istimewa karena
saya mengajaknya pacar saya naik gunung untuk pertama kali. Saya juga ditemani
pula oleh teman saya biasanya, Didot.
Kawah Mas Gunung Papandayan |
Perjalan saya dimulai sejak menjemput pacar saya di Stasiun Pasar Senen.
Kereta yang tiba pukul 3 pagi mengharuskan saya sudah ada disana sekitar jam 10
malam karena kalau kemalaman takut tidak ada kendaraan umum. Di stasiun sekitar
5 jam, saya ngobrol dengan orang-orang yang juga “menginap” disana. Dua orang
berlatar belakang berbeda menjadi teman saya, ada bapak-bapak dokter sekaligus
pengusaha dan ada mahasiswa oseanografi UNDIP yang banyak bercerita tentang
maritim Nusantara. Jam 3 setelah menyambut kedatangan pacar saya di pintu
keluar penumpang, langsung kami menuju kos untuk beristirahat sebelum jalan
esok paginya.
Tujuan kami pertama yaitu menuju Garut dari meeting point Terimnal Kampung Rambutan. Pengalaman berdesakan di
Jakarta pasti baru dirasakan pacar saya saat kami menuju terminal. Setelah kami
berdua sarapan dan Didot sudah datang, kami mencegat bus Jakarta-Garut. Sempat
salah naik bus karena ternyata tidak lewat Cipularang, kami berganti bus AC jurusan
Garut via Cipularang. Tidak ada yang istimewa saat di bus, hanya kemacetan
panjang sekitar 2 jam di Rancaekek, Bandung yang menghambat perjalanan kami. Walau
kesorean, kami tetap menuju Cisurupan (desa transit sebelum titik pendakian)
dari Terminal Guntur dengan angkot berwarna ungu yang menyetel lagu-lagu
dangdut. Kami ketawa-ketawa saat lagunya “Berondong Tua”, karena anak-anak
kecil berusia 5 tahunan yang juga penumpang, dengan hapalnya menirukan lagu
Siti Badriah itu.
Sekitar pukul 18.00 kami tiba dan disambut oleh tukang ojek yang akan
membawa kami ke jalur pendakian. Tawar menawar harga, pas, langsung tancap gas.
Malam dingin sambil berkendara rasanya lengkap menusuk tulang-tulang kami.
Jalanan yang tadinya aspal mulus sontak berubah jadi jalan berlubang dan
berbatu setelah melewati desa terakhir. Sekitar 45 menit kami tiba di pos
pendakian. Tawar menawar lagi dengan tukang ojek untuk penjemputan esok saat
pulang.
Setelah registrasi, sayang sekali kami tidak dapat ijin mendaki malam
itu karena tidak ada yang tahu jalur. Jadi kami memutuskan buka tenda di
parkiran mobil (ya, parkiran mobil). Karena merupakan gunung wisata jadi
fasilitasnya lengkap seperti warung, toilet, dan mushola. Tidak mau kehilangan
suasana alam, kami buka tenda dengan membelakangi parkiran dan menghadap hutan.
Tapi, setelah santap malam dengan menu sedikit special, Mie Bakso Sosis, kami
dapat “mukjizat”. Ada seorang porter yang menawari kami naik bareng. Langsung
saja kami setuju dan memulai pendakian malam itu.
Jalur pendakian melewati kawah-kawah. Itu jalur pendakian dengan
pemandangan yang baru pertama saya lihat. Tanpa masuk hutan sama sekali. Hanya
masuk hutan mati bekas letusan. Pada malam hari saja pemandangan batuannya
sudah menyihir mata, kontras dengan gemerlap lampu Kota Garut yang terlihat
indah dari gunung yang berketinggian 2665 mdpl itu. Aroma belerang menyengat di
sepanjang perjalanan menuju Pondok Selada, tempat kami akan bermalam. Karena
pacar saya baru pertama mendaki, jadi perjalan kami cukup santai dan sering
beristirahat. 2-3 jam berjalan akhirnya kami tiba di padang edelweis kemudian
pondok selada. Puluhan tenda rupanya sudah berdiri di tanah lapang seluas
kira-kira 2 Ha itu. Tanpa banyak mengobrol, kami buka tenda dan bergegas tidur.
Paginya, hawa dingin semalam yang masih menggigit-gigit kecil menemani
kami membuka mata. Membawa bekal cemilan dan minuman secukupnya kami menyambut
fajar di pinggir-pinggir jurang di jalur pendakian. Tentu momen itu saya
manfaatkan untuk foto berdua bersama pacar saya, dengan sinar matahari yang
pendarnya masih sayu. Puas berfoto dan matahari pun sudah tidak malu-malu lagi
bersinar, kami melanjutkan trekking ke hutan mati dan Tegal Alun. Hutan mati
yang terang ternyata sangat keren, pohon-pohon tanpa daun, batuan putih kusam
dan menghiasi partitur Tuhan yang bernada merdu. Kontras dengan hijaunya pohon
di tempat yang lebih tinggi dari hutan mati.
Kemudian, kami melanjutkan ke Tegal Alun, kali ini melewati hutan dengan
pohon-pohon rindang yang syahdu. Tegal Alun ternyata hamparan tanah lapang
dengan alang-alang, bunga edelweis dan cakrawala yang membentang indah. Karena
waktu kami tidak memungkinkan ke puncak, maka kami menyudahi perjalan di Tegal
Alun dan bergegas turun setelah sarapan dan beres-beres.
Ternyata turunnya lebih sulit. Bukit batu yang terkadang curam
membutuhkan langkah yang hati-hati jika tidak mau terpeleset batu yang labil.
Saya yakin bagi pacar saya itu jalanan yang tersulit yang pernah dilalui. Hehe.
Dengan kepuasan telah sekali lagi menapakkan kaki dan menghirup udara segar di
alam Nusantara, kami pun kembali ke kehidupan masing-masing dan menyudahi
cerita pendakian di Gunung Papandayan ini.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar