Sedikit-sedikit kesadaran mulai tereja penuh oleh Maeda. Bercak-bercak
warna perlahan mengkudeta cahaya putih yang dari tadi memenuhi syaraf optiknya
hingga habis. Kaget, kata sifat pertama yang muncul setelah semua indera dan
kesadarannya pulih.
Kapal-kapal dengan layar besar ada di depannya. Dengan bendera
merah-putih-biru dan lambang huruf yang tersusun pada warna putihnya. VOC, ia
membaca lambang itu. Orang-orang bebadan kurus dan berkulit gelap terlihat
memanggul karung-karung besar menuju kapal. Orang-orang berkulit putih dan
berbadan tegap dengan tinggi lebih seperempat dari mereka, berdiri mengawasi.
Suasana asing itu disambut pertanyaan: dimana
aku?
Seorang pemanggul tiba-tiba terjatuh tepat di depan Maeda. Refleks, ia
mencoba membantunya berdiri. Tapi kejadian itu malah menimbulkan kebingungan
baru. Saat ia mencoba menyetuh, tangannya hanya menembus tubuh padat orang itu.
Dicobanya lagi, tetap sama.
Mata Maeda mengedar panik. Benar, selain dia bisa nembus, ternyata tidak ada yang peduli dengan kehadirannya. Padahal
Maeda seharusnya begitu nyentrik
diantara kedua ras itu. Dengan kemeja dan celana jeans, ditambah headset
yang menggantung, ia harusnya menjadi alien. Atau paling tidak ditertawakan
karena salah kostum di sebuah pesta bertema klasik.
“Aku ini apa dan dimana aku ?”
Maeda berteriak. Tak ada seorang pun yang menoleh. Tanpa tahu bersumber
darimana, sebuah jawaban muncul di otaknya.
Pelabuhan Sunda Kelapa, Jayakarta, masa Kolonisasi VOC di Indonesia.
Masa dimana Belanda mulai menancapkan kuku-kuku penjajahan. Masa monopoli
rempah-rempah dan sumber daya dimulai. Maeda berkesimpulan atas jawaban itu.
Dia ada di masa lalu, hanya sebagai bayangan atau makhluk halus atau apalah.
Tidak semudah itu dia puas. Lebih skeptis lagi. Bagaimana aku bisa disini?
Hening kali ini, memorinya tidak pernah menyimpan data untuk pertanyaan
ini.
Maeda memilih mencari jawaban. Sendiri, karena tak ada yang bisa
ditanyai bahkan melihat dirinya pun tidak. Kalaupun ada yang kebetulan bertemu
mata dengannya, paling-paling mata itu menatap orang di belakangnya.
Maeda berjalan mendekati kapal dan menelitinya. Kayunya yang kokoh
melapisi lambung kapal. Dari haluan hingga buritan berjejer orang-orang Belanda
berseragam tentara. Tiang-tiang kayu menjulang kokoh dengan layar-layar besar.
Kapal itu bermerek Vereenigde
Oost-Indische Compagnie, VOC. Sesekali tuan-tuan berbaju necis khas kaum
borjuis Eropa kuno muncul memberi perintah.
Tapi semua itu tidak menjawab pertanyaannya hingga seberkas cahaya putih
muncul di batas jarak pandangnya. Perlahan membesar. Menyatu bagai piksel dalam
sebuah gambar digital. Bersama dengan semakin membesarnya cahaya itu, pusing
yang kala tadi lenyap perlahan muncul lagi. Perlahan menjajah sel-sel di kepala
Maeda. Terus terasa bersama cahaya putih yang semakin memenuhi pandanganya.
Maeda tidak bisa menahan sakitnya. Badannya tersungkur dan tertumpu pada
lututnya. Tangannya memegangi kepala. Padangannya hanya cahaya putih
menyilaukan. Suara dengus nafas orang-orang lenyap.
*****
Sebuah urutan yang sama terjadi. Cahaya putih dan pusing perlahan hilang
lagi bersamaan. Perlahan matanya terjaga lagi. Kali ini Maeda berada di sebuah
rumah tua. Di sekelilingnya adalah orang Belanda dengan wajah payah, tegang,
dan waspada. Senapan, granat, dan ribuan peluru bagai furniture wajib penyambut
tamu.
Seakan lupa bahwa dirinya tak dihiraukan, Maeda merangkak dan meringkuk ketakutan di pojok ruangan.
Jika ia ada di zaman penjajahan, maka artinya ia ada di tempat dan waktu yang
sangat salah. Kebingungannya bertambah dengan: kenapa ia ada di sarang musuh.
Maeda diam dan sadar “penderitaannya” belum berakhir. Ia teringat
hidupnya yang entah sejak kapan mulai menghilang. Ia mulai menangis merasakan
kesendirian yang sangat nyata karena tidak ada yang merasakan kehadirannya,
sementara ia dengan jelas merasakan mereka.
“Stil, ze kwamen. Diam, mereka
datang,” bisik seseorang yang melihat cahaya dari dalam hutan. Mendadak Maeda
mengerti bahasa Belanda.
“Ze niet zichtbaar, spookachtige.
Mereka tak terlihat, seperti hantu.”
Maeda bangkit bersama para tentara yang serentak siaga. Mereka bersiaga
di celah-celah jendela dengan posisi
siap menekan pelatuk senapan yang mereka peluk. Mata tegang, keringat
dingin, dan tremor mengisi wajah-wajah kaukasoid mereka. Mereka bersiaga di
semua arah mata angin, menatap tajam pada gelapnya hutan.
“Indien Diponegoro die leidde,
we dood. Jika Diponegoro yang memimpin, matilah kita.” Kata seorang prajurit yang terlihat muda
sambil membuang nafas panjangnya.
Doorr… suara senapan menghentikan udara di ruangan itu. Suara itu jelas
dari dalam ruangan. Tapi malah tentara yang menjadi sumber suara itu yang
terkapar. Darah mengucur dari dahinya. Mati. Perang dimulai. Perang Jawa,
Perang Diponegoro, De Java Oorlog.
Pemberontakan terbesar di Jawa.
Benar saja, sekompi pasukan dan kuda datang menyerbu tempat itu dari
segala sisi. Menggentarkan tentara-tentara disini. Diantara pasukan itu, Maeda
melihat sosok yang dikenalnya dari patung di kampusnya, patung di Monas, dan
lukisan karya Raden Saleh. Dialah Pangeran Diponegoro.
Maeda mulai bisa menerima dirinya. Melihat semangat bangsanya, ia
berdiri, mengepalkan tangan dan berlari mendobrak ketakutan untuk bergabung
dengan pasukan Jawa. “Maju, Serang!” Teriaknya lantang.
Sebuah peluru mengarah ke tubuh Maeda tepat di jantungnya yang seketika itu
berhenti sesaat. Nafasnya tertahan oleh kengerian yang merengkuhnya. Tetapi
perluru itu hanya menembus dan mengenai pejuang di belakangnya. Ia melihat
banyak mayat dan darah yang mengalir dari kaki, kepala, jantung, perut dan
organ lainnya. Jeritan kesakitan melolong meretas malam.
“Maju! Sadumuk bathuk, sanyari
bumi bumi ditohi tekan pati! Sejari kepala, sejengkal tanah dibela sampai
mati!” Sang Pangeran Diponegoro membakar semangat para pejuang. Mata Sang
Pangeran bertemu mata Maeda dan membakar habis kengeriannya. Pejuang yang gugur dilihatnya
tersenyum. Merekalah bunga-bunga di musim gugur. Memberi kesempatan bagi
bunga-bunga baru musim semi. Tubuh mereka bagai musim dingin, tapi semangat
mereka adalah musim panas. Yang masih hidup pun berperang dengan gagah, peluru
yang datang mereka songsong dengan senyuman dan semangat perjuangan.
Sebuah siklus terjadi lagi. Cahaya putih muncul lagi dengan kondisi yang
sama. Tapi, kali ini Maeda tampak siap sambil menahan sakit kepalanya. Begitu
juga dengan sang cahaya, tampak bersahabat mendatang kemudian membawanya.
*****
Maeda dibawa berkeliling menapaki sejarah. Cahaya itu kali ini ia anggap
sebagai cahaya Tuhan. Hadir untuk memberi makna baginya di dunia nyata yang
entah akan kembali atau tidak, ia pun belum yakin.
Perang Maluku atau Perang
Saparau, Maeda hadir di depan tiang gantungan Thomas Matulessy atau
Kapitan Pattimura dan kawan-kawannya. Pada Perang Aceh ia bertemu senyum dengan
Cut Nyak Dien dan Teuku Umar. Pangeran Antasari dengan Pasukan Banjar-nya
menumpas Belanda dengan gagah di depan matanya. Perang Padri di bawah Tuanku
Imam Bonjol pecah di sekelilingnya. Bentuk persatuan antara kaum adat dan kaum
agama demi membela satu kata. Nusantara. Ia berteriak “Serang!” bersama
Sisingamangaraja XII pada Perang Tapanuli atau Perang Batak. Dan, senyuman
Sultan Hasannudin di Makasar kala menjemput ajal begitu menyejukan jiwanya.
Cahaya itu terus membawa Maeda melihat senyuman-senyuman pejuang
Indonesia. Senyuman perjuangan dan senyuman menghadapi kematian demi segenggam
tanah dan setetes air milik Ibu Pertiwi. Hingga akhirnya Maeda tiba pada sebuah
momen sakral bangsanya.
*****
“…Atas Nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.” Tepat di depan rumah di
JL. Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Penggalan kalimat proklamasi ia dengar.
Begitu nyata, begitu menyentuh, begitu… serba begitu. Sang Merah Putih melaju menyongsong
angin. Darah, air mata, lolongan, penindasan, semua meriringi bersama lagu
Indonesia Raya. Maeda menghormat bendera. Hormat terbaik selama 23 tahun
hidupnya. Jiwanya bergetar, bulu kuduknya meremang, tiap butir air matanya
menetes dan melebur bersama tanah yang akhirnya berhasil direbut dengan penuh
perjuangan.
Inilah pondasi. Jembatan emas menuju Indonesia merdeka. Setelah ini,
Merah Putih akan selalu berkibar di setiap bentuk perjuangan. “Merdekaaaa!”
Teriak Maeda dengan lantang menyambut larik terakhir Indonesia Raya. Indonesia
memang baru lahir, tapi Indonesia tak gentar bertolak pinggang dibawah
matahari. Dan, tak akan berhenti merenungi sinar bulan.
*****
Sekeliling Maeda kembali berwarna. Cahaya putih itu kali ini benar-benar
hilang dan meninggalkan rasa kehilangan. Memorinya kembali. Ia ingat sedang
berada di ruang terakhir Gedung Joang 45, Cikini. Dirasakannya tubuhnya.
Dihirupnya udara. Ditariknya kesimpulan: dunia nyata. Di sentuh pipinya, basah.
Air matanya masih menetes. Ia baru saja melewati batas-batas waktu, bersetubuh
dengan peristiwa-peristiwa besar.
Maeda masih mematung di depan poster-poster dan kata-kata Bung Karno. Ia
ada tepat di depan kalimat “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah,
perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Maeda merangkai semua peristiwa yang baru saja ia lalui dalam waktu tak
lebih dari setengah jam. Senyum mereka
adalah pesan bagi generasiku sebagai pemegang tongkat perjuangan bangsa. Namun sekarang musuhnya berbeda. Musuhnya
adalah orang-orang yang berdiri dan minum dari tanah dan air yang sama. Dan
yang pernah bersumpah di bawah kain yang sama.
Tak bisa kita mengusir mereka.
Rumah mereka disini juga. Hanya ada satu cara. Enyahkan mereka ke alam lain.
Demi peluru di dada, demi merahnya darah, demi putihnya jiwa, dan demi Ibu yang
diperjuangkan. Maeda
tersenyum. Ditatapnya poster Bung Karno. Dan Bung Karno pun tersenyum penuh
harapan.
Maeda melangkah meninggalkan museum. Menyongsong terik matahari. Ditatapnya
matahari, tajam. Entah menantang, memohon restu, atau berkonspirasi. Sambil
membaca kata tengah gedung itu. Joang.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar