Siang itu, orang-orang datang dan pergi dari tempat
itu. Mereka datang dengan muka lapar serta penasaran dan mereka yang pergi
tampak puas dengan seringai di wajah mereka. Sambil bergosip menuju kendaraan
mereka, rasa itu masih mengecap di mulut mereka. Menghasilkan cerita-cerita
untuk dibagikan ke teman-teman mereka tentang warung kecil itu.
Warung bercat hijau. Tempatku lahir sekaligus
mati. Aku lebih suka menyebutnya: tempat singgah menuju surga. Karena setelah
aku dinyatakan mati, aku langsung berada di surga seperti sekarang. Belum tentu
tempat lain bisa seperti itu. Warung itu sekarang sudah berumur hampir setengah
abad. Dari situ, sudah jutaan “aku” yang sekarang sedang menikmati surga. Lihat
mereka di belakangku, bagai raja mereka sekarang disini. Bak artis kawakan,
warung itu masih saja jadi sorotan internet, televisi, dan media-media lain.
Mungkin itulah yang disebut tempat legendaris.
Disini, inilah kegiatanku. Setiap hari, entah
dengan perhitungan waktu seperti apa, aku hanya diam. Hanya senyum-senyum
sambil mengingat kenangan di warung itu. Tak ada kewajiban yang harus
dikerjakan dan dituntaskan disini. Yang ada hanya hak yang selalu terpenuhi setiap
hari, sampai ke setiap satuan terkecil waktu.
Di setiap kegiatanku, aku selalu ditemani dia. Pasangan hidupku. Aku selalu setia
padanya, begitu pun sebaliknya. Empat puluh bidadari yang dijanjikan Tuhan aku
tolak demi memilih dia seorang. Kami adalah manunggal yang tak akan pernah
terpisahkan. Aku masih tidak bisa terima penceramah yang mengatakan: saat di
surga nanti akan diberi empat puluh bidadari atau bidadara untuk bercinta.
Mereka yang seperti itu hanya menginginkan kenikmatan surga tanpa menghiraukan
kekuatan cinta sejati.
Berawal dari cinta kamilah sampai sekarang
warung itu banyak diperbincangkan orang Jakarta. Ya, kami adalah pasangan bakmie.
Kami lahir di sebuah mangkok kramik bergambar ayam jantan merah. Buah cinta
sepasang manusia yang dengan cinta menghasilkan sebuah resep bakmie yang penuh
cinta.
Tan Wah Jiao adalah “ibuku” dan Lee Kwi Zhong adalah
“ayahku”. Mereka, pasangan imigran asal China, yang menciptakan, melahirkan,
membidani, menjodohkan dan memparipurnakan kami menjadi sebuah menu bakmie.
***
Jakarta, 1965. Mereka dan Lee Zhong Quan, anak
mereka yang hampir berusia lima tahun, mendarat. Mereka akan memulai perjudian
hidup di Indonesia. Seperti orang-orang China lainnya, mereka akan berdagang.
Di sebuah rumah sewaan di daerah Tanjung Priok, mereka tinggal dan memulai
membuka kedai bakmie. Bisnis yang paling mudah bagi mereka yang sama-sama
keturunan pemilik kedai bakmie. Bahkan pernikahan mereka ditandai dengan
dinikahkannya kedai bakmi milik orang tua mereka. Dan bagai “anak pertama”,
kedai itu mereka besarkan.
Tetapi kekuatan resep warisan keluarga Zhong
tidak mampu membesarkan anak itu. Pertumbuhannya berhenti pada titik “pengisi
perut saat jam makan siang”. Statis. Kestatisan itu mendorong mereka untuk
hijrah dan meninggalkan anak prematur itu. Walaupun resep yang mereka gunakan
masih sama. Hanya bakmie yang memakai bakmie lokal dan daging ayam sebagai
komplemen daging babi yang berbeda.
Setelah tiga bulan persiapan, kedai bakmie
“Quan” pun dibuka tepat saat ulang tahun Quan yang kelima di teras rumah kecil
itu. Quan yang berarti musim semi
adalah modal pertaruhan mereka. Di kampung itu mereka menjadi kedai bakmie
kedua. Ada kedai bakmie lain yang sudah menjadi nomer satu dan satu-satunya
selama tiga tahun.
Seolah masih dihantui anak prematur mereka atau
karena kutukan resep keluarga Zhong, kata “statis” muncul lagi. Setelah satu
tahun berjualan, rasa penasaran pengunjung tak lantas membuat statusnya menjadi
pelanggan. Kekompakan dan pelayanan yang baik mereka juga tak berarti besar.
Hanya pengulangan kemurungan setiap malam.
Gerobak, meja-kursi, sempoa, laci penyimpanan,
dan patung maneki neko seperti
karyawan-karyawan malas yang tidak peduli pada cita-cita sang pemilik
perusahaan. Mereka hanya memperkerjakan diri untuk bekerja, bukan untuk
berprestasi.
“Aku yakin kau merasakan yang sama denganku.”
Jiao membuka percakapan malam itu didepan kepulan asap teh hangat.
“Ya, tentu saja, Jiao. Kedai kita kembali
statis.” Zhong murung.
“Kita harus meninggalkan resep itu. Kita harus
membangun kedai dengan resep sendiri. Dan… membuat bakmie sendiri.”
“Tapi,
apa itu tidak akan menurunkan produksi kita?”
“Zhong, kita dulu adalah saingan. Aku, kau,
sama-sama pembuat bakmie bukan sekedar peracik. Jadi aku ingin kita bersaing
lagi. Membuat bakmie masing-masing.”
“Maksudmu, kau akan ikut membuat bakmie? Tidak
Jiao, kau tidak boleh kelelahan.” Zhong menolak karena penyakit kanker Jiao.
“Sayang,
aku akan baik-baik saja. Aku janji setelah resepku menang, selanjutnya akan
kuserahkan lagi semuanya padamu.” Jiao mengelak dengan senyum ceria dan tatapan
semangatnya di bawah remang lampu lima watt.
Kepulan asap teh hangat setengah gelas memotret
mata mereka yang bertemu pandang. Bola mata sipit mereka saling memancarkan
kekuatan yang sangat besar. “Xiangxin wo.
Percayalah.”
“Wo ai ni,
Jiao.” Bisik Zhong lirih, jujur.
Di bawah cahaya bulan sabit, langit hitam cerah,
dan dekapan cinta, malam itulah rohku dan dia mulai ditiupkan. Garis takdir
kami mulai berjalan.
Untuk kali kedua, mereka meninggalkan “anak”
prematur mereka. Mereka memilih dan pindah ke tempat yang lebih strategis di
tengah kota. Gondangdia. Pertimbangan lain adalah karena dekat dengan rumah dokter
tempat Jiao berobat. Dr. Jian.
Babak baru itu mereka mulai dengan persaingan
membuat bakmie masing-masing. Rumah bercat hijau itu menjadi arena pembuktian
kedua jiwa yang satu itu. Tepung terigu, telur, dan bumbu-bumbu adalah senjata
yang siap melumpuhkan masing-masing dari mereka. Bagai final lomba masak, mereka
mencampur bahan, mengaduk, dan nguleni masing-masing. Tak saling mengganggu.
Percobaan pertama mereka sebut penyesuaian bahan, karena menggunakan kualitas
dan jenis bahan baku yang berbeda dengan di China. Mereka harus menyesuaikan
dan memilih bahan yang paling tepat.
Tapi persaingan itu akan selalu berakhir dengan
kepulan asap the hijau dan biskuit di meja makan. Dan candaan yang akan
mengendurkan otot-otot mereka sebelum tidur.
***
Sore itu langit tampak kusam walau matahari belum
sepenuhnya tenggelam. Hujan mulai merayap. Mereka baru saja pulang dari rumah Dokter
Jian. Murung, mangu, dan mendung menekuk wajah mereka.
“Sudahlah,
Jiao. Kita akhiri saja hal bodoh ini. Kondisimu semakin lemah.” Zhong menatap sedih.
“Ooo, jadi kau mau cari alasan ya… takut kalah,
ya?”
“Jiao, aku serius!”
“Aku juga serius, Sayang.” Jiao seperti tak
peduli kekhawatiran Zhong.
Zhong frustasi.
“Sudahlah, Zhong, kondisiku memang buruk. Tapi
kalau aku mati dan tidak bisa mewujudkan cita-cita kita, itu akan sangat buruk.
Lebih baik aku berhasil mengalahkanmu dulu dan aku bisa… Zhong, kepalaku pusing
sekali.” Jiao kepayahan meneruskan kalimatnya.
“Jiao, kenapa?”
“Tidak tidak, Zhong. Ini sudah waktunya pertandingan.”
Jiao bangkit terhuyung.
“Xiangxin
wo, Zhong.” Kata itu dan cahaya
semangat dari wajah Jiao selalu bisa meluluhkan Zhong dalam setiap perdebatan.
Malam itu mereka “bertanding” lagi. Zhong tidak
bisa berkonsentrasi, lebih banyak melamun dan memandang Jiao. Jiao dengan lembut
terus saja mejalankan tahapan demi tahapan membuat bakmie. Lembut. Lembut
sekali. Seolah kelembutan dan semangat hidupnya ingin ia tuangkan ke dalam
bakmienya. Itulah yang akhirnya menyadarkan Zhong. Dia kembali berkonsentrasi
pada adonannya. Ia tempatkan wajah Jiao pada adonan yang sedang ia buat. Aku akan selalu setia kepadamu, Jiao. Selalu, sampai kapanpun. Akan kuwujudkan
mimpimu, mimpi kita.
Kesetiaanlah kekuatan Zhong yang melahirkan
aku. Kelembutan dan semangat Jiao adalah embrio dia.
Bakmie mereka telah siap pada mangkok
masing-masing di meja makan dengan lampu remang lima watt.
“Aku punya firasat inilah bakmie terbaik.” Kata
Zhong memandangi kedua mangkok itu.
Jiao tiba-tiba berdiri dan mengambil mangkok.
Ditaruhnya di antara kedua mangkok itu.
“Aku tahu kenapa selama ini kita gagal,” kata Jiao.
“Itu karena kita hanya mencoba bakmie kita masing-masing. Sekarang coba ambil
setengah bagian dari buatanku dan setengah punyamu. Kita satukan di mangkok
itu.” Jiao menyatukan kami menjadi semangkok bakmie utuh. Berbumbu cinta,
semangat, kelembutan dan kesetiaan. Saat itulah kami bersatu. Kami merasakan
yang rasanya bercinta, bercumbu, dan bermanunggal. Dicicpilah kami yang sudah
menyatu.
“Ini… luar biasa.” Zhong begitu takjub saat mencicipi
kami.
“Zhong, mimpiku, mimpi kita akan terwujud.”
Pandangan Jiao makin sayu dan lemah. Air mataku menetes menyaksikannya. Satu
butir. Dua. Tak terhitung.
Kami terbang menuju dunia Yin dengan damai, indah, dan mengharukan. Saat itu, dari tempat ini
mulai kupandangi mereka. Jiao menyandarkan kepalanya di bahu Zhong. Tangan
mereka saling menggenggam.
“Kau harus kuat. Ini bakmie kita, tanpamu tidak
akan ada bakmie seenak ini.”
“Tidak, Zhong. Kau bisa membuatnya sendiri. Kau
hebat, cukup ingat selalu wajahku maka bakmie seenak ini akan ada lagi. Dengan
atau tanpaku.” Nafas Jiao berat. “Tolong ajarkan anak kita tentang kelembutan,
semangat dan kesetiaan.” Air mata ibu meluber dari matanya yang sudah dapat
melihat dewa kematian memasuki rumah.
“Wo ai ni,
Jiao. Wo xiang ni. Aku percaya
padamu.” Bisik Zhong bergetar. Didekapnya kepala Jiao erat-erat. Tak ada
jawaban. Sunyi, hening, senyap. Hanya isakan Zhong sendiri yang bisa ia dengar.
*****
Tidak ada komentar :
Posting Komentar