Sekolahmu dimana? Anaknya siapa? Rumahmu dimana? Paling tidak itulah
tiga pertanyaan yang paling sering diajukan oleh orang tua temannya sewaktu
kecil. Sekarang, saat dia sudah jadi seperti ini, dia baru bisa menjawabnya.
“Adi, kita main yuk!” Ajak
bocah itu pada temannya sepulang ia sekolah.
“Ayo, kita main petak umpet lagi,” jawab Adi yang selalu jadi teman main
bocah itu.
Setiap hari, bocah itu dan anak-anak lain akan bermain sampai sore.
Hanya bermain, tidak ikut sekolah. Orang tua temannya hanya berfikir dia anak
kampung sebelah yang tidak disekolahkan orang tuanya.
Setelah sore, saat anak-anak lain yang disuruh ibunya, dia juga pulang.
Tapi tidak ada yang tahu rumahnya. Dia berjalan ke arah hutan dan akan
menghilang disana. Tanpa jejak.
Hutan itulah rumah sekaligus sekolahnya. Tidak ada manusia, hanya ada
hewan dan tumbuhan yang mengajarinya kehidupan.
Dia belajar ketidakserakahan dari singa yang akan berhenti makan setelah
kenyang. Keadilan pada pepohonan yang tidak pandang bulu membagikan udara.
Perjuangan hidup dari ulat yang akan menjadi kupu-kupu. Kepedulian dari seekor
semut. Keluwesan dari air sungai. Perenungan mendalam dari gunung. Dan masih
banyak yang lain.
Mereka semua adalah makhluk yang dianggap tak berakal. Tapi dengan
rendah hati dia belajar dan sangat menghormati mereka.
Sekarang, di usia dewasanya, saat teman-temannya sibuk di kantor. Dia
adalah satu-satunya manusia yang bisa terbang. Melayang di atas semua manusia
dan menjadi sumber segalanya. Ia memang tidak pernah sekolah, tapi ilmunya
adalah ilmu yang nyata bagi umat manusia. Ilmunya menuntun manusia pada
kesufian hidup. Dia, bocah itu, adalah titisan Batara Wisnu.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar