Tampilkan postingan dengan label summit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label summit. Tampilkan semua postingan

Selasa, 31 Desember 2013

Terbayarlah Semua Perjuangan, Gunung Gede

“Setelah perjuangan urus mengurus yang panjang, akhirnya semua terbayar manis di puncak Gunung Gede.”


Gunung Gede adalah gunung di Jawa Barat bertipe yang memliki ketinggian 2958 mdpl dengan puncaknya ditandai oleh plang bertuliskan “Puncak Gede 2958 mdpl”. Gunung Gede ini gagah berdiri di tiga kota yaitu Cianjur, Sukabumi, dan Bogor. Terakhir meletus tahun 1957 dan masih tertidur sampai sekarang.

We Are
Bersama Gunung Pangrango, Gunung Gede berada dibawah naungan Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) yang berperan sebagai pionir sejarah konservasi Indonesia. Bersama 5 Taman Nasional pertama yang ada di Indonesia, TNGP terus menjaga titipan tuhan yang tak ternilai, alam.

Hutan hujan tropis pegununagn yang ciamik, vegetasi yang beragam dan unik (bahkan katanya ada tanaman yang belum dikenal secara ilmiah), dan satwa-satwa yang diantaranya hampir punah menjadi harta karun milik TNGP. Itulah mengapa izin pendakiannya ketat. Bahkan dari Januari – Maret 2014, pendakian ditutup untuk penyeimbangan ekosistem.

Jam menujukan pukul 2.00, alarm kami masing-masing berdering bersahutan memberi tanda petualangan akan dimulai kembali. Ya, kami memang berniat memburu fajar dari Kandang Badak. Dengan hanya membawa perbekalan secukupnya, kami mulai menuju titik tertinggi Gunung Gede.

“Mini Market” di Atas Gunung

“Fasilitas Gunung Gede tidak hanya untuk pelancong, pendaki yang sudah sampai puncak pun masih diberi failitas itu”


Karena akses yang mudah dari Jakarta ditambah trek yang tidak terlalu sulit dan pengelolaan serta fasiltas yang baik, Gunung Gede Pangrango menjadi gunung foavorit pendaki Jakarta. Tak kurang dari 500 orang biasanya naik kesini saat weekend. banyak juga yang datang sekeluarga (ayah, ibu, anak, kakek, nenek). Bahkan anak perempuan 5 tahun pun turun bareng kami dari puncak. Penerus tongkat estafet pendaki, nih!

Pop Mie dan Fajar
Di tengah perjalanan menuju Kandang Badak, terkadang ada bapak-bapak menawarkan nasi udak dan gorengan. Kami bertanya-tanya juga, apa itu betulan? Dan ternyata setelah sampai Kandang Badak kami baru percaya. Di antara tenda-tenda warna-warni, ada tenda sederhana dari terpal dan kayu yang memajang rentengan kopi, susu, dan tumpukan pop-mie.

Mereka adalah pedagang yang memfasilitasi pendaki sampai puncak. Hmm, sampai segini kah fasilitas Gunung Gede ? “Kopi – kopi, pop-mie, mas !”, kata mereka menjajakan dagangannya.

Pedagang tidak hanya ada di Kandang Badak, di puncak pun banyak pedagang yang menjajakan juga nasi uduk, roti dan gorengan bakwan.

Mall dan Pasar Kaget di Gunung Gede

“Dari Mas Fazri, katanya trek Gunung Gede itu seperti di mall.”


Setelah semua beres dan ijin naik sudah clear. Langkah pertama saya, Didot dan Agung pun dimulai. Jalan cukup ramai, bercampur antara pendaki dan pelancong biasa yang hanya bertujuan ke Curug Cibeureum.

Karena ada tempat wisata itu juga lah yang menyebabkan fasilitas disana lengkap. Ternyata benar kata Mas Fazri, trekknya seperi di “mall”. Jalan batu berundak tersusun sangat rapi. Tanpa usaha keras kecuali mental dan fisik kami hanya mengikuti jalur yang sudah disediakan. Dari pintu masuk sampai Kandang Badak, jalurnya terus seperti itu dipayungi pohon-pohon besar. Dimanja sekali para pendaki.

Telaga Biru dan Orangnya Sama Kerennya :p
Jalur Cibodas memang terkenal karena banyak checkpoint-checkpoint yang bisa dinikmati. Setidaknya ada Telaga Biru, Curug Cibeureum, dan Sungai Air Panas yang bisa disinggahi.

Telaga Biru. Telaga yang selalu berwarna biru karena adanya ganggang biru ini jadi titik pertama yang kami nikmati. Sekitar setengah jam berjalan dengan jarak 1,5 km dari pintu masuk Cibodas, kami membasuh badan di parit kecil yang airnya cukup jernih dan berfoto di Telaga Biru yang terlihat ada ikan berwarna orange berenang bebas.

Senin, 30 Desember 2013

Warung Rock ‘n Roll, Cibodas

“Diantara warung-warung yang pernah saya singgahi sebelum mendaki, ini warung yang paling gaul men!”

Cita Rasa Amrik
Kawasan Cibodas, Puncak merupakan tempat wisata yang cukup digemari warga Jakarta. Disana ada Kebun Raya Cibodas, Air Terjun Cibeureum, dan bagi yang suka trekking tentu saja Gunung Gede-Pangrango bisa jadi tujuan.

Hawanya yang sejuk kontras dengan asap hitam dan udara gersang di Jakarta. Karena merupakan tempat wisata itulah, jadi fasilitasnya cukup lengkap. WC umum, warung oleh-oleh, terminal, dan warung makan berjejer disana. Bahkan ada toko Outdoor Gear bagi yang kurang peralatannya saat mau mendaki.

Karena datang pada dini hari, kami memutuskan mengisi energi sampai pagi sebelum mendaki Gunung Gede. Tanah lapang parkiran wisatawan yang akan ke Curug Cibeureum jadi lapak kami. Sambil menahan dingin, kami memaksakan tidur walau seperti biasa, hanya berganti-ganti posisi tidur saja.

Pagi-paginya, entah karena lelah atau memang baru dibangun semalam saat kami tidur, ternyata di belakang tempat tidur kami adalah warung kopi. Di ujung parkiran tepatnya, nama warungnya “Cave Rhino” yang bergambar Badak. Kami kesana untuk sarapan. Saat pertama masuk, kesan pertama adalah “Rock ‘n Roll, men!”. Bagaimana tidak, denting piano lagu Aerosmith – Crazy mengalun menyambut matahari pagi. Sambil memesan bandrek susu hangat, sambil bersenandung menirukan suara Steve Tyler, vokalis Aerosmith. “I go crazy, crazy, baby, I go crazy”.

Gunung Gede, Usaha Ijinnya Se-Gede Namanya

“Baru mengurus ijin saja kami sudah harus me-reschadule perjalanan sampai dua kali.”

Ya, Gunung Gede memang salah satu gunung yang untuk mendakinya dibutuhkan pengurusan ijin yang cukup ketat karena merupakan kawasan konservasi. Ekosistem alamnya sangat dijaga di bawah nama Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP).

Sudah dari bulan September, saya dan Didot berencana kesana. Saat itu, Didot yang mengurus ijinnya harus menelan kenyataan pahit tidak dapat kuota. Padahal uang sudah ditransfer. Alhasil kami ganti destinasi ke Gunung Papandayan.

Yang kedua 3 minggu setelahnya. Walau belum sempat transfer uang, tapi lagi-lagi kuota jalur Cibodas habis dan karena  jalur Gunung Putri ditutup, hanya ada Selabintana, Sukabumi. Karena jauh dan katanya banyak pacetnya, teman-teman saya yang lain tidak mau ikut. Itulah kedua kalinya kami ditolak Gunung Gede.

Dengan sumpah si Didot yang akan mengganti nama Gunung Gede jadi Gunung Tidak Gede, kami mencoba lagi 2 minggu setelahnya. Dan karena sumpah itu akhirnya Gunung Gede luluh hatinya dan kita dapat kuota naik lewat jalur Cibodas. Horeee !

Untuk pendaftarannya tidak beda dengan pendaftaran ujian masuk perguruan tinggi. Kita harus registrasi online dengan menyerahkan biodata dan transfer uang pendaftaran untuk dapat bukti pendaftaran yang akan ditukar Simaksi (Surat Ijin Memasuki Kawawan Konservasi).

Jumat, 13 Desember 2013

Gunung Api Purba, Gunung tanpa Dingin

“Biasanya saat bermalam di gunung pasti berusaha agar kulit serapat mungkin, tapi disini beda lho !

Pendopo Sebelum MendakiKeletihan sangat terasa setelah berkendara sekitar 6 jam dari ujung utara ke selatan Pulau Jawa. Tapi setelah sampai di kaki gunung, keletihan itu serasa akan segera terobati oleh panorama, mie rebus, dan dingin yang sudah menanti di ujung jalan menanjak. Gunung, lelah dicapainya tapi tempat istirahat terindah.

Semangat yang masih tersisa harus dikobarkan lagi untuk menikmati itu semua. Gunung Api Purba atau Gunung Nglanggeren yang terletak di Desa Nglanggeren, Gunung Kidul, Yogyakarta yang kali ini tanahnya akan saya tancapi dengan keempat sisi frame tenda saya.

Gunung ini cukup mudah dijangkau. Jalanannya mulus dan ada petunjuk arahnya. Gunung ini merupakan bongkahan batu besar yang tersusun sedemikian rupa dan menjulang dengan ketinggian maksimum 700 mdpl. Sebenarnya gunung ini memiliki beberapa nama gunung di dalamnya. Tapi yang terbesar dan tertinggi adalah Gunung Gedhe.

Gunung ini dikelola secara profesional oleh penduduk setempat. Ada pusat informasi, kamar mandi bersih, dan pendopo untuk beristirahat sebelum melanjutkan berjalan ke puncak.

Saat kami kesana sedang ada hajatan rupanya. Katanya sih peresmian masjid, tapi acaranya benar-benar meriah. Umbul-umbul sponsor yaitu Bank Mandiri terpasang sepanjang jalan. Belakangan saya ketahui bahwa pengisi acaranya adalah Didi Kempot. “Sewu kuto uwis tak liwati, Sewu ati tak lakoni…”

Kamis, 17 Oktober 2013

Menginjak 22, Menginjak Alam

“Tepat di usia 22 tahun pada tanggal 22 September 2013, saya mendapat sapaan fajar yang berbeda dari 21 kali usia saya bertambah. Sang fajar terasa dekat dan hangat menyapu dinginnya malam di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat”

Perjalan kali ini memang saya pas-paskan dengan ulang tahun saya yang ke-22. Alasannya, karena tanggal 22 September 2013 itu hari Minggu, jadi langsung saja di jadwalkan (aji mumpung). Kali ini, ada yang istimewa karena saya mengajaknya pacar saya naik gunung untuk pertama kali. Saya juga ditemani pula oleh teman saya biasanya, Didot.

Kawah Mas Gunung Papandayan
Perjalan saya dimulai sejak menjemput pacar saya di Stasiun Pasar Senen. Kereta yang tiba pukul 3 pagi mengharuskan saya sudah ada disana sekitar jam 10 malam karena kalau kemalaman takut tidak ada kendaraan umum. Di stasiun sekitar 5 jam, saya ngobrol dengan orang-orang yang juga “menginap” disana. Dua orang berlatar belakang berbeda menjadi teman saya, ada bapak-bapak dokter sekaligus pengusaha dan ada mahasiswa oseanografi UNDIP yang banyak bercerita tentang maritim Nusantara. Jam 3 setelah menyambut kedatangan pacar saya di pintu keluar penumpang, langsung kami menuju kos untuk beristirahat sebelum jalan esok paginya.

Tujuan kami pertama yaitu menuju Garut dari meeting point Terimnal Kampung Rambutan. Pengalaman berdesakan di Jakarta pasti baru dirasakan pacar saya saat kami menuju terminal. Setelah kami berdua sarapan dan Didot sudah datang, kami mencegat bus Jakarta-Garut. Sempat salah naik bus karena ternyata tidak lewat Cipularang, kami berganti bus AC jurusan Garut via Cipularang. Tidak ada yang istimewa saat di bus, hanya kemacetan panjang sekitar 2 jam di Rancaekek, Bandung yang menghambat perjalanan kami. Walau kesorean, kami tetap menuju Cisurupan (desa transit sebelum titik pendakian) dari Terminal Guntur dengan angkot berwarna ungu yang menyetel lagu-lagu dangdut. Kami ketawa-ketawa saat lagunya “Berondong Tua”, karena anak-anak kecil berusia 5 tahunan yang juga penumpang, dengan hapalnya menirukan lagu Siti Badriah itu.

Sabtu, 22 Juni 2013

Gaulpala di Gunung Burangrang

 “Saya dan teman saya Didot memutuskan menghidupkan lagi Gaulpala di Puncak Burangrang, Bandung. Tentu saja kata gaul disini bermakna cenderung negatif alias bodoh”

Tugu di Puncak BurangrangBerangkat dengan bus Primajasa menuju terminal Leuwi Panjang, kita masih harus melanjutkan perjalanan ke terminal Ledeng dengan bus Damri. Busnya super penuh plus jalanan macet. Jadilah sebelum mendaki kita pemanasan dulu berdiri sekitar 2 jam di bus. Dari Terminal Ledeng naik ke terminal Parongpong dan dilanjut angkot kuning ke Gapura Komando yang menjadi titik awal pendakian. Dari Gapura Komando kita berjalan melawati rumah-rumah penduduk ke Pos Perhutani. Tak terduga di sebuah rumah yang cukup tinggi, tiba-tiba 2 ekor anjing menggonggong tepat di depan muka saat kita lewat. Sepertinya si anjing tahu kalau kita kurus-kurus dan mencium bau tulang.

Kita tiba di pos Perhutani pukul 18.30. Kita bermaksud solat dan meminta izin naik malam ini. Namun karena kita berdua newbie di gunung dengan ketinggian 2.050 mdpl itu, kita tidak diizinkan naik malam itu dan hanya diizinkan buka tenda di pos 1 baru kemudian naik saat subuh. Ya sudah, kita memutuskan ngobrol-ngobrol sebentar dengan bapak-bapak penjaga sebelum ke pos 1. Perlu dicatat fasilitas pos Perhutani ini cukup lengkap. Ada warung kopi, kamar mandi, colokan listrik, mushola dan lahan parkir yang memadai.

Habis isya kita berangkat menuju pos 1 diantar oleh bapak-bapak penjaga pos Perhutani dan 3 mahasiswa yang sedang mencari temannya. Di pos 1 kita memutuskan membuka tenda baru kita. Maksudnya merawanin. Tapi dasar teman saya yang sok pro, waktu dia beli dan disuruh mencoba di tokonya, dia malah bilang ke penjaga tokonya “bisa mas, udah biasa !”. Dia baru mengakuinya sesaat sebelum tenda dikeluarkan dan benar saja saat tenda digelar, cuma diputer-puter tidak tahu mau mulai darimana memasangnya. Hahaha. sampai ahkirnya senter kita satu-satunya mati dan semakin bodohlah kita –ada senter aja tidak bisa apalagi gelap. Tapi untung ketiga mahasiswa tadi melihat kita kesulitan dan akhirnya dibantulah kita. Kalau tidak, mungkin kita tidur saja di pos Perhutani sambil lihat final Liga Champion Dortmund vs Bayern Munchen.

Matahari Pagi di Burangang
Akhirnya tenda baru kita berdiri tapi setelah di lihat-lihat, ternyata pintunya menghadap ke hutan yang sepi. Lah ini maksudnya mau lihat pohon atau gimana ? Setelah semua clear, kita masuk dan mulai memandangi rumah baru kita sambil bertanya-tanya “iki kanggo opo yo ndes ? iki piye carane yo ndes ?”

Masak-masak pun dimulai setelah merapikan barang-barang. Malam itu kita berdua berhasil menghabiskan 9 sachet kopi. Pertama kita masak 3 sachet dengan rantang tanpa pegangan dan kompor parafin. Setelah matang, dan akan diambil, kopipun tumpah kesenggol. Belum putus asa, kita masak lagi 3 sachet. Tapi ternyata posisi kompornya miring jadi cukup kita lihat saja kopinya tumpah sendiri. Dan yang terakhir kita berhasil membawa kopi itu turun dari kompor dan menikmatinya. Kita lalu ambil kesimpulan kalau ini bukan kebodohan, tapi kita bermaksud mengurangi beban tas dari logistik. Ngeles sajalah yang penting.

Acara pendakian baru di mulai jam 3 pagi. Saat bangun dan melihat ke langit, sumpah bulannya bagus sekali di malam waisak itu. Purnama penuh dengan pelangi di sekelilingnya. Perjalanan ke puncak cukup cepat yaitu 2,5 jam dengan trek yang terkadang terjal dan ada jalur sempit dengan jurang di kiri dan kanan ditambah hanya membawa 1 senter. Nyaris tersesat tapi untung segera sadar dan kemudian sampai di puncak jam 5.30. Foto-foto, mengobrol dengan pendaki lain, dan sarapan kita lalukan di puncak yang ditandai oleh tugu setinggi 2 meter itu. Pemandangan di puncak cukup bagus dengan pegunungan yang terhampar di sekelilingnya walau sunrise-nya tidak terlihat karena terhalang Gn. Tangkuban Perahu.

Situ Lembang dari Puncak BurangrangSekitar jam 9 kita turun dan memberi salam “duluan” ke pendaki lain. Tapi saat percabangan terakhir menuju pos Kopasus dan Perhutani kita salah mengambil jalan. Walau sedikit curiga tapi kita lanjut saja dan sampai di sebuah mesjid. Kita bertanya kepada bapak-bapak, ternyata pos Kopasus jauh sekali. 1 jam kita mencari jalan tidak normal dan dirasa terdekat sampai ke pos Kopasus. Sampai disana ternyata sebagian pendaki yang sempat kita salami tadi sudah sampai lebih dulu di pos –jadi merasa bodoh kita. Hahaha. Karena semua kejadian itu kita memutuskan mengubah nama Gaulpala menjadi Pekokpala.

Tapi akhirnya pendakian kali ini ditutup dengan sebuah kepuasan setelah setahun tidak merasakan sunyinya hutan, dinginnya udara dan indahnya puncak.




Selasa, 21 Agustus 2012

Tempat Tertinggi Ke 8 di Pulau Jawa


Ini sudah lama ingin saya tulis , tapi karena kesibukan Tugas Akhir jadi saya baru sempet nulis pengalaman saya “muncak” ini.
Kali ini yang saya coba adalah Gunung Sindoro di Wonosobo, Jawa Tengah yang merupakan gunung tertinggi ke-8 di pulau Jawa diatas Gunung Merbabu yang pernah saya taklukan dengan ketinggian 3154 meter diatas permukaan laut (kata penjaga basecamp).
Banyak sekali pengalaman berbeda dan momem-momen menarik selama perjalan, jadi sayang jika tidak didokumentasikan dalam bentuk tulisan. Pengalaman pertama adalah teman baru, kali ini saya mendaki bersama Adit, Alim (lagi-lagi), dan teman yang baru saya kenal Lilik.

Sedikit info mengenai Gunung Sindoro.

Gunung Sindara, biasa disebut Sindoro, atau juga Sundoro (altitudo 3.150 meter di atas permukaan laut) merupakan sebuah gunung vulkano aktif yang terletak di Jawa TengahIndonesia, dengan Temanggung sebagai kota terdekat. Gunung Sindara terletak berdampingan dengan Gunung Sumbing.
Kawah yang disertai jurang dapat ditemukan di sisi barat laut ke selatan gunung, dan yang terbesar disebut Kembang. Sebuah kubah lava kecil menempati puncak gunung berapi. Sejarah letusan Gunung Sindara yang telah terjadi sebagian besar berjenis ringan sampai sedang (letusan freatik).
Hutan di kawasan Gunung Sundoro mempunyai bertipe hutan Dipterokarp Bukithutan Dipterokarp Atashutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.
Antara November 2011 - 30 Maret 2012. Terjadi semburan asap solfatara di beberapa tempat pada dinding dan dasar kawah utama. Aktivitas kegempaan juga mengalami peningkatan sejak bulan November 2011. (Wikipedia)

Perjalan dimulai jam 16.30 dari Banyumanik, kita menunggu bis jurusan purwokerto via wonosobo di depan terminal dan melakukan hal bodoh dengan menolak bis tersebut dan itu membuat kita harus menunggu kira-kira satu jam lagi untuk bis berikutnya. Tapi, dibalik kesulitan pasti ada keindahan, dan itu kita rasakan saat melihat sunset dari pinggir jalan di terminal Banyumanik.
Perjalanan dilanjutkan dengan memakai bus menuju desa Kledung awal jalur pendakian Kledung, di bus isinya hanya tidur karena lelah menunggu sampai ada pengamen yang berisik sekali dengan suara lantang menyanyi yang liriknya “kami mengamen tidak untuk mabuk-mabukan” tapi aromanya ciu (miras khas Solo) ironis sekali.
Tiba di desa kledung sekitar pukul 22.00, dan suasananya sepi sekali tidak ada orang diluar satupun dan yang membuat tambah mencekam adalah ada suara musik gamelan jawa ditengah keheningan desa kaki gunung. Dengan sedikit usaha mencari akhirnya kami menemukan basecamp pendakian. Seperti biasa kami mendaftar dan kami tidak langsung naik , tapi menikmati santap malam di pinggir jalan raya dan ditengah-tengah Gunung Sumbing dan Sindoro, rasanya sungguh nikmat, percayalah.
Selepas solat Isya demi keselamatan, kita mulai pendakian pada pukul 23.30. Trek pertama berupa perkebunan tembakau milik dinas perhutani baru sekitar 1 jam kita mulai memasuki hutan. Vegetasi awal yang kami temui adalah pinus, tanaman khas gunung. Tidak ada kesulitan sebenarnya, namun ada sedikit gangguan mistik yang sempat membuat merinding dan setelah dibahas ternyata hanya suara gesekan ranting pohon. Sampai sekitar pukul 4 pagi kita sudah mencapai titik lelah dan lapar jadi kita memutuskan sejenak melepas lelah sambil menikmati kopi-roti (wedang ora nggenah) dan solat subuh.
Kami lanjutkan jalan dan sepertinya sudah summit attack, dan yang membuat kesal adalah puncak bayangan yang banyak. Karena tertipu dua kali jadi kami memutuskan istirahat, makan dan tidur karena memang ngantuk dan lapar sudah mendera. Sangat terasa sekali berjalan selama 9 jam, belum sampai, dan tertipu. Menu makan kami adalah indomie dicampur sarden dan nasi. Alim mencoba membawa makan baru berserat yaitu agar-agar, namun sayang sekali agar-agarnya tumpah dan hanya tersisa sedikit dan tentu saja jadi bahan lelucon (lelucon agar-agar). Selepas tidur sekitar 45 menit kami lanjut jalan dan ditipu puncak bayangan lagi dua kali dan seharusnya di bagian ini adalah padang edelweis namun sayang sedang tidak mekar. Baru sekitar pukul 10 kita tiba di puncak Sindoro.
Bagi saya pemandangan puncaknya baru karena disana ada kawahnya tidak seperti gunung-gunung yang pernah saya naiki sebelumnya ada kawah mati disana dan juga ada sebuah tanah lapang yang luas dan datar dan saya kira merupakan tempat ngecamp. Pemandangan yang paling jelas adalah Gunung Sumbing, terlihat juga Gunung Merbabu dan Gunung Merapi dibelkangnya. Kami istirahat sejenak di tanah lapang tersebut. Disana ada pendaki warga sekitar Sindoro dan dua orang pendaki yang sedang berfoto-foto. Walaupun tengah hari tapi di puncak rasanya tetap saja dingin.
Sekitar pukul 12 kami memutuskan untuk turun dan berpisah dengan Puncak Sindoro. Untuk turun gunung dirasa tidak terlalu berat, hanya ada insiden sandal adit sebelah kiri masuk ke lubang dan tidak bisa diambil. Lalu dia memutuskan untuk menggunakan sebelah sandal saja sampai akhirnya menemukan sepatu bekas, walau sayang itu sebelah kanan juga tapi tak apalah daripada nyeker. Jadi bisa dibayangkan seorang pendaki dengan alas kaki setengah sandal setengah sepatu dan semuanya kanan. Haha
Selama diperjalan yang kami pikirkan hanya “sego endog” karena memang kami sangat lapar sampai akhirnya sekitar pukul 6 sore kami tiba di basecamp dan benar saja langsung memesan “sego endog” sambil minum teh hangat di rumah warga. Tapi disana ada teror dari anak si penjual, anaknya perempuan masih TK dan ampun nakalnya minta maaf. Kami berempat hampir kalah menghadapi teror anak itu. Tapi kami mengerti kenakalan anak itu hanya karena dia tidak punya teman, ibunya menyiapkan makan bagi pendaki dan ayahnya melakukan pendataan para pendaki, kasian dia.
Selepas isya kami pulang, sambil menunggu bis kami sempat menikmati kopi panas di warung pinggir jalan seperti malam sebelumnya. Kami menunggu bus cukup lama dan sempat tidur di pinggir jalan hingga akhirnya pukul 10an bis Semarang baru lewat dan langsung back to Semarang. Kamipun touchdown pukul 1.00 di terminal Banyumanik.

Mungkin Berguna 
Ongkos : 
Bus Semarang - Wonosobo dan sebaliknya : Rp 18.000,- / orang
Bayar Pendakian : Rp 3.000,- /orang



Peta Jalur Pendakian Gunung Sindoro

Menunggu Bus di Depan Terminal Banyumanik, Semarang

Menu Sarapan (mie-sarden-nasi)

Gunung Sumbing dari Puncak Sindoro

Tanah Lapang di Puncak Sindoro

Berpose di Puncak

Pelaku Teror di Warung "Sego-Endog"

Tidur Saat Menunggu Bus

Jumat, 27 April 2012

Cerita Berbeda di Puncak yang Sama


Puncak Ungaran untuk kedua kalinya dalam 3 bulan ?

Tidak masalah karena tentu saja keduanya punya cerita yang jauh berbeda. Kali ini saya mendaki Ungaran bertepatan dengan Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April. Saya ditemani 2 orang teman saya yang “gila-gila” - sebut saja Mualim (nama asli) dan Wahyu Aditya alias Konde alias Didot (nama asli)- dan kami bertiga menyebut diri kami sebagai anak “GAUL” .

Sebelum saya bercerita lebih jauh, saya akan memberi sedikit info mengenai Gunung Ungaran dan bagaimana untuk dapat ‘menaklukannya’.

Gunung Ungaran merupakan sebuah gunung yang terdapat di pulau Jawa tepatnya Jawa Tengah, Indonesia. Sesuai namanya, gunung ini teretak di Kabupaten Semarang yaitu Ungaran. Gunung Ungaran merupakan gunung api tipe strato dengan puncak tertinggi memiliki ketinggian 2.050 mdpl dan dipuncak ditandai dengan adanya “patok” TNI yang sayangnya banyak tulisan-tulisan rakyat tidak bertanggung jawabnya. Namun tetap keindahan sebuah puncak gunung sangat layak untuk dinikmati, dengan awan terhampar dan puncak gunung-gunung tetangga seperti Si Kesatria kembar Sumbing- Sindoro, Gn. Merbabu dengan Gn. Merapi yang mengintip di baliknya yang “menyihir” penikmatnya.

Di lereng gunung ungaran terdapat situs arkeologi berupa Candi Gedongsongo (gedong = gedung, songo = sembilan), beberapa curug (air terjun) seperti Curug Semirang dan Curug Lawe. Juga terdapat gua, yang terkenal adalah Gua Jepang. Gua ini terletak 200 m sebelum puncak, tepatnya di sekitar Desa Promasan (desa para pemetik teh).

Untuk dapat mencapai puncaknya terdapat 3 jalur yakni jalur Mawar, jalur Boja, dan jalur Gedong Songo. Kami memilih lewat jalur Mawar. Untuk menuju kesana yaitu melewati jalur yang sama dengan jalur menuju Umbul Sidomukti – Bandungan. Dengan membayar Rp 2000/motor untuk masuk kawasan Sidomukti dan membayar Rp 4000/orang plus Rp 2000/motor untuk parkir di Mawar kita sudah bisa memulai getting the summit. Sepanjang jalan dari Mawar kita disuguhkan dengan hamparan pohon pinus dan seskali memasuki hutan namun treknya masih bersahabat. Kita juga bisa menemukan kunang-kunang disana. Lalu setelah melewati Desa Promasan pemandangan berubah menjadi kebun teh, dan summit attack dimulai disana dengan trek yang tidak lagi “baik hati” dengan batu-batuan yang terkadang cukup terjal.

Kami tiba dipuncak sekitar pukul 22.00 dan langsung mendirikan tenda dan membuat wedang ora nggenah. Minuman hangat campuran energen kacang hijau, indocafe coffeemix, dan dicampur roti coklat dengan sedikit ada rumputnya karena memasak di dekat rumput menjadi menu makan malam kami. Tapi entah kenapa rasamanisnya  enak sekali, namanya juga laper hahaha

Sepanjang malam kami mengobrol yang tidak jelas dari membahas film tuyul dan mbak yul sampai “menggarap” saya dan pacar saya, tapi itulah yang sedikit melupakan the cold of summit. Kami tidur entah jam berapa dan bangun sekitar pukul 5.00 dan kaget ketika keluar karena puncak Ungaran seperti pasar , ramai sekali. Dan belakangan diketahui bahwa hari itu adalah Hari Bumi.

Kehangatan mulai tercipta saat menunggu sang surya bangun, kalau ini keinndahannya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata pokoknya sunrise terindah yang pernah saya lihat. Setelah mulai terasa lapar kamipun memasak mie campur, campuran rasa soto, rasa ayam, dan rasa rendang tapi rasanya menjadi unik dan cenderung tidak karuan enaknya. Baru sekitar jam 8.30 kami beres-beres dan meluncur kembali ke kota Semarang menyongsong tugas-tugas kuliah yang telah menanti esok hari.

Gunung Merbabu dari Puncak Ungaran

Kebun Teh Desa Promasan (sumber foto)

Wedang Ora Nggenah

Earth Day 22 April 2012 - Let's Save Earth (Sumber Foto)



Gunung Ungaran 21 -  22 April 2012


referensi :