Kawanan Gajah Way Kambas (Dok. Pribadi) |
Perjalanan bukan hanya soal sunset atau sunrise yang indah. Perjalanan adalah soal melihat, berinteraksi dengan orang, belajar dan terutama memperkaya pengalaman.
Hari sudah semakin siang. Suhu Matahari sudah panas menantang. Jalanan kota Lampung sekitar terminal Rajabasa harus segera kita tinggalkan.
“Kita harus secepatnya ke sana. Paling tidak saat malam kita sudah ada di penginapan.” Kataku pada Winda.
Aku menunjukan pesan dari temanku. Aku menjelaskan sedikit tentang Lampung Timur yang santer diberitakan akan banyaknya tindak kriminal disana. Bergegas kita menuju terminal. Mencari bus agar tiba disana sebelum gelap.
Apakah preman dan calo di terminal adalah pekerjaan paling kotor? Tidak juga. Tak jarang yang berseragam pun harus diberi “uang rokok” saat kita meminta bantuan yang seharusnya memang sudah tugasnya. Di terminal Rajabasa, kita diantar oleh petugas ke tempat bus Damri yang menuju Way Jepara. Kemudian secara terang-terangan dia meminta uang rokok. Ya, walaupun kita terbantu dan bebas dari calo terminal, tapi bagiku tak seharusnya petugas mengemis untuk sekedar membeli rokok.
Pukul tiga sore bus kita berangkat. Pukul enam sore kita tiba di Desa Labuan Ratu 7 atau terkenal dengan “Desa Plang Ijo”, pintu masuk Taman Nasional Way Kambas dan Way Kanan.
Gajah dan Pawang (Dok. Pribadi) |
Keuangan kita sudah menipis. Membayar homestay kita sepakati menjadi opsi terakhir. Malam itu kita menemui petugas dan meminta izin tidur di pos jaga. Dengan mengaku sebagai mahasiswa dan sudah berjalan lima hari di Lampung, kita berhasil mendapatkan hati Pak Dedi yang merupakan petugas Perhutani. Lebih dari itu, dia menampung kita di rumahnya yang merupakan homestay. Dengan harga, “gampang”.
Kita seperti menjadi anggota keluarga baru. Istrinya yang baik dan perhatian menyambut hangat kehadiran kita. Bahkan saat sarapan, dia dan Winda menyiapkan masakan untuk sekeluarga. Ojek yang mahal untuk menempuh jarak sepuluh kilo dari Plang Ijo menuju Way Kambas dapat kita coret karena Pak Dedi meminjamkan motornya. Native engagement selalu dapat memudahkan perjalanan dan memperkaya informasi tentang tempat yang kita kunjungi.
Pak Dedi banyak bercerita tentang Desa Plang Ijo. Desa ini dulunya merupakan desa yang sepi. Tidak bersahabat dengan pengunjung. Bahkan pemuda dan orang tua pun tidak akur. Pak Dedi lah yang merevolusi gerakan kepemudaan disana untuk bersama membangun desa. Hasilnya, kucuran dana pun cair untuk menjadikan desa ini sebagai desa penyangga. Desa ini sekarang bersimbiosis mutualisme dengan potensi wisata di Taman Nasional Way Kambas.
Cerita Para Gajah
Pusat Konservasi Gajah (PKG). Ucapan pada gapura itu menghentikan laju motor kita untuk berfoto. Seekor gajah tiba-tiba muncul di tengah jalan. Sempat panik karena kabarnya banyak gajah liar yang suka keluar masuk hutan bahkan sampai permukiman. Ternyata di belakangnya ada gajah lain dengan pawangnya.
PKG adalah bentangan ilalang yang luas. Terdapat rawa, kolam buatan, bangunan-bangunan, kanal dan jauh di sisi-sisinya adalah hutan-hutan. Di sanalah gajah-gajah liar dijinakkan dan dikembangbiakan. Untuk menjaga populasi, komoditas wisata, dan disewakan ke kebun binatang sebagai satwa koleksi.
Bona Si Bungsu Way Kambas (Dok. Pribadi) |
Infrastruktur disana cukup baik. Walaupun ada bangunan yang belum jadi dan mau rubuh. Pengalaman berbeda kita rasakan disana, melihat gajah, berinteraksi dengan gajah yang dibiarkan berjalan-jalan bebas sangat menarik. Mamalia besar itu terlihat sangat friendly. Mereka bermain bersama, mandi, bercanda dan usil, makan, buang air, dan kawin disana.
Setiap pawang punya gajah pegangan masing-masing. Dari cerita mereka, hubungan mereka dengan gajah disana sudah lebih dari hubungan subjek-objek. Mereka sudah menganggap gajah sebagai bagian dari kehidupan mereka. Mereka sayang, khawatir, perhatian, dan bersenang-senang bersama gajah-gajah yang semua memiliki nama. Kecuali satu gajah yang baru berusia lima hari yang belum dinamai. Kita menyebutnya Bona. Seperti nama gajah di tabloid Bobo. Bahkan saat ada pemburu liar mereka akan mengejarnya dengan gajah.
Ada Sugeng, gajah yang saat aku foto malah marah dan membentakku dengan suara seperti terompet. Ada Yeti, gajah kecil yang saat ditemukan kakinya nyaris putus. Kemudian dia diasuh oleh ibu angkatnya, gajah dewasa yang menganggapnya seperti anaknya. Ada Bona yang masih imut-imut terus berlindung di kolong tubuh ibunya, Rahmi. Ada sekumpulan anak-anak gajah yang hobinya usil pada gajah-gajah dewasa. Layaknya anak-anak, mereka bahkan pernah ditendang gajah dewasa, namun tidak kapok. Kita sempatkan ikut tour dengan gajah keliling padang ilalang. Menyenangkan sekali berinteraksi dengan makhluk Tuhan yang katanya tak berakal, namun memiliki naluri kebersamaan yang mungkin melebihi manusia.
Malam hampir tiba. Kita harus kembali ke homestay dengan membawa banyak cerita, kenangan, pengetahuan dan cinta. Malam itu, purnama di langit Way Kambas. Sinar bulan adalah wujud Desa Plang Ijo. Penjaga warisan fauna Indonesia yang malah lebih banyak diapresiasi oleh turis mancanegara. Desa ini kini siap menyambut siapun yang mencari pengalaman bersama gajah, hutan, dan hewan-hewan liar lain.
Ayo, Main Sama Gajah! (Dok. Pribadi) |
Tidak ada komentar :
Posting Komentar