“Bulan di atas
kuburan”
Satu kalimat itu
mungkin adalah satu hal yang paling mudah diingat dari sosok sastrawan asal
tanah Batak, Sitor Situmorang. Itu bukan penggalan, melainkan memang isi (satu-satunya
isi) dari puisi yang berjudul “Malam Lebaran”.
![]() |
Bulan Di Atas Kuburan |
Namun, bukanlah
maksud untuk mengkaji puisi itu, saya menulis tentang Sitor. Bukan pula hanya
karena bungsu dari sastrawan Angkatan ’45 ini sudah selesai bertugas
“menasehati” manusia di bumi pada 20 Desember 2014 lalu.
Sitor yang berada
pada masa yang sama dengan penyair sableng
Chairil Anwar, yang kemudian namanya melambung setelah Chairil mati muda,
memiliki pemikiran, ideologi, metode, dan jalan yang dibutuhkan oleh generasi
sekarang untuk “Belajar Menjadi Indonesia”.
Tema itulah yang
diangkat pada diskusi dengan narasumber Giat Wahyudi dan Radhar Panca Dahana
dan JJ Rizal sebagai moderatornya. Diskusi ini berlangsung pada 21 April 2015,
sebagai salah satu dari rangkaian acara “100 Kenangan Sitor Situmorang” yang
diadakan di Taman Ismail Marzuki pada 20-22 April 2015.
Belajar
JJ Rizal bercerita
pertemuannya dengan Sitor, Pramoedya, dan Afrizal Malna. Saat itu Pram berkata
begini pada Sitor “Negeri ini sedang krisis, tidak ada sastrawan yang karyanya
menggambarkan geografi Indonesia.” Sitor menjawab “Sastrawan itu ada di depan
Kamu, namanya Sitor Situmorang.” Mereka tertawa.
Ya, Sitor memang
semacam artefak yang dalam karya-karyanya menggambarkan Indonesia tidak hanya
secara geografis, namun juga secara historis, etnologis, dan antroplogis.
Sejarah dan Budaya Indonesia menghasilkan karya yang sinestesis.
Dalam konteks
belajar, maka artinya tidak akan ada habisnya. Bahkan Sitor pun pasti tidak
secara menyeluruh mengenali Indonesia. Belajar artinya terus menerus. Bukanlah
ilmu yang akan habis, melainkan usia yang akan mengakhiri proses tersebut.
Dalam diskusi ini
saya mencatat 3 poin penting dalam menjalani proses belajar menjadi Indonesia
menurut Sitor lewat para narasumber.
Pertama, erat
dengan kawan dan berdamai dengan lawan. Sitor sering melakukan dialog tidak
hanya dengan orang-orang yang ideologinya sama dengannya. Sitor yang seorang
Sukarnois tidak pernah memaksakan dan merasa ideologinya di Indonesia adalah
yang paling benar. Dia selalu berdiskusi bahkan dengan lawan politik dan lawan
ideologi sekalipun. Tujuannya agar membuka pikiran bahwa Indonesia dari zaman
dahulu terbentuk dari beragam ideologi, yang kemudian dikerucutkan menjadi
Pancasila.
Ambil contoh Tan
Malaka. Dia dianggap Komunis yang “najis”. Namun diluar itu, sepak terjangnya
mengubah pikiran masyarakat Indonesia dari pemikiran berdasarkan hal gaib dan
mistik, ke pemikiran berdasarkan logika, benda, dan ilmu pengetahuan yang
dibuktikan.
Kedua, bangga menjadi
suku bangsa tertentu. Indonesia adalah negara yang terbentuk dari gabungan
berbagai macam suku bangsa. Selama kita menganggap semua keragaman suku bangsa yang
ada memberikan sumbangsih yang sama besarnya bagi Indonesia, maka dengan itu
pula kita telah belajar mengenai Indonesia dalam konteks persatuan.
Sumpah pemuda
memang pertemuan dan persatuan pemuda dari berbagai daerah yang dikenal dengan
sebutan “Jong”. Sejatinya setelah mengikrarkan diri sebagai “satu”, maka yang
perlu kita lakukan adalah mewujudkan “satu” dengan cara kembali ke daerah. Kembali
menjadi “Jong” dengan semangat persatuan.
Ketiga, dengan cara
pertemuan. Sitor mencontohkan itu pada Giat Wahyudi. Giat kerap disuruh untuk
bertemu dengan beragam tokoh dan belajar dari para tokoh tersebut. Dari situlah
dia menyimpulkan bahwa belajar adalah dengan cara bertemu orang per orang,
bedialog, dan mendapat ilmu.
Radhar menambahkan
bahwa belajar Indonesia tidak bisa dari teks atau script. Menurutnya, dewasa
ini tidak ada lagi buku sejarah yang benar. Penggambaran sejarah bangsa dalam
buku pelajaran semua tergantung pemimpinnya siapa. Pemimpin pendahulunya, apalagi
jika berbeda ideologi, otomatis akan “dijatuhkan”, siklus itu akan berlangsung
terus dan lama-lama membentuk sejarah yang kita pelajari. Maka dari itu, jalan lain
adalah dengan melakukan perjalanan, bertemu orang, dan dari situlah sejatinya
kita akan belajar menjadi Indonesia.
Jalan Sitor Situmorang
dalam menanamkan ke-Indoensia-an memang bukan jalan yang strategis. Bukan jalan
yang secara langsung dapat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Namun, jalan
itulah yang dia anggap paling “bersih”. Bersih dari tuntutan zaman yang menuhankan
satu kata “beli”. Jalan itulah jalan sastra, kesenian, dan kebudayaan yang
pondasinya adalah hati nurani dan kebenaran.
Satu-satunya
persamaan manusia adalah perbedaan. Begitulah kata Gus Candra Malik, seorang
sufi. Perbedaan itulah yang jika disikapi dengan baik akan menjadikan Indonesia
menjadi bangsa yang besar.
Kamu ada, karena Aku ada. Ada Kamu, maka ada Aku. Kita
adalah bagian (part of), bukan yang
lain (the other). Dan Sitor, dengan
penuh luka dan sakitnya, membuka pengetahuan dan jalan bagi kita untuk menempuh
jalan itu.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar