Atap Jawa Tengah.
Bukan sesuatu yang berlebihan menyematkan julukan tersebut pada Dataran Tinggi
Dieng yang membentang di daerah Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah. Secara
etimologis, nama Dieng saja sudah berarti tempat bersemayamnya para dewa yaitu
dari kata “di” yang berarti tempat, dan “hyang” yang berarti dewa.
Para Pendaki (Dok. Pribadi) |
Magnet wisata
tempat ini memang begitu kuat. Tak hanya wisatawan lokal, wisatawan luar Jawa
Tengah dan wisatawan asing pun tertarik menikmati kawasan yang serba hijau dan
dikelilingi pegunungan ini. Wisata candi, kawah, dan bagi yang ingin berusaha
lebih keras, terdapat juga gunung.
Gunung Prau. Di
puncaknya yang luas kita dapat membangunkan matahari dari tidurnya.
Menyambutnya untuk mulai bekerja memberi kehidupan di bumi. Sudah pasti
rata-rata tujuan para pengunjung gunung dengan titik tertinggi 2.565 mdpl ini
adalah mencari sunrise. Fajar. Matahari terbit.
Mendung memang
sudah menyelimuti dari tempat kita memulai perjalanan yaitu Semarang. Baru setengah
perjalan menuju Desa Tambi yang akan langsung tembus ke jalan utama Dieng,
hujan sudah menyambut. Hujan berhenti, kabut turun. Jarak pandang tak seberapa
jauh. Namun, perjalanan tetap berlanjut dan tidak ada masalah sampai kita semua
tiba di Desa Patak Banteng, dan kemudian disambut hujan cukup deras.
Desa Patak Banteng merupakan salah
satu dari dua titik pendakian gunung Prau yang saya ketahui. Titik yang lain
yaitu melewati jalur Dieng. Tepat sebelum pintu masuk kawasan wisata Dieng.
Ramai
Gunung memang
sekarang sudah tidak hanya dikhususkan bagi para petualang. Sudah bukan sesuatu yang “wah” lagi mendengar
orang berhasil sampai ke puncak sebuah gunung. Terutama gunung dengan tipikal
seperti Gunung Prau ini.
Dengan trek yang terbilang
mudah, walaupun bagi sebagian orang sulit, namun paling tidak trekknya sudah
tertata rapi. Gunung Prau juga memiliki citra pemandangan yang memukau setelah
berada di puncak, yang dikenal dengan bukit Teletubies. Puncak berupa bukit
berundakan dengan view gunung-gunung di Jawa Tengah. Puncak Sindoro, Sumbing,
Lawu, Merbabu, tampak berjajar menghiasi langit dari puncak Prau.
Ramainya Pendakian (Dok. Pribadi)
|
Daya tarik itulah
yang saat itu (3/4) menarik tak kurang dari 4000 orang untuk mendaftar di pos
pendakian gunung Prau. Kita pun mendaki secara rombongan. Dengan agenda reuni
pendakian semasa kuliah, ditambah teman-teman lain, kita jadi ber-15.
Pendakian dibagi
dua kelompok. Kelompok saya dengan lima
anggota jalan belakangan karena harus menunggu satu teman. Pukul 22.00, kita
berlima mulai jalan. Pendaki memang tak habis-habisnya semenjak sore. Cahaya
lampu senter terlihat terus berjajar sepanjang malam di jalur pendakian. Dampaknya, tentu saja, mengharuskan
kita mengantri di jalur pendakian yang biasanya hanya selebar dua orang.
Perjalanan normal
hingga ke puncak memakan waktu 2-3 jam. Namun kita memakan waktu hingga 5 jam
karena kita berjalan super santai ditambah jalur yang licin karena habis hujan.
Kita banyak sekali istirahat, bahkan saya sempat berlama-lama melihat bulan
yang malam itu dikelilingi halo. Berupa cincin berwarna pelangi.
Tiba di puncak,
sepanjang mata memandang di tengah kegelapan dini hari, warna-warni tenda tak
ada habisnya. Padat sekali.
Bahkan mencari
tempat mendirikan tenda yang nyaman pun sulit.
Pemandangan Puncak Prau (Dok. Pribadi) |
Mulai tidur hanya
satu jam sebelum aktifitas penyambutan fajar, membuat saya malas keluar tenda.
Walaupun berbagai cara digunakan teman saya untuk membangunkan saya.
Saya hanya sempat
mengintip dari dalam tenda dan mendapati mentari yang perlahan bergerak menuju
langit. Membias jingga diatara awan mendung dan kabut yang perlahan menebal. Terpancar
dari balik kerucut-kerucut puncak-puncak gunung.
Tak perlu waktu lama
untuk selamanya mengagumi keindahan pemandangan dari puncak Prau. Kemudian saya
ditinggal teman-teman saya berfoto. Suasana menjadi tenang untuk saya tidur
lagi dan melajutkan menikmati fajar dari alam mimpi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar