“Setelah perjuangan urus mengurus yang panjang, akhirnya semua terbayar manis di puncak Gunung Gede.”
Gunung Gede adalah gunung di Jawa Barat bertipe yang memliki ketinggian
2958 mdpl dengan puncaknya ditandai oleh plang bertuliskan “Puncak Gede 2958 mdpl”.
Gunung Gede ini gagah berdiri di tiga kota yaitu Cianjur, Sukabumi, dan Bogor.
Terakhir meletus tahun 1957 dan masih tertidur sampai sekarang.
We Are
|
Hutan hujan tropis pegununagn yang ciamik, vegetasi yang beragam dan
unik (bahkan katanya ada tanaman yang belum dikenal secara ilmiah), dan
satwa-satwa yang diantaranya hampir punah menjadi harta karun milik TNGP.
Itulah mengapa izin pendakiannya ketat. Bahkan dari Januari – Maret 2014,
pendakian ditutup untuk penyeimbangan ekosistem.
Jam menujukan pukul 2.00, alarm kami masing-masing berdering bersahutan
memberi tanda petualangan akan dimulai kembali. Ya, kami memang berniat memburu
fajar dari Kandang Badak. Dengan hanya membawa perbekalan secukupnya, kami
mulai menuju titik tertinggi Gunung Gede.
Inilah akhir dari jalanan “mall”. Mulai dari sini kami memasuki hutan
dengan jalan tanah yang “berantakan”.
Langit Pagi |
Awal mendaki sebenarnya kami punya tiga mimpi. Pertama, kami mau tektok Gunung Gede lalu Gunung Pangrango.
Mimpi itu kandas di perjalanan. Kedua, kami mau camping di Surya Kencana, itu
juga kandas di Kandang Badak dengan langsung buka tenda. Ketiga, masih mencoba tektok tapi tanpa bawa peralatan
(ditinggal di Kandan Badak) biar ringan, itupun akhirnya batal di puncak Gede. Oke, paling tidak
sudah punya mimpi yang tinggi. Hehehe
Mendaki malam hari memang lebih berat apalagi di dalam hutan. Kita akan
berebut oksigen dengan ribuan pohon, berat sekali rasanya bernafas. Saat di
dalam hutan, ada suara aneh seperti dengusan sesuatu. “Grook, Groook!”. Agung
kaget dan terlihat ketakutan karena dikira macan. Tapi saya dan Didot lebih
positif kalo itu orang ngorok. Ternyata benar, itu orang yang sedang tidur
ngorok di tengah hutan di luar tenda. Syukurlah!
Setelah keluar dari hutan. Saya benar – benar menganga melihat langit.
Itu bintang tanpa ada sedikitpun penghalang memancarkan sinar yang…., aaa,
tidak tahu mengekspresikannya! Mantep! Cerahnya malam itu sampai-sampai bintang
terkadang berseliweran jatuh. Kami menyempatkan istirahat tepat di bawah
bintang dan langit. Kami direstui-Nya, batinku dalam hati.
Tak lebih 2,5 jam kami sudah bisa mendapat foto plang “Puncak Gede”.
Sambil menunggu fajar, tidur jadi kegiatan paling penting.
Puncak Pangrango dan Pelangi |
Saat pendaki lain mulai sibuk mencari spot melihat ayahnya Bung Karno,
Bung Karno Putra Sang Fajar, kami bangun dan tak mau ketinggalan. Pagi itu
restu-Nya masih menyertai kami dan para pendaki. Tak ada awan kelabu
sedikitpun. Cahaya fajar bebas berpendar ke bumi, langit biru putih mengkilap
dengan bercak-bercak merah, dan pelangi tepat di sebelah Puncak Pangrango
menjadi hadiah tak ternilai pagi itu di puncak yang berupa tebing dengan kawah dibawahnya.
Destinasi selanjutnya adalah turun ke Surya Kencana (Surken). Itu adalah
kewajiban kalau kata teman kantor saya. Di sana hamparan tanah lapang
dikelilingi dinding alam dan bunga edelweiss yang belum mekar menjadi tempat
istirahat kami. Kami tidur kali ini dibawah hangatnya sinar matahari dan
beralas tanah Surken yang konon merupakan nama seorang jin (seorang tapi jin?
Sudahlah!) yang bermukim disana.
Saking lelapnya, kami jadi telat bangun dan molor dari target turun ke
Kandang Badak. Tapi, momen turun ke Kandang Badak tetap kami hiasi dengan
imajinasi dengan berlagak sebagai spiderman, venom, transformer, bahkan shahrukh
khan sambil bergelantungan dan loncat-loncat di dahan. Ini spiderman atau
lutung lepas, ya?
Kami bukan pendaki, kami penurun gunung. Absurb!
~Salam Dolan, Cuk~
Tidak ada komentar :
Posting Komentar