“Iki sih, wis
pasti Raden Arjuna yang menang.”
“Iyo, mana ada yang sanggup
tanding panahan sama Raden Janaka alias Arjuna. Nek bukan Begawan Durna, gurunya sendiri, ya enggak ada yang bisa.”
Entahlah siapa yang berbicara.
“Mak, aku kepingin punya suami kayak Kang Mas Parta. Wis guanteng, keluarga raja, jago
memanah lagi. Lengkap lah, Mak. Cariin ya, Mak.” Kata satu dari sejuta
perempuan yang mendambakan sosok seperti Arjuna.
“Halah, kamu itu cocoknya sama yang seperti Rahwana di zaman Ramayana.”
Jawab ibunya yang diam-diam sedang berkhayal saat di ranjang bersama suaminya,
tiba-tiba suaminya berubah jadi Arjuna.
“Rak popo, Rahwana itu
setianya ke Dewi Widowati tiada duanya, Mak. Tapi tetep yang gantengnya kayak
Kang Mas Parta.” Mata perempuan itu berbinar bersama jutaan pasang mata
perempuan lainnya.
Gunjingan penonton riuh terdengar pada pertandingan memanah tingkat sekolah
di Hastinapura atau Astina ini. Suaranya lebih mirip dengungan yang menggema ke
seluruh gelanggang. Hampir semuanya mengelu-elukan Arjuna dengan segala
kesempurnaanya sebagai manusia.
Di deretan kursi kehormatan duduk berjajar petinggi-petinggi keraton
Astina. Resi Bisma, Prabu Destarasta didampingi istrinya Dewi Gendari,
Mahapatih Sengkuni, Dewi Kunti, dan Mahaguru Begawan Durna serta Widura yang saat
ini berperan sebagai pengatur acara.
Puluhan remaja calon senopati perang Astina masa depan mencoba menguji
kemampuan mereka di sini. Namun, bisa dipastikan pertandingan ini adalah milik
dua murid Begawan Durna saja. Diantara para peserta, hanya Duryudana si sulung
Kurawa, dan Arjuna sang penengah Pandawa, yang kemampuannya jauh diatas
rata-rata. Keduanya pun sebenarnya tidak bisa dikatakan bersaing, karena jika
Duryudana jauh di atas rata-rata, maka Arjuna tidak terbayangkan berada dimana
dalam hal melesatkan anak panah. Ditambah darah yang mengalir pada diri Arjuna
adalah darah dari raja para dewa, Batara Indra.
Dewa-dewi pun tak mau ketinggal menyaksikan pertandingan generasi emas
Astina itu. Batara Indra menjadi dewa yang paling senang karena pujian pada
anaknya berarti pujian pada dirinya juga.
“Perhatian semuanya, pertandingan akan dimulai. Dimohon untuk tenang.
Kepada para peserta silakan bersiap-siap di lokasi tembak masing-masing.”
Widura, paman Pandawa dan Kurawa, memberi pengumuman.
Kali ini ada yang berbeda dari pertandingan tahun-tahun sebelumnya.
Lebih sulit. Alih-alih memanah sasaran diam tepat pada poin tertinggi ditengah,
kali ini peserta harus memanah seekor lalat pilihan yang terbang bebas dari
jarak tembak tak kurang dua ratus meter.
Petinggi-petinggi Astina tidak hanya ingin menguji ketepatan. Ketenangan,
naluri dan kepercayaan pada senjata menjadi faktor utama untuk memenangkan
pertandingan. Peserta yang hanya diberi kesempatan sekali tembak harus
benar-benar percaya bahwa senjata adalah teman dekat para kesatria.
Pertandingan pun dimulai.
Satu persatu anak panah melesat ke langit. Desingnya menghiasi langit
bagai sekumpulan lebah. Tapi semua gagal. Mustahil memang, lalat itu bahkan
nyaris tak terlihat oleh mata biasa. Apalagi dia bergerak. Tak terkecuali
Duryudana yang tampak mengutuki busur dan empunya.
“Sial, dasar busur bodoh. Dalam perang apapun aku tidak akan menggunakan
busur yang sama pembuatnya dengan ini.”
Arjuna hanya tersenyum melihat lawan-lawannya yang satu persatu mulai
lesu dan kecewa. Dengan tenang dia ambil busur dan anak panahnya lalu mulai
membidik. Ia pejamkan mata dan menarik nafas panjang saat menarik tali
busurnya. Penonton hening, dewata diam, jajaran kerajaan tak bergeming saat anak
panahnya melesat membelah langit, lembut bagai kupu-kupu tapi ganas bagaikan
burung elang. Kemudian menukik tepat di atas tubuh lalat itu.
Namun….
Sesaat sebelum mengenai lalat itu, jantung seluruh hadirin dibuat berhenti
berdetak. Sebuah anak panah murahan meluncur dari arah penonton yang jaraknya
sekitar satu kilo meter. Melesat secepat dan setepat Ajian Sepi Angin milik
Hanoman, kakak satu ayah Bima di zaman Ramayana. Bukan lalat itu yang menjadi
sasaran, tapi tepat mengenai mata panah Arjuna yang hanya berjarak sekian mili
dari tubuh lalat itu dan membelokannya. Lalat itupun lolos dari kematian.
Hadirin termasuk para dewa dan Arjuna sendiri tercengang. Hanya Batara
Surya yang malah membuang nafas lega sambil sekilas meringis sinis pada Batara
Indra. Siapa gerangan pelakunya?
“Namaku Karna, aku pemilik anak panah itu.” Teriak pemuda dari bangku
penonton dengan busur di tangannya. Dia sangat gagah dengan cahaya matahari
tersorot dari balik punggungnya. Batara Surya, sang dewa matahari, yang dari
tadi acuh, sekarang jadi semangat melihat anaknya beraksi membungkam putra
Batara Indra.
Pemuda itu dipanggil ke arena. Tidak ada yang mengenal pemuda itu. Semua
sekolah merasa tidak punya murid seperti dia. Lebih tepatnya sehebat dia.
Di tengah keterkejutan itu, hanya Dewi Kunti yang terlihat sedih.
Wajahnya yang cantik dan selalu secerah sinar bulan purnama tampak meredup. Dia
tahu siapa pemuda itu, dialah kakak tertua Pandawa sebenarnya. Anak pertamanya
dengan Batara Surya saat mencoba merapal Aji Pameling Pamekasing Rahsa dari
gurunya Resi Durwasa. Ajian yang dapat memanggil dan bersetubuh dengan dewa itu
menghasilkan Basukarna alias Karna, putra Batara Surya. Dia membuang Karna
waktu itu, dan sekarang setelah dua puluh tahun, anaknya sudah segagah,
setampan, dan sehebat adik-adiknya terutama Arjuna. Dewi Kunti begitu sedih
sekaligus bahagia bertemu Karna lagi.
“Siapa kamu?” Tanya Begawan Durna yang gusar karena murid terhebatnya
dikalahkan.
“Namaku Karna, anak sais kereta kerajaan, Sinuwun.” Jawab Karna setelah memberikan sembah sujud pada para
petinggi Astina.
“Apa?! Anak sais kereta? Kaum sudra.”
Karna hanya mengangguk tapi tak menunduk. Kepalanya tetap tegak di depan
kemarahan Sang Mahaguru. Dewi Kunti tersayat hatinya, tapi tak mungkin dia
mengakui sekarang kalau itu anaknya.
“Kau tahu, lomba ini hanya untuk orang yang sekolah. Untuk kaum kesatria.
Orang bodoh dan rendahan sepertimu tidak layak ikut. Pergi kau dari sini! Tak
ada tempat bagi anak seorang sais kereta. Cih!” Hardik Durna walau sebenarnya
nuraninya sebagai orang suci sekaligus kesatria mengatakan dialah senopati masa
depan Astina. Kesatria sejati. Dia layak bersanding bersama para Pandawa, Putra
Pandu.
Tanpa sepatah kata bantahan apalagi kata-kata memelas, Karna meninggalkan
gelanggang dengan kepala tegak. Dia tetap percaya pada kemampuannya dan yakin
suatu hari bisa mengalahkan Arjuna. Derap langkahnya sama sekali tanpa
keraguan. Aura kesatrianya memancar ke seluruh penjuru gelanggang dari tubuh
dan busur yang digenggamnya.
Penonton mulai riuh lagi. Tapi topiknya sudah berganti menjadi ‘Siapakah
pemuda itu sebenarnya?’.
“Mak, kalau enggak bisa Kang Mas Parta, yang kayak dia juga enggak
apa-apa.” Kata perempuan yang tadi sambil menunjuk Karna yang memang perawakan
dan wajahnya mirip sekali dengan Arjuna.
***
IndraRama
Kamar Kos, 22 Mei 2014
00:30
Tidak ada komentar :
Posting Komentar