Kalau kalian bertanya dua hal yang paling aku sukai, aku akan menjawab:
balkon dan hari Minggu. Di balkon biasanya aku menyendiri memandangi langit
dengan sejuta misterinya. Dan hari Minggu adalah hari yang pas untuk melakukan
hal itu. Seperti hari Minggu ini, bersama kopi, rokok, dan koran terbitan
perusahanku.
Genap sebulan sudah koranku terbit setiap hari. Aku anak muda pimpinan perusahaan
media cetak warisan ayahku yang aku ambil alih dan aku obrak-abrik. Aku ganti
konsep korannya sesuai tujuanku. Menyesuaikan dengan konsepku, kematian, koran
baruku ini aku beri nama “Koran Obituari”. Menarik bukan? Ini bukan koran pagi,
ini aku sebut koran senja. Karena terbit setelah jam enam sore.
Apa? Kalian takut? Kasihan. Kalian yang takut membeli koranku aku anggap
berpemikiran sempit. Kalian hanya menganggap kematian berarti tubuh yang kaku,
dingin, jantung tak berdenyut, dan tidak bernafas. Padahal yang lebih
menakutkan itu mati sak jroning urip,
mati dalam keadaan hidup. Jasadnya bernafas tapi jiwa, nurani, akal sehat, dan
kewarasannya mati. Pernah dengar itu?
Minggu itu cuaca tidak cerah. Matahari hanya bersinar sekenanya, hanya
menandakan kalau saat ini bukanlah malam. Aku sedang menunggu pesawat yang akan
menjemputku untuk berlibur. Pesawat itu akan menjemputku di depan rumah. Sambil
membolak-balik halaman koranku dan menertawakan beberapa kisah kematian, udara
siang itu menghembuskan ingatan-ingatan masa laluku. Di tengah ibu-ibu yang
mengutuki langit karena cuciannya susah kering, aku hanyut dalam penjelajahan
waktu.
***
“Hay, kamu kok sudah besar
masih main ayunan?” Aku ingat percakapanku dengan seorang wanita yang bermain
di ayunan saat aku TK.
“Awas dong, aku mau main,
nih!” Kataku polos. Perempuan itu hanya diam kemudian menangis. Karena aku
tidak tahu kalau dia makhluk yang berbeda denganku, aku laporkan hal ini pada
ibuku yang sedang mengobrol dengan para ibu teman-temanku. Aku ceritakan apa
yang aku lihat dan aku tunjukan.
“Mana, Dek? Enggak ada siapa-siapa di ayunan itu. Sudah sana main lagi.”
Jawab ibuku tak percaya. Dianggapnya ini hanyalah imajinasiku. Orang tua memang
kadang begitu, tidak menghargai cerita bocah kelas ompol sepertiku.
Aku datangi lagi ayunan itu. Dia masih saja di sana dan masih menangis.
“Mbak kenapa nangis terus?” Tanyaku polos tapi ingin tahu.
Hanya lirikan yang dia berikan padaku. Tapi kemudian dia tersenyum.
Wajahnya pucat tapi senyumnya manis. Aku belum bisa menjelaskan arti
senyumannya, hanya bisa merasa kalau itu adalah senyuman kepercayaan. Dia
berdiri dan pergi tanpa melirik.
“Mbak mau kemana? Sini aja temenin
aku main ayunan.” Begitu saja kalimat itu keluar dari mulutku. Tapi dia hanya
melempar senyumnya lagi dan pergi. Kali ini sempat aku balas senyumnya dengan
senyum bocahku. Senyumnya sangat manis dan tulus.
Kejadian serupa itu terus berulang sampai aku tahu istilah ‘indigo’.
Sejauh ini tidak ada yang tahu tentang ini. Aku menyimpannya rapat-rapat karena
sakit hati pada pemikiran orang tuaku.
Aku juga tidak pernah takut pada semua jenis mereka. Mereka kadang lebih
baik daripada teman, kerabat, dan orang tuaku. Aku bisa bercerita dan
mendengarkan banyak cerita dari mereka. Mereka ada dimana-mana, ada di sekolah,
di taman, di kamarku, bahkan mungkin di belakangmu atau di sampingmu. Semua
tersenyum manis dan tulus padaku, persis senyum wanita di ayunan itu.
Sampai saat itu, saat orang tuaku mulai mencium keanehan pada diriku.
Mereka mulai curiga karena aku sering terdengar bercakap-cakap sendiri di
kamar. Action! Mungkin itu yang
mereka pikirkan saat aku diinterogasi kemudian dibawa ke orang pintar untuk
ditutup mata batinku. Aku tidak bisa menolak. Seperti biasa, mereka tidak ingin
punya anak berbeda. Berbeda itu buruk bagi mereka. Mereka ingin aku menjadi
anak mereka bukan menjadi diri sendiri. Tapi apa daya, aku baru kelas empat SD.
Argumenku hanya akan dianggap celotehan tolol hanya karena tidak sesuai dengan
kehendak mereka.
Sejak hari itu, tidak bisa lagi bermain dengan Budi, bocah kecil yang
mati kecelakaan saat mengejar layangan. Atau bermanja-manja pada Mbak Mona,
wanita di ayunan yang telah aku anggap sebagai kakak perempuanku. Dia baik lho, sering aku diberi cokelat. Katanya
dari surga. Aku tak pernah bosan mendengar dongengnya tentang dunia orang mati,
yang tak pernah aku dapat dari orang tuaku. Aku akan merindukannya, terutama
senyum manis dan tulusnya.
Pernah aku meminta ikut dia ke dunianya, tapi dia bilang ‘Nanti ada
waktunya setelah kamu berbuat baik’.
Aku sedih tapi tidak bisa menyimpan kesedihan dalam waktu lama. Apalagi
setelah orang tuaku mulai membetukku menjadi ‘manusia’. Sampai aku besar aku
tidak bisa menepis bahwa aku menjadi manusia rasional juga. Berfikir dengan
logika dan menganggap yang tidak logis itu hanya bualan dan kuno.
***
Malam itu adalah wetonku, Minggu Pon. Memang tidak ada mitos gaib di
hari itu. Tapi menjelang tidur perasaanku merasa berbeda. Angin malam terasa
lebih dingin dari biasanya. Aku yang lebih suka angin malam daripada AC, malam
itu berpaling pada AC.
Sejak aku mulai menulis hasil reportaseku tadi sore di kamar, aku merasa
ada orang lain di sana. Dia memandangiku, tapi perasaanku rasanya aneh. Antara
ngeri tapi juga senang.
Artikelku selesai dan aku bersiap tidur. Aku tutup jendelaku. Dan saat
aku menuju kasur yang spreinya masih bergambar serial kartun Dragon Ball, yang
masih sama sejak aku kecil, ada seorang perempuan dengan pakaian serba putih
duduk di tepi ranjang.
Deg. Jantungku seperti berhenti. Aku ingin berteriak tapi mulutku kaku.
Malah gemetar dan keringat dingin yang deras. Selama sekian detik aku hanya
mematung. Baru kemudian semuanya luluh saat wanita itu tersenyum manis dan
tulus kepadaku. Senyum yang selalu membuat aku sejuk.
“Mbak Mo…na…?” Tanyaku gugup.
“Ya, ini aku. Lama sekali tidak berjumpa.” Jawabnya tanpa menggerakkan
bibir.
Mbak Mona. Dia masih sama seperti dulu, dan sekarang aku sudah
sepantaran dengan dia. Dia tidak pernah menjadi tua. Benar, usianya memang
sudah berakhir dan ia akan selalu berusia segitu. Aku mendekatinya dan duduk di
sampingnya. Seolah ingatanku saat masih indigo dikembalikan, aku sama sekali
tidak takut padanya. Tapi aku tahu, aku tidak mungkin bermanja-manja lagi
dengannya.
“Kenapa aku bisa lihat Mbak Mona lagi?”
“Kamu punya pekerjaan yang harus kamu kerjakan.” Dia mengalihkan
pembicaraan. “Di dunia ini ada yang lebih menyedihkan dari arwah gentayangan
sepertiku. Mereka adalah jiwa-jiwa, nurani, akal sehat yang mati tapi jasadnya
masih hidup di dunia dan tidak sadar kalau mereka mati.”
“Pekerjaan apa itu, Mbak?”
“Mereka itu hanya robot yang hidup dan tertawa karena jiwa dan nuraninya
telah mati. Sementara jiwa dan nurani mereka terlunta-lunta di alam peralihan.
Aku mohon, satukanlah mereka. Kirimkanlah jasad mereka agar mereka bisa tenang
menuju surga.”
Tanpa kata-kata perpisahan, Mbak Mona hilang. Hanya meninggalkan
pekerjaan dan mengembalikan indigoku. Tidak, dia merubahnya indigoku.
Aku sedang menonton TV saat sadar indigoku berubah. Saat itu sedang
siaran berita tentang pembakaran hutan oleh perusahaan kelapa sawit. Saat
direkturnya diwawancarai, aku melihat ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya.
Dia halus, astral, dan bercahaya. Aku kemudian tahu itulah nuraninya. Nuraninya
mati. Sebelum lenyap, dia sekilas memandangku seakan tahu aku sedang menyaksikan
kematiannya. Tatapannya menghiba, nanar dan penuh kesedihan.
Sejak itu setiap hari aku melihat kejadian yang sama. Ada jiwa yang
melayang pergi dari koruptor di TV, hati nurani dari para penguasa, akal sehat dan
kewarasan dari orang-orang di sekitarku. Semuanya bagai kupu-kupu cantik yang
pergi meninggalkan kepompongnya. Si kepompong hanya akan menjadi sampah. Sama
seperti jasad orang-orang itu, hanya menjadi robot yang hanya memiliki akal
rasional dan logika.
Alasan dan perintah Mbak Mona itulah yang membuatku memulai menerbitkan
koran itu. Dengan koran itu aku bekerja menyatukan jasad kosong dan jiwa mereka
di alam peralihan agar tenang menuju surga. Koran itu juga media yang tugasnya melenyapkan
robot-robot yang hanya mengeluhkan akal sehat.
Bagaimana dengan pertobatan? Tidak, tidak, jiwanya telah mati. Tidak
bisa hidup lagi. Telah lenyap dibunuh oleh dirinya sendiri. Tak ada pertobatan
yang akan direstui.
***
Sudah hampir jam tiga sore. Pesawatku sudah hampir datang dan aku akan
bersiap-siap berwisata entah kemana. Aku mandi dan berganti pakaian yang santai
asalkan nyaman. Aku berdiri di cermin lemariku dan merapikan dandananku. Saat
itulah aku melihat ada yang keluar dari tubuhku. Aku terkesiap. Aku raih
koranku, di halaman terakhir kolom kelima, aku bisa membaca namaku.
Indra Hendrawan kewarasannya mati
tanggal 12 April 2014. Jasadnya kini hanya menjadi orang gila yang gemar
bercerita hal-hal yang tidak masuk akal.
Aku menghela nafas. Sesaat kemudian pesawatku datang di depan rumah.
Kalian bisa menebak, apa yang membawa kita ke langit dan menjemput kita ke
rumah masing-masing?
Dengan biasa saja aku masuk ke kabin dan mencari kursiku. Kursi kedua
dari jendela sebelah kanan. Di dekat jendela duduk seorang wanita. Ternyata dia
adalah Mbak Mona. Dia di sana. Tersenyum manis dan tulus padaku lalu
mempersilakanku duduk di sampingnya. Dia sudah tidak cocok lagi menjadi
kakakku. Sekarang dia lebih cocok menjadi pacarku. Pesawat mulai lepas landas.
Terbangnya tidak horizontal tapi vertikal terus menuju langit yang tak
terbayangkan jaraknya.
“Kamu hebat. Lihat kota itu sekarang,” katanya sambil menggenggam erat tanganku
dan menunjuk ke bawah dari jendela.
“Ya, kota itu telah mati. Lihatlah lampu-lampu itu hanya saling
berpandangan dan bingung harus menyinari siapa.” Sambil membelai rambut
lurusnya, aku membalas senyum manis dan tulusnya. Saat sedang asyik, kami dikagetkan
oleh pramugari yang membagikan koran.
“Sudah Maghrib, Pak. Silakan koran baru hari ini.” Katanya sambil
mengulurkan koran yang bertuliskan “Koran Obituari”.
IndraRama
Graha XL, 22 Mei 2014
14:02
Nilai 90 lah dhan :)
BalasHapusKeren...
Haha, makasi. Tapi masih harus banyak belajar kok Lis
Hapus