Pelampung dan parasut sudah ada di tangan pilot Andreas dan co-pilot
Garin.
“Ayo lompat, kita tidak mungkin selamat. Kita sudah menukik sangat
tajam.” Ajak Garin. Namun, Andreas masih sibuk mengatasi kecelakaan yang hampir
tidak bisa dihindari lagi.
“Aku akan berusaha. Selamatkan lah dirimu sendiri.” Jawab Andreas putus
asa. “Sial, mesin utamanya mati,” umpatnya.
“Ayolah… kita memang diberi fasilitas keselamatan khusus ini. Agar
maskapai kita tidak perlu mencari banyak pilot-pilot senior seperti kita.”
Hening. Andreas berpikir sejenak.
“Kemarin aku membelikan anakku, Rino, remote control helikopter, ia bilang ingin jadi sepertiku. Katanya
aku hebat karena bisa terbang,” katanya tiba-tiba memecah kepanikan.
Garin hanya mengernyitkan dahi, heran.
“Dulu ayahku pernah membelikanku juga. Saat itu beliau bilang kalau
pilot itu tidak hanya harus pintar dan jago “terbang”. Tapi, pilot juga harus
bertanggung jawab pada semua nyawa penumpang di kabin. Di udara, keluarga
seorang pilot adalah penumpang di kabin. Sejak saat itu aku bertekad menjadi
pilot yang baik dan hebat.” Andreas menerawang.
Garin tidak tahu harus mengatakan apa. Dia hanya memandang temannya yang
raut wajahnya memancarkan semburat cahaya kebaikan.
“Rin, aku memang bukan ayah yang baik. Ini pilihan yang sulit. Jika aku
mati, aku tidak bisa membesarkan Rino. Tapi jika aku selamat dengan
meninggalkan penumpang, maka aku akan membesarkannya dengan kebohongan besar. Aku
bingung, Rin, harus memilih menjadi pilot atau seorang ayah.” Air mata Andreas
menetes, dia memeluk parasut seperti memeluk anaknya. Dilema akan sosok yang
akan dia pilih masih bercokol di kepalanya. Andreas hanya diam dan berdo’a.
***
Di rumah Andreas, Rino
berlari menghampiri ibunya.
“Ibu, mainan dari ayah
jatuh ke jalan di luar pagar.” Katanya sambil merengek.
Ibunya hanya menangis lalu
memeluknya erat-erat sambil menyaksikan berita kecelakaan pesawat di TV.
IndraRama
Kamar Kos, 12 Juni 2014
02:12
Tidak ada komentar :
Posting Komentar