Aku masih takjub pada ceritanya. Walaupun kejadian itu sudah lebih dari
seminggu sebelum aku berangkat mendaki ke gunung tertinggi di Pulau Sulawesi.
Lelaki di warung kopi lesehan pinggir jalanan Jakarta –yang aku taksir umurnya
hampir 70 tahun– itu banyak bercerita tentang Gunung Latimojong. Gayanya urakan
dan santai walaupun kerutan pada wajahnya sudah mulai nampak.
Mungkin karena gayanya yang seperti itu, keringkihan manula sama sekali
tidak terlihat pada gerak tubuhnya. Semangat dan gairah hidup juga terlihat
jelas dari sorot mata dan nada bicaranya saat bercerita tentang gunung itu.
“Mau ke Latimojong, Dik?” Sambarnya tanpa memperkenalkan diri setelah
mencuri pandang pada ponselku saat aku menerima pesan whatsapp dari grup “H-8 Latimojong Mei 2014”.
“Eh iya, Pak,” jawabku seketika menengok padanya.
“Bagus sekali itu, Dik, gunungnya.” Dia begitu antusias seperti sedang
mempromosikan dagangan.
“Bapak pernah kesana?”
“Pernah, Dik. Enam tahun lalu. Saya sama mantan teman-teman Mapala
kampus dulu. Sekarang ya sudah pada ‘senior’. Hehehe.” Katanya sambil
menyalakan rokok kereteknya.
“Waktu itu mau perpisahan sama teman yang mau pindah ke Jerman. Katanya
mendaki terakhir kalau-kalau sudah tidak sempat.” Sambil meniupkan asap
rokoknya yang sepertinya berisi pengalaman-pengalaman petualangannya.
Dia masih saja tidak memperkenalkan diri sambil terus bercerita. Banyak
sekali. Dari jalurnya, kondisi cuaca, cara ke sana, kondisi hutannya,
petuah-petuah saat mendaki, tempat-tempat yang cocok untuk beristirahat, hingga
puncak tertingginya yang baginya lebih dari sekedar tanah dan batu pijakan. Puncak
bernama Rante Mario di titik 3478 meter diatas permukaan laut baginya adalah surga.
Aku hanya mendengarkan. Terkadang memberi tanggapan dengan pertanyaan
tidak penting yang jawabannya hanya ‘ya’ dan ‘tidak’ atau hanya dengan gerak
tubuh dan raut wajah.
“Rencanamu bagaimana, Dik?”
“Kata teman saya, sih, kita akan carter jeep dari Desa Baraka sampai
Desa Karangan.”
“Wah enak itu, bisa sampai titik terjauh mobil. Kalau kita dulu harus jalan
dari pasar sampai Desa Karangan. Apalaigi kita sudah aki-aki.” Katanya dengan
nada bercanda kali ini.
“Hahaha. Tapi hebat, kok, Pak.” Jawabku.
Ia melanjutkan cerita pengalamannya. Diam-diam aku mulai bosan
mendengarkan ceritanya yang biasa-biasa saja. Sampai topik pendakian normal
sudah habis, dia bercerita sesuatu yang membuatku takjub dan penasaran sampai
sekarang.
Dia bercerita tentang sebuah bunga yang bisa menjadi kupu-kupu berwarna
ungu saat diterbangkan dengan cara memutar tangkainya. Dia menamainya “Bunga
Ungu”. Katanya hanya akan ada satu tangkai berwarna ungu yang bersinar di
tengah gelap malam. Dan, tidak semua orang bisa melihat bunga itu. Mungkin saja
hanya dia yang melihat bunga ajaib itu. Atau mungkin hanya dia yang mengigau
tentang hal yang tidak masuk akal itu.
“Saya tidak bohong, Dik. Tapi terserah kamu mau percaya atau tidak.”
Aku mengangguk tapi entah mengisyaratkan ‘iya’ atau ‘tidak’.
“Kalau beruntung mungkin kamu bisa juga ketemu bunga itu.”
Kami diam sebentar. Otakku seperti terangsang sesuatu yang disebut
penasaran. Padahal sudah jelas-jelas hal itu tidak masuk akal di zaman GPS
seperti sekarang. Apalagi dia bilang kupu-kupu ungu dan bercahaya itu akan
menuntun kita sampai pada tempat paling indah di gunung itu. Surga.
“Wah sudah malam, enggak kuat angin malam saya. Saya pulang dulu ya,
Dik. Kalau kamu percaya tentang bunga itu, mungkin kamu bisa ketemu seperti
saya. Keindahannya tidak tertandingi pokoknya.” Setelah membayar kopinya,
beserta kopiku juga, dia berjalan dan belok ke arah sebuah gang tanpa sempat
memperkenalkan namanya.
Aku masih duduk dan menghabiskan separuh batang rokokku sambil mencerna
kata-katanya. Hanya pertanyaan yang ada: apakah aku percaya atau tidak? Dan aku
memilih tidak percaya tapi ingin mencari tahu.
***
Harinya datang juga. Kita berenam, dengan anggota lima laki-laki dan
satu perempuan, siap mendaki dengan lama perjalanan pulang pergi kira-kira tiga
hari dua malam. Kita sudah bersiap di Desa Karangan di kaki gunung Latimojong.
Dari kaki gunung ini, rasa penasaran akan bunga ungu semakin menjadi. Aku
bahkan sudah berkhayal menerbangkannya dan berubah menjadi kupu-kupu ungu bercahaya
yang cantik. Kemudian terbang dan hinggap di jari telunjukku. Aku ajak dia
berbicara dan dia banyak bercerita tentang keindahan surga di gunung ini.
“Bedoa dulu yuk sebelum jalan.”
Ajak temanku.
Kita membuat lingkaran dan mulai berdoa.
Pasti hanya aku yang tidak berdoa dengan ‘benar’. Aku tidak meminta
apapun kecuali bisa menemukan bunga ungu itu. Resmi, penasaranku sudah naik
kelas menjadi obsesi.
Kami pun mulai jalan. Saat itu tengah hari. Matahari masih bertengger
sombong mengencingi kepala kami. Gunung ini memang tidak punya sopan santun.
Baru berjalan beberapa meter, kami sudah disuguhi tanjakan.
Total ada tujuh pos sebelum sampai puncak. Semua menanjak tanpa ampun.
Tantangan yang berat yaitu dari pos satu menuju pos dua, kita berjalan melipir
dan hanya cukup untuk satu orang. Kita bermalam di pos dua. Pos dua ini adalah
batu besar yang membentuk seperti goa. Ada sungai jernih bisa untuk minum dan
memasak. Kita bermalam di bawah batu besar itu. Beralas matras dan sleeping bag.
Aku tidak bisa tidur malam itu. Obsesiku pada bunga itu tak bisa diajak
kompromi. Saat teman-temanku sudah tidur aku duduk dan memandang gelapnya hutan
sambil merokok. Aku arahkan senterku berharap menemukan bunga itu, tapi hanya
ada daun-daun. Hanya khayalan yang tadi sempat terputus yang datang.
“Surga.” Bisik kupu-kupu itu di titik terdalam imajinasiku.
Esoknya perjalanan berlanjut. Aku cukup kuat untuk selalu berjalan
paling depan dan meninggalkan teman-temanku. Sampai pos enam hari sudah gelap.
Aku masih melanjutkan dengan sisa-sisa kalori yang terus berkurang dan asam
laktat yang meningkat terus. Dari sini, lereng gunung membentuk sudut lancip
nyaris delapan puluh derajat terlihat saat aku istirahat dan membuka susu kotak
sejenak. Aku memandang ke bawah sejauh kemampuan mataku berakomodasi.
Saat itulah aku melihat cahaya itu. Cahaya ungu di tengah lereng. Awalnya,
aku mengira hanya halusinasi. Tapi kemudian aku yakin itu nyata. Itulah bunga
ungu itu. Cahyanya terang, indah, dan menyejukaan. Seolah terhipnotis, aku
berjalan perlahan sampai ujung pijakan menuju ke sana. Betapa bodohnya aku,
tentu saja aku pasti jatuh. Aku berguling, merusak ranting-ranting rapuh,
menghantam batang pohon, dan menyeret humus belukar. Sampai semuanya menjadi
gelap. Total.
Terjaga atau terpejam sama saja gelap. Hanya ada satu cahaya: Bunga
ungu, beberapa langkah di sampingkku. Aneh, aku tidak merasa sakit sama sekali
setelah terjatuh seperti itu. Aku berdiri dan berjalan memetiknya. Kuterbangkan
dengan memutar tangkainya. Bunga itu berputar beberapa kali dan kemudian
menjadi kupu-kupu ungu yang cantik.
***
Kupu-kupu itu terbang mengitari kepalaku. Aku takjub menyaksikan kepakan
sayapnya yang lembut. Aku sekarang tahu mengapa saat ada kupu-kupu di rumah
artinya akan ada tamu datang, mereka pasti sedang mengejar kupu-kupu itu.
Seperti aku sekarang, semburat warna ungu bergaris hitam pada sayapnya seperti
tali yang menarikku kemanapun. Dia terbang menerobos kegelapan. Dan aku
mengikutinya.
Surga. Saat cahaya muncul, itulah kata yang pertama terlintas. Tanah
lapang yang luas, ada telaga kecil dan pepohonan hijau yang menyaring cahaya
matahari masuk ke dalamnya. Lumut-lumut membentuk koloni di dua sisi jalan setapak.
Beberapa menempel pada batang pohon, mewarnai batangnya yang kusam.
Ikutilah aku. Kata kupu-kupu itu. Aku hanya menurut.
Dia terbang lagi, mengajakku berkeliling. Semua makhluk menari, seperti
ada karnaval disini. Nyamuk, agas, lintah, burung, bahkan matahari pun menari.
Kupu-kupu itu terbang keluar hutan lalu hinggap diatas batu. Ada tulisan di sana:
Selamat Jalan, Akbar Mangkona. 10 April 2008. Hipotermia akan Membawamu ke
Surga.
Ini yang diceritakan teman-teman tentang pendaki yang mati karena
hipotermia. Kupu-kupu itu terbang lagi melewati hutan kecil dan sampai pada
sebidang tanah dengan tugu di tengahnya. Inilah puncak Latimojong, Rante Mario.
Indah sekali. Awan putih dan biru bergradasi melukis langit. Seperti sekumpulan
malaikat sedang berpesta. Menakjubkan.
“Sampai juga ya di puncak.” Sebuah suara menegurku. “Terima kasih sudah
percaya.” Aku langsung menoleh. Dia lelaki di kedai kopi yang bercerita tentang
bunga ungu.
“Bapak?”
“Ya, saya pemilik kupu-kupu ini.” Kupu-kupu itu hinggap di pundaknya.
“Aku akan wariskan kupu-kupu ini padamu. Karena kamu masih percaya pada
keindahan surga. Mana tanganmu.”
Aku tengadahakan tanganku. Ditaruhlah kupu-kupu ungu itu. Kupu-kupu itu
tersenyum padaku. Manis sekali. Kubalas senyumnya. Aku rasa aku mencintainya.
Aneh tapi nyata, aku lalu bersenggama dengannya.
***
Aku dengar suara tangisan. Lalu aku terjaga dan berusaha mengenali
tempatku. Serba putih. Aku lihat ibuku menangis di lenganku.
“Bu…” kataku lirih.
“Alhamdulillah, Le, kamu sadar
juga.” Suara ibuku bercampur isak tangis.
“Aku kenapa Bu, tadi kan aku
masih di gunung.”
“Kamu jatuh ke jurang, Le, dan baru ketemu dua hari setelahlahnya.” Kata
ibuku sambil memeluk erat tanganku. “Syukur kamu masih selamat. Kamu sudah koma
lima hari.”
Aku kaget. Bagaimana bisa. Baru saja aku merasakan puncak Latimojong.
Walau aku memang tak pernah merasa turun dari sana.
“Bu, apa ada kupu-kupu warna ungu?” Pertama yang kuingat adalah dia.
“Oh ada Le, ini ditemukan di tanganmu.” Ibuku mengeluarkannya dari
sakunya.
Kupu-kupu itu sudah mengeras. Aku amati. Dan aku menemukan tulisan
sangat kecil di balik sayapnya: Dari Puncak Rante Mario Latimojong. Akbar
Mangkona.
IndraRama
Kamar Kos. 10 Juni 2014
00:54
Tidak ada komentar :
Posting Komentar