Langit dan cuaca mulai berulah memainkan anomalinya. Hujan sore itu
begitu lebat jatuh dari balik angin muson timur yang seharusnya kering karena
berhembus melewati gurun-gurun pasir di utara Australia. Pada sore hari Jum’at
dimana pada saat salat Jumat tadi matahari masih terik bersinar, tubuh Salman
dibiarkannya dirundung kuyup dalam perjalanan pulang. Pertanda apakah hujan?
Salman tidak mempermasalahkannya. Hujan sore itu baginya hanya tentang satu
hal. Basah. Namun, jalanan yang biasanya macet dan akan bertambah parah saat
hujan, sore itu hanya sedikit padat di saat lampu merah.
Salman tiba di rumah setengah jam sebelum adzan Maghrib. Adzan Maghrib
ini adalah yang ke-29 yang paling ia tunggu di bulan ini. Bulan Ramadhan.
Itulah sebabnya jalanan agak lengang di Jakarta. Banyak warga Jakarta yang
memang sebagian besar pendatang sudah mudik ke kampung halaman masing-masing.
Karena alasan pekerjaan, Salman dan keluarga yang hanya ada istrinya baru akan
mudik esok hari pada H-1 atau saat malam takbiran.
Kumandang adzan Maghrib terdengar sayup di tengah gemericik hujan yang
beranjak mereda meninggalkan gerimis. Semburat senja yang samar mulai meredup
digantikan malam. Salman duduk di meja makan dengan teh manis hangat, nasi,
sayur sop, dan ayam goreng mentega di depannya. Tak ketinggalan bakwan dan tahu
bakso sebagai makanan pembuka. Semua menggugah selera kecuali wajah orang yang
memasak itu semua. Istrinya duduk di depannya dengan dengan muka yang ditekuk
berantakan. Sudah dari kemarin, dan selalu sama sejak satu tahun lalu, kalau
istrinya akan cemberut setiap mereka akan mudik ke rumah orang tua Salman di
kampungnya di Semarang.
Bayangkanlah kampung secara harfiah, karena kampung bagi Salman yaitu
rumah sederhana dengan halaman luas. Berdekatan dengan hutan-hutan kecil dan
surau kecil pula yang merangkap jadi tempat rapat RT, DKM, bahkan Kelurahan.
Juga ada lapangan tempat Salman dulu bernyayi lagu “Padhang Bulan” saat
rembulan mencapai kesempurnaan cantiknya. Padhang
mbulan padhange kaya rina.
“Pak, kenapa sih kita masih
harus capek-capek kesana pas musim mudik begini?” Sela istrinya saat Salman
baru saja menyelesaikan makan.
“Ya namanya juga musim mudik.” Jawab Salman.
“Tapi kan kita bisa kesana setiap saat. Enggak harus pas mau lebaran begini.
Kita tidak dapat tiket kereta lagi, terpaksa kan kita naik bus. Lihat tuh di tivi, macet dimana-mana. Capek di
jalan.” Istrinya terus nyerocos.
“Bu, orang tuaku kan tinggal ibuku saja. Jadi ya kita harus nengokin
beliau.”
“Iya, aku tahu. Tapi bapak jangan egois, sekali-kali kita kan bisa takbiran
dan lebaran di rumah orang tuaku.”
“Ok… Ok… lebaran tahun depan ya.”
“Ah, basi!” Dengan datar istrinya menanggapi lalu masuk kamar.
Salman mencoba sabar karena tahu posisi istrinya. Dia cukup tahu kalau
istrinya sebenarnya baik dan mencintainya. Tapi seperti halnya wanita
kebanyakan, istrinya mudah sekali nesu.
Mudah sekali ngambek. Salman tahu,
paling-paling istrinya akan diam sampai besok mereka berangkat pada pagi buta
sebelum imsak.
Salman masuk ke kamar setelah tarawih dan tadarus. Dilihatnya istrinya
walaupun nesu tapi tetap
mempersiapkan apa saja yang akan mereka bawa besok. Setelah dari Semarang, pada
lebaran hari kedua mereka akan ke kampung istrinya di Sukabumi. Selalu begitu,
saat hari kedua baru berangkat dari Semarang. Itulah yang mebuat istrinya
protes. Padahal Sukabumi lebih dekat dari Jakarta. Ditambah dengan kondisi
sekarang. Salman hanya ingin selalu menikmati malam takbiran bersama ibunya.
Sekarang, tahun kedua dia akan menikmati suasana itu dengan tangisan.
Benar dugaan Salman. Sampai hampir 10 jam dan belum kunjung memasuki Kota Semarang, istrinya hanya diam. Terkadang menjawab pertanyaannya dengan
kalimat yang tidak lebih dari lima kata.
“Sebentar lagi kita sampai, Bu. Kita bisa berbuka di rumah.” Kata Salman
menenangkan nesu istrinya. Salman
tampak tenang walau di dalam hatinya mega mendung sudah beriringan datang. Sama
seperti tahun lalu. Saat memasuki Kota Semarang dan menunju rumah ibunya,
kesedihan akan mendekapnya perlahan. Semakin lama semakin erat sampai ia tidak
bisa bernafas. Hanya butir-butir air mata di sudut matanya yang menggantikan
karbondioksida.
“Buka pakai apa, Pak?” Dari nadanya, istrinya sudah reda dari nesunya.
“Ya biasa.” Salman tersenyum penuh kemenangan.
Dia memang paling tahu menangani wanita saat nesu. Dengan mengalah dan membiarkan seorang wanita yang dicintai
dan mencintanya menikmati nesunya,
maka akan ada saat dimana wanita itu akan reda dengan sendirinya. Seperti
sekarang.
Rumah itu luas. Ruang tamunya, ruang keluarganya, dan halamannya. Namun
sekarang sepi. Salman dan istrinya tiba sesaat sebelum Maghrib. Ditaruhnya
makanan yang tadi sempat mereka beli di jalan untuk berbuka.
Salman adalah anak tunggal, ayahnya sudah meninggal sejak lama. Dan
ibunya… sudah pindah. Sementara istrinya menyiapkan makanan di meja makan,
Salman larut dalam kesedihannya. Dia duduk di teras memandangi hutan-hutan jati
kecil di kampungnya yang sudah berkurang dan sunyi. Seperti rumah ibunya.
Selalu, malam takbiran membawanya ke masa itu. Pohon-pohom jati memahat
semua kenangannya. Masa kanak-kanak bersama ibunya. Dulu, setiap malam takbiran,
ibunya sudah menyiapkan makanan lebaran. Lontong opor dengan ayam kampung,
sambal goreng ati-ampela dengan petai yang selalu ia pinggirkan karena tidak suka,
dan rendang daging yang membuatnya bingung mau makan opor ayam atau rendang
daging. Dan dia selalu memakan dua-duanya.
Biasanya masakan ibunya matang pada jam 9. Setelah berbuka di hari
terakhir Ramadhan, Salman bermain bersama teman-temannya di lapangan dekat
surau. Main mercon atau petasan mengiringi suara takbir. Dari mercon banting,
mercon ses-dor, sampai mercon cap Leo
yang suaranya lebih keras dari suara takbir di surau. Setelah Isya, mereka akan
ikut takbiran di surau lalu berlanjut takbiran keliling kampung sambil
membagikan beras zakat fitrah dengan becak punya Lek Karjo.
Saat masakan ibunya sudah matang dan siap, ibunya akan memanggilnya dan
teman-temannya untuk makan bersama di rumahnya. Di ruang tamu, beralas tikar
cap Ikan Sidat, mereka akan cekikian dan guyon
sambil makan. Setelah kenyang mereka akan kembali. Bukan takbiran tapi main
lagi sampai subuh. Kadang-kadang kalau capek, Salman tidak ikut Salat Ied.
“Sebentar lagi kita ketemu Ibu.” Istrinya membuyarkan lamunannya. Dia
bukan hanya sudah reda dari nesunya, tapi sudah ikut hanyut pada perasaan
suaminya.
“Ayo, kita buka dulu lalu pergi ke tempat Ibu.”
“Iya.” Salman beranjak.
Mereka berbuka dalam keheningan dan sayup-sayup suara takbir yang juga
sunyi tanpa ada gangguan dari anak-anak yang berebut mic.
Salman dan istrinya berangkat ke tempat ibunya di kota dengan mobil
pamannya yang selalu ia pinjam setiap mudik. Kesedihan semakin mendalam bersama
putaran roda dan suara takbir di sepanjang jalan. Salman merasa sepi di tengah
kemeriahan Hari Kemenangan yang akan tiba esok hari.
Di depan gedung itu, Salman seperti enggan menambah kesediahnnya. Ia
tidak ingin masuk tapi itu harus dilakukannya. Disusurinya lorong itu. Banyak
kamar disana. Penghuninya semua orang yang bertingkah aneh. Ada yang tertawa
sendiri, menangis sendiri, dan marah-marah sendiri.
Kali ini istrinya diam lantaran merasakan apa yang dirasakan suaminya.
Di depan kamar dimana ibunya kini tinggal, Salman memandangi ibunya yang sedang
duduk bersimpuh di atas karpet. Melakukan kegiatan yang Salman sangat tahu apa
itu.
Salman menangis mendengar percakapan ibunya.
“Ayo Salman, anak-anak, makan dulu. Nanti takbiran lagi.” Ibunya
memanggil-manggil entah pada siapa karena hanya ada tembok dan tempat tidur.
“Ini ada opor ayam, sambal goreng, dan rendang.” Dibagikannya
benda-benda apa saja yang ada kepada anak-anak yang diperankan bantal, guling
dan selimut.
Salman terisak melihat ibunya. Salman terisak teringat kejadian yang
membuat ibunya jadi seperti ini. Istrinya ikut terisak menyaksikan itu, ia
rangkul pinggang Salman dan menyandar pada bahunya. Mereka sedih ditengah
kegembiraan orang-orang menyambut Idul Fitri.
“Man, kalau petainya tidak mau, ditaruh pinggir saja. Biar nanti ibu
makan.” Kata ibunya sambil menuangkan kerupuk pada guling. Kerupuk yang hanya
berupa udara hampa dan sunyi yang sama dengan perasaan Salman.
IndraRama
Kamar Kos, 23 Juni 2014
02:22
Tidak ada komentar :
Posting Komentar