“Es teh manis wae sek, Mas,” kataku saat masuk ke warung ini. Sayang kalau aku harus memesan menu utama tapi kamu belum juga datang. Sampai hari dan detik ini, kamu masih belum berubah. Kamu selalu saja datang terlambat. Membuatku selalu menunggu, sampai aku menganggap menunggu adalah salah satu agenda pada setiap kita ketemuan.
Di warung dan meja yang sama, aku selalu menunggumu. Jika mejanya sedang
dipakai orang, aku akan duduk di meja sembarang sampai orang itu pergi kemudian
aku pindah. Jika kamu sudah datang dan kita sudah mulai makan, kita tidak
pernah menghabiskannya sebelum pindah ke meja itu. Meja nomer 4, meja pertama
kali aku menunggumu.
Setelah itu selalu saja aku yang datang duluan. Walau aku pernah juga
terlambat, tapi tak ada apa-apanya dibandingkan kamu. Terkadang aku merasa
lucu, kenapa aku rela menunggu demi bertemu kamu. Padahal sering sekali hanya
untuk ngobrol hal-hal yang tidak begitu penting. Walaupun tak jarang juga jadi
sesi curhat. Semua emosi di meja itu selalu bisa menghapuskan rasa kesal karena
menunggu. Menunggu kamu adalah kegiatan tanpa alasan dan tujuan –bahkan tidak
menyenangkan– yang selalu aku lakukan tanpa memikirkan semua itu.
Alasan aku selalu rela menunggu adalah kali pertama aku bertemu kamu. Dan
saat itu juga kamu membuatku seolah sedang menunggu seseorang. Padahal saat itu
aku tidak kenal bahkan aku tidak tahu ada manusia seindah kamu di bumi ini.
Saat itu aku masih kuliah. Aku makan di warung sate langgananku dan
duduk di meja nomer 4 itu. Saat itu aku sendiri dan tidak sedang menunggu
siapapun kecuali tongseng dan sate kambing setengah porsi yang sedang dimasak.
Alasan aku duduk di meja itu juga bukan karena meja itu spesial. Aku duduk di
meja itu agar bisa menghadap keluar dan melihat pemain keroncong. Meja itu
memberi akses pandangan full ke para
pengamen yang selalu memainkan musik asal Portugis itu. Warung itu memang
dikenal dengan “Warung Sate Keroncong” lantaran ada mereka di depan pintu
masuknya. Yang syahdu memainkan tembang-tembang berbunyi crong-crong-crong.
“Mejanya ksosng, Mas?” Kalimat tanya pertamamu memecah konsentrasiku
menghirup aroma tongseng kambing.
“Kosong… Mbak.” Aku menjawab sambil menatap senyum simetrismu. Manis. Nilai pertama yang aku berikan
padamu di pertemuan itu. Saat itu juga aku langsung merasa bahwa aku sedang
menunggu seseorang. Dan itu adalah kamu yang tiba-tiba datang. Aneh ya? Itu
namanya perasaan.
“Silakan Mbak,” tambahku basa-basi memperpanjang percakapan.
“Makasi, Mas.” Jawabmu datar.
Konsentrasiku pada makanan benar-benar pecah. Kamu duduk manis sambil
menunggu pesananmu yang sedang dimasak. Rambutmu digelung ke belakang dan
ditahan dengan sumpit Cina seperti sanggul. Terlihat asal tapi menarik. Pikiranku
hanya terisi oleh analisa-analisa pada sosokmu saat itu.
“Suka keroncong, Mbak?” Tanyaku saat melihat pandanganmu yang seperti
terpesona pada para pemain keroncong. “Serius sekali lihatnya.”
“Eh, iya, aku suka lagu ini.” Jawabmu sambil menoleh ke arahku.
“Sundari Soekotjo, ya? Tembang Kenangan?” Aku berusaha setenang mungkin
mengucapakan pertanyaan itu. Dan berusaha tidak sok tahu.
“Iya, Mas. Suka juga?”
Cocok. Batinku saat kamu membalas pertanyaanku
dengan pertanyaan lagi.
“Suka aja dengerin RRI yang suka nyetel lagu keroncong kalau malem.”
Kalimatku kurangkai sesingkat dan padat mungkin agar terkesan tidak sok akrab.
“Dan sering kesini kalau mau liat live.”
Kutambah semyum yang biasa disebut mesem.
“Oh, sering kesini ya? Aku baru pertama kesini.” Tergambar sedikit
keantusiasan di wajahmu yang hidungnya kecil namun runcing. “Enak makanannya?”
Great. Aku bersorak dalam hati membayangkan obrolan
yang akan panjang. “Wah, itu selera. Cobain sendiri aja Mbak kalau pesanannya
udah datang.” Kulempar senyum ke matamu yang terlihat mulai “menilaiku”.
Pikiranku tepat. Percakapan kita melebar ke musik. Memanjang ke
perkenalan. Dan meluas ke latar belakang kita sampai akhirnya kita mengikrarkan
menjadi teman kampus baru karena kamu juga kuliah di kampus yang sama denganku.
Sambil menikmati lagu-lagu keroncong, kita menghabiskan makanan kita dan
menghabiskan waktu dengan obrolan.
*****
Dengan proses yang rumit dan panjang dan perjalanan yang sangat berliku
namun menyenangkan, kita memutuskan bertemu lagi di tempat yang sama beberapa
kali. Belum ada arti meja spesial. Tetapi karena alasan awalku tadi dan aku
yang selalu datang duluan, aku selalu memilih meja yang sama.
Hari itu kamu datang terlambat cukup parah. Empat puluh menit aku
menunggu. Belum ada alat komunikasi seperti sekarang jadi tidak ada yang
namanya menanyakan ‘sudah sampai mana?’. Hanya ada es teh dan musik keroncong
yang naadanya menahan kekesalan dengan konsisten.
“Maaf, lama.” Kamu datang dan langsung duduk di sebelahku. “Maaf
sekali.” Tambahmu setelah kita bertemu pandang.
“Kemana saja, lama sekali?” Tanyaku datar dan dibuat seolah-olah marah
dan menyembunyikan perasaan bahwa aku sama sekali tidak kesal menunggu kamu.
“Iya, tadi dosennya korupsi waktu. Maaf ya?”
“Oh, ya sudah, enggak apa-apa.” Jawabku seolah memaklumi walau padahal
tidak ada yang perlu dimaklumi karena aku benar-benar sudah maklum pada semua
di dirimu.
Alasan itu akan muncul lagi di keterlambatanmu yang lain. DItambah
dengan alasan-alasan lain. Ada teman yang mengajak ngobrol, ada tugas yang
harus dikerjakan mendadak, susah cari angkutan umum, sampai disuruh menjaga
adikmu sampai ibumu pulang adalah contoh-contoh asalan yang mengiringi
keterlambatanmu. Alasan yang selalu bisa aku terima. Entah aku ini kenapa, tapi
yang jelas aku suka menunggu kamu.
Dengan perjuangan yang sangat besar, akhirnya kita resmi menjadi
pasangan asmara. Kita pacaran saat kamu terlambat lagi dan memilih alasan susah
mencari angkutan umum karena hujan. Di tengah hujan, otomatis pengamen
keroncong tidak ada. Dan tidak ada lagu yang kita bahas dan nikmati bersama. Itulah
saat aku menikmati perasaan yang aku sampaikan padamu dan kamu menikmati
perasaanku itu juga, ditandai dengan jawaban ‘Iya, kita pacaran’.
*****
Iya, kamu memang sering datang terlambat. Tapi aku juga bukan orang yang
selalu konsisten. Pernah aku merasakan bahwa aku harus memilih salah satu dari
semua alasanmu itu. Aku mengalami sendiri, saat itu kita bertukar posisi. Kamu
diposisi si tepat waktu dan aku menjadi si telat.
Semua gara-gara dosenku yang meminta kuliah tambahan. Entahlah
alasannnya apa. Tapi dalam hati aku mengumpat. Sialan. Otomatis janji kita jam tiga sore akan mundur sekitar satu
jam. Aku saja yang mundur tepatnya, karena setelah sampai di warung biasa kamu
sudah duduk dengan es the yang tersisa setengah gelas.
Oh, jadi balas dendam ya
gara-gara aku sering telat. Jadi, gitu sekarang, tidak terima aku sering telat.
Pikiran buruk akan
tanggapan-tanggapanmu bercokol di pikiranku saat dalam perjalanan. Tapi
ternyata itu hanya ketakutan tak beralasan, bisa kalian tebak apa sambutannya?
“Maaf, aku yang telat sekarang,” kataku tersenyum kecut.
“Sudah-sudah, sini duduk. Lagu kesukaan kita belum main kok.” Ternyata
semua diluar dugaan. Kamu sama sekali tidak marah karena aku datang telat
nyaris satu setengah jam. Semua terlihat dari senyuman di matamu. “Pak, biasa,”
sambil kamu memesan menu yang si bapaknya sudah hafal.
“Kok kamu gak marah? Aku telat lama sekali, ada dosen yang…”
“Sudahlah, itu alasanku, jangan ditiru. Toh, aku kira aku yang telat,
soalnya aku juga baru datang sepuluh menit yang lalu.” Potongmu langsung
memecah tawa kita berdua. Hahaha. Itulah mengapa aku bilang segala macam
kekesalan, kebekuan, kemarahan, dan pokoknya segala bentuk emosi negatif, semua
akan cair di meja ini. Kami tertawa mentertawakan cinta kami yang mengiringi
lagu Tembang Kenangan – Sundari Soekotjo.
*****
Gelas es teh yang kupesan sudah separuhnya kosong. Sengaja aku
lambat-lambatkan minumku untuk menunggu kamu yang statusnya sudah menjadi istriku
sejak sepuluh tahun lalu. Kulirik jam tanganku, lebih dari dua jam sudah aku
menunggu kamu. Ini adalah rekor keterlambatanmu yang paling parah. Bahkan saat
ini aku sampai sudah memesan “menu biasa” duluan. Saking lamanya menunggu kamu.
Saat menu tersaji, sontak perasaanku, hatiku, dan jiwaku membeku. Darah
seolah berhenti dan nyaliku menciut bahkan untuk sekedar menarik nafas. Gejolak
itu semakin menjadi-jadi dan jadi-jadian ketika pengamen keroncong mulai
membawakan intro yang sangat aku kenal dari dulu. Gejolak itu kemudian pecah,
meledak, dan memuntahkan air dari mataku. Aku mulai menangis saat lirik lagu
Tembang Kenangan dimulai.
Kucipta lagu ini
Senandungkan simponi keroncong asli
Disaat kita telah jauh
Berada di perantauan….
Sudah dua jam lebih aku menunggu kamu, hingga saat ini aku sadar, kamu
tidak akan pernah datang. Sampai kapanpun kamu tidak akan pernah lagi berbagi
emosi di meja nomer 4 dan menunggu sampai lagu ini selesai.
Sekarang kamu yang sedang menungguku. Dan kali ini penantianmu adalah
penantian tidak pasti, karena kamu tidak akan mengijinku cepat-cepat menemuimu.
Istriku, kamu pasti juga mendengar lagu keroncong siang ini dimanapun kamu
sekarang. Syahdu sekali, sesyahdu tatapan matamu yang tak pernah berubah.
IndraRama
OMG dhany..
BalasHapuskeren :D
hehehe makasi ren, doakan bisa lebih berkembang dan banting setir :)
Hapus