google.com |
Indonesia adalah negara yang berdiri melalui berbagai macam fase
perjuangan. Perjuangan itu masih dan akan selalu ada dalam setiap kehidupan
negeri ini. Itu akan baik selama didasari oleh sesuatu yang baik untuk menuju
sebuah kebaikan. Dalam mencapai Indonesia yang utuh, berbagai bentuk perjuangan
baik otot maupun otak, baik angkat senjata maupun angkat bicara terjadi. Yang
berada di sektor otot akan berakhir sebagai “pahlawan tak dikenal”, tapi yang menggunakan
ilmunya akan mewariskan konsep-konsep sebagai karya pemikiran untuk seluruh
generasi mendatang.
Salah satu yang banyak melahirkan karya pemikiran adalah Ir. Soekarno.
Namanya sudah tidak asing baik di dalam maupun di luar negeri dalam
menggetarkan semangat perjuangan pada bangsa-bangsa tertindas (Asia dan Afrika)
melalui karya pemikirannya. Ditambah kemampuannya berpidato, beliau dengan
segala kontroversi dalam pemerintahannya, menjadi sosok pembangun Tanah Air
lewat karya pemikiran yang relevan bagi generasi sekarang.
Trisakti
Selain pencetus Pancasila yang menjadi “kiblat” bangsa Indonesia dan
membacakan teks proklamasi yang menjadi titik awal Indonesia sebagai bangsa
merdeka secara de facto, banyak karya
pemikiran lain yang dicetuskan beliau. Secara khusus berlaku sebagai bahan
bakar perjalanan bangsa dan secara umum menginspirasi dunia internasional.
Dalam pidato beliau tahun 1964 yang isinya tentang “Ganyang Malaysia”
beliau dengan tegas berkata: “… Republik
Indonesia tegas mengeluarkan konsepsi. Pancasila, Manipol Usdek, Berdikari,
Trisakti, Nasakom…”.
Pada tahun politik ini, ada salah satu calon presiden (saat tulisan ini
dibuat sudah terpilih sebagai presiden resmi) yang diusung oleh partai besar
milik keturunan Bung Karno yang beberapa kali menyerukan lagi konsep Trisakti.
Di salah satu posko pemenangan mereka di daerah Menteng, Jakarta Pusat ada
spanduk besar yang bertuliskan isi dari Trisakti, yaitu: Berdaulat di Bidang Politik, Berdikari di Bidang Ekonomi, dan
Berkepribadian di Bidang Kebudayaan.
Trisakti “dilahirkan” pada pidato kenegaraan Bung Karno, 17 Agustus
1964. Dalam pidato yang berjudul “Tahun Vivere Pericoloso” atau disingkat
“Tavip”, beliau mengungkapkan tiga jurus sakti tersebut yang dianggap mampu
membangkitkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar.
Berdaulat dalam bernegara tanpa intervensi bangsa lain setelah sekian
tahun terjajah. Mengolah segala potensi ekonomi sendiri dengan jargon “Berdiri
di Atas Kaki Sendiri” atau Berdikari tanpa bergantung pada bangsa lain. Dan,
menjadi bangsa yang memiliki karakter, watak, dan kepribadian sesuai dengan
warisan leluhur berupa nilai-nilai positif dan keluluhuran budaya yang telah
berkembang di masyarakat sebagai warisan nenek moyang.
Mewariskan
Trisakti bukan merupakan cita-cita dasar seperti halnya Pancasila dan
UUD 45, namun secara bersama-sama semua itu harus berjalan beriringan dalam
mencapai segala tujuan bangsa. Dalam prakteknya dari ketiga konsep itu yang
paling mendapat porsi sedikit adalah yang ketiga.
Bidang kebudayaan sepertinya menjadi kabur dan dianggap kuno serta
sedikit banyak tergerus oleh kebudayaan yang datang dari luar. Masyarakat secara
umum lebih besar mengambil porsi pada dua poin pertama. Baik dalam
obrolan-obrolan di meja kantor maupun dalam berkehidupan sehari-hari.
Pembahasan tentang budaya nyaris tak terdengar di kalangan masyarakat pada
umumnya.
Penggunaan istilah berkepribadian sangat tepat untuk menggambarkan ini. Dengan
kata itu, Bung Karno mempertegas bahwa Indonesia adalah bagian dari dunia. Yang
sudah seharusnya memiliki identitas pribadi yang hanya akan menjadi milik
Indonesia, yaitu kebudayaannya. Jika dunia adalah populasi negara-negara, maka
Indonesia adalah individu dengan watak, karakter, dan pribadi yang berbeda dari
yang lain. Dimana seluruh negara di dunia akan mengenal Indonesia karena kebudayaanya.
Maka, ada harapan dari kebudayaan yang seharusnya menjadi pribadi, agar seluruh
negara dunia bisa berkata “Oh, ini toh
negara Indonesia.”
Tapi kebudayaan atau budaya seperti apa yang diharapkan? Kebudayaan yang
Bung Karno harapkan adalah kebudayaan yang merupakan warisan dari para leluhur
bangsa Indonesia. Kebudayaan tradisional yang mengandung nilai-nilai,
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, dan adat istiadat. Kebudayaan tidak
melulu soal kesenian, karena kebudayaan bisa berarti sebuah prilaku masyarakat maupun
hasil dari kehidupan bermasyarakat. Seperti budaya senyum, gotong royong, tepa
selira, dan banyak lagi. Itu semua adalah ciri yang seharusnya menjadi lestari
sebagai identitas masyarakat dan negara Indonesia.
Jika menganggap kebudayaan adalah kesenian, maka itu hanya sebuah bagian.
Kesenian tradisional yang diharapkan menjadi salah satu kepribadian Indonesia
memiliki banyak sekali makna dan nilai positif yang terkandung. Dan itu semua
telah dibentuk bedasarkan hasil pemikiran orang-orang (nenek moyang),
setidaknya yang menetap di seluruh penjuru Indonesia. Jika itu dipelajari, itu
merupakan bentuk kepribadian Indonesia yang harus dipertahankan.
Sebagai pemegang tongkat estafet yang di masa mendatang akan menjadi
pengajar dan pendidik untuk generasi berikutnya (paling tidak untuk anak kita),
sudah menjadi kewajiban untuk menyeimbangkan konsep Trisakti tersebut. Khususnya
untuk “Berkepribadian di Bidang Kebudayaan”, ada tiga pilihan yang dapat
diambil. Apakah akan menjadi pengubah kepribadian bangsa dengan ikut menggerus
dan melupakan budaya warisan? Apakah hanya akan menjadi pewaris tanpa peduli
pada generasi mendatang? Atau memilih untuk mewariskan budaya dan nilai-nilai
luhur agar Indonesia akan selalu dikenal dengan Indonesia sebagai bangsa yang
kaya akan budaya? Kepribadian dan identitas bangsa Indonesia mendatang
tergantung pilihan tersebut.
IndraRama
Tidak ada komentar :
Posting Komentar