“Saya dan teman saya Didot memutuskan menghidupkan lagi Gaulpala di Puncak Burangrang, Bandung. Tentu saja kata gaul disini bermakna cenderung negatif alias bodoh”
Berangkat dengan bus
Primajasa menuju terminal Leuwi Panjang, kita masih harus melanjutkan perjalanan ke terminal Ledeng dengan bus Damri. Busnya super penuh plus jalanan macet. Jadilah
sebelum mendaki kita pemanasan dulu berdiri sekitar 2 jam di bus. Dari Terminal
Ledeng naik ke terminal Parongpong dan dilanjut angkot kuning ke Gapura Komando
yang menjadi titik awal pendakian. Dari Gapura Komando kita berjalan melawati
rumah-rumah penduduk ke Pos Perhutani. Tak terduga di sebuah rumah yang cukup
tinggi, tiba-tiba 2 ekor anjing menggonggong tepat di depan muka saat kita
lewat. Sepertinya si anjing tahu kalau kita kurus-kurus dan mencium bau tulang.
Kita tiba di pos
Perhutani pukul 18.30. Kita bermaksud solat dan meminta izin naik malam ini.
Namun karena kita berdua newbie di
gunung dengan ketinggian 2.050 mdpl itu, kita tidak diizinkan naik malam itu
dan hanya diizinkan buka tenda di pos 1 baru kemudian naik saat subuh. Ya sudah,
kita memutuskan ngobrol-ngobrol sebentar dengan bapak-bapak penjaga sebelum ke
pos 1. Perlu dicatat fasilitas pos Perhutani ini cukup lengkap. Ada warung
kopi, kamar mandi, colokan listrik, mushola dan lahan parkir yang memadai.
Habis isya kita
berangkat menuju pos 1 diantar oleh bapak-bapak penjaga pos Perhutani dan 3
mahasiswa yang sedang mencari temannya. Di pos 1 kita memutuskan membuka tenda
baru kita. Maksudnya merawanin. Tapi dasar teman saya yang sok pro, waktu dia beli dan disuruh mencoba di tokonya, dia malah
bilang ke penjaga tokonya “bisa mas, udah biasa !”. Dia baru mengakuinya sesaat
sebelum tenda dikeluarkan dan benar saja saat tenda digelar, cuma diputer-puter
tidak tahu mau mulai darimana memasangnya. Hahaha. sampai ahkirnya senter kita
satu-satunya mati dan semakin bodohlah kita –ada senter aja tidak bisa apalagi
gelap. Tapi untung ketiga mahasiswa tadi melihat kita kesulitan dan akhirnya dibantulah
kita. Kalau tidak, mungkin kita tidur saja di pos Perhutani sambil lihat final
Liga Champion Dortmund vs Bayern Munchen.
Akhirnya tenda baru
kita berdiri tapi setelah di lihat-lihat, ternyata pintunya menghadap ke hutan
yang sepi. Lah ini maksudnya mau lihat pohon atau gimana ? Setelah semua clear, kita masuk dan mulai memandangi
rumah baru kita sambil bertanya-tanya “iki kanggo opo yo ndes ? iki piye carane
yo ndes ?”
Masak-masak pun
dimulai setelah merapikan barang-barang. Malam itu kita berdua berhasil
menghabiskan 9 sachet kopi. Pertama kita masak 3 sachet dengan rantang tanpa
pegangan dan kompor parafin. Setelah matang, dan akan diambil, kopipun tumpah
kesenggol. Belum putus asa, kita masak lagi 3 sachet. Tapi ternyata posisi
kompornya miring jadi cukup kita lihat saja kopinya tumpah sendiri. Dan yang terakhir
kita berhasil membawa kopi itu turun dari kompor dan menikmatinya. Kita lalu
ambil kesimpulan kalau ini bukan kebodohan, tapi kita bermaksud mengurangi
beban tas dari logistik. Ngeles sajalah yang penting.
Acara pendakian
baru di mulai jam 3 pagi. Saat bangun dan melihat ke langit, sumpah bulannya
bagus sekali di malam waisak itu. Purnama penuh dengan pelangi di
sekelilingnya. Perjalanan ke puncak cukup cepat yaitu 2,5 jam dengan trek yang terkadang
terjal dan ada jalur sempit dengan jurang di kiri dan kanan ditambah hanya
membawa 1 senter. Nyaris tersesat tapi untung segera sadar dan kemudian sampai
di puncak jam 5.30. Foto-foto, mengobrol dengan pendaki lain, dan sarapan kita
lalukan di puncak yang ditandai oleh tugu setinggi 2 meter itu. Pemandangan di
puncak cukup bagus dengan pegunungan yang terhampar di sekelilingnya walau sunrise-nya tidak terlihat karena
terhalang Gn. Tangkuban Perahu.
Sekitar jam 9 kita
turun dan memberi salam “duluan” ke pendaki lain. Tapi saat percabangan
terakhir menuju pos Kopasus dan Perhutani kita salah mengambil jalan. Walau
sedikit curiga tapi kita lanjut saja dan sampai di sebuah mesjid. Kita bertanya
kepada bapak-bapak, ternyata pos Kopasus jauh sekali. 1 jam kita mencari jalan
tidak normal dan dirasa terdekat sampai ke pos Kopasus. Sampai disana ternyata
sebagian pendaki yang sempat kita salami tadi sudah sampai lebih dulu di pos
–jadi merasa bodoh kita. Hahaha. Karena semua kejadian itu kita memutuskan
mengubah nama Gaulpala menjadi Pekokpala.
Tapi akhirnya
pendakian kali ini ditutup dengan sebuah kepuasan setelah setahun tidak
merasakan sunyinya hutan, dinginnya udara dan indahnya puncak.