“Warna, komposisinya menciptakan
keindahan bagi dunia. Terlepas dari warna-warni pengunjung, Masyarakat Baduy
Dalam memaknai dan melukis kehidupan mereka dengan dua warna.”
Jalan Panjang dan Berliku |
Tersedotlah kami berempat oleh gravitasi sebuah dimensi yang baru
pertama saya, mungkin kami, rasakan. Perjalanan menembus “dimensi lain” ini
tidak seperti fenomena terowongan kuantum (quatum
tunneling) dalam ilmu fisika yang secara fiksi diartikan teleportasi atau
mesin waktu. Tak ada waktu yang singkat untuk menuju ke dimensi ini, kami harus
menempuh jalan bukit yang naik turun tak kurang dari tiga jam. Pergi dan pulang
sama saja. Tidak seperti mendaki gunung dimana pergi kita akan naik, tapi
pulangnya kita turun.
Baduy Dalam. Dimensi monochrome-nya telah memberikan ketenangan batin
walau hanya semalam. Tak berbeda dengan wanita malam yang lekuk tubuhnya dapat
dinikmati, Baduy Dalam pun memiliki lekuk tubuh abstrak yang sukses kami
setubuhi malam itu. Saya, Adit, Agung, dan Alicia adalah salah empat dari
pengunjung lain yang terpuaskan oleh desahan alam malam di desa Cibeo, Baduy
Dalam.
Alicia ini tokoh baru, anak mall, anak gaul, dan baru pertama gabung
kami di alam. Bahkan dia membawa boneka Minion untuk tidur. Tapi dia cukup
semangat dan tegar menikmati setiap jengkal tanah dan rumput, dipayungi restu
semesta berupa langit biru yang berawan putih. Cerah.
Menempuh jalan menuju Baduy Dalam sama dengan teori Dispersi Cahaya.
Teori dimana cahaya putih adalah harmonisasi dari warna-warni cahaya pelangi
yang terbias pada sebuah prisma. Semakin dalam kami berjalan, semakin berkurang
warna-warna yang ada. Tersisa hanya sebuah warna, saya sebut abu-abu, yang jika
diurai menjadi harmoni warna bagi kanvas seorang Paolo Veronese, ahli warna
dari Itali tahun 1500an.
Tapi kan judulnya ada warna hijau? Ah, benar juga. Hijau saya tarik dari
teori diatas. Hijau akan saya artikan lebih religius dan denotatif. Hijau
berarti alam. Hasil lukisan Tuhan Yang Maha Artistik. Asma ul husna yang hanya
ada di kitab saya. Alam di Baduy Dalam merupakan komponen penting dalam
kehidupan. Mereka memanfaatkan dan menjaga relief Tuhan itu dengan sangat
bijak. Hanya sesama ciptaan Tuhan yang boleh menikmatinya. Kamera tidak
diijinkan menikmatinya.
Masyarakat Baduy Dalam hidup dengan menjaga dan dijaga alam. Bukan hanya
slogan yang sok stop global warming, tapi memang realita. Mereka membangun sinergi
sedemikian rupa untuk kelangsungan hidup mereka. Tidak boleh ada pencemaran.
Pencemaran hanya datang dari pengunjung yang tidak bertanggung jawab. Yang
curi-curi demi sekedar bergaya atau membuat badan wangi saat mandi di sungai.
Hari itu kami berempat tiba sesaat sebelum matahari berkemas. Di situlah
warna abu-abu Baduy Dalam diterima kornea, disaring intensitasnya di pupil
dibantu iris, diteruskan ke retina oleh lensa mata dan ditarik oleh syaraf
optik ke otak. Buta warna, padanan kata yang cukup tepat saya rasa. Kebutaan
yang indah, karena itulah dimensi yang kami tuju dengan nuansa abu-abunya.
Rumah Baduy |
Di sebuah rumah bambu yang sudah disiapkan untuk kami singgahi, kami
mengurai asam laktat pada otot yang menumpuk setelah berjalan jauh. Air dari
gelas bambu meluncur bebas ke kerongkongan kami. Saya sendiri hanya sok-sokan
merasa segar minum dari perkakas alam. Padahal rasa airnya menurut saya aneh.
Sesaat kemudian matahari tersenyum untuk terakhir kalinya hari itu. Langit
mulai berdandan serba hitam. Gelap. Senyap. Lenyap. Riangnya aliran air sungai
di bawah jembatan di antara jeram melarutkan tubuh telanjang kami, bertiga, dalam
kedinginan pukul tujuh malam. Tapi sukses jadi kelas akselerasi untuk menghanyutkan
sisa kelelahan kami. Alicia, entah sedang apa di kamar mandi sana.
We are |
Malam sudah mantap menyelimuti kehijauan dan keabu-abuan. Setelah makan
dan ngopi ditemani temaram cahaya lampu minyak, kegiatan tanpa cita-cita kami
teruskan. Duduk berselimut gelap di tengah, mmm, lapangan mungkin. Bintang tanpa bulan kami nikmati, terkadang
ditelan awan lalu dimuntahkan lagi. Suara serangga beradu gelombang dengan
senandung lirih Alicia yang, boleh lah disebut menghibur dengan cengkok yang agak
jazzy. Obrolan berbalut candaan tercecer di bawah taburan bintang di langit.
Orang Kanekes, menyihir segala warna dengan dua warna yang kontras namun
harmonis. Membangun tatanan masyarakat yang damai, alami, dan suasana desa yang
malam itu bernada minor.
men..berat banget bahasa lo meen...
BalasHapusKan gw bilang men lagi absurb
Hapus