Langit Januari masih
mendung. Tetes hujan baru saja berakhir. Matahari masih sayu, namun mulai menampakkan
kesombongannya. Aroma basah bumi semerbak terbawa udara menuju kamar Bram.
Merasuki tubuhnya bersama setiap tarikan nafas panjangnya. Beriringan bersama
jiwanya yang sedang mengembara memahami prahara cinta.
“Kamu gila, dia itu
istri orang. Kamu mungkin nggak kenal
suaminya, tapi kamu laki-laki seperti suaminya. Apa kamu tega nyakitin suaminya ?” Bram teringat
cercaan sahabatnya saat dia menyatakan dia cinta pada Sinta, teman kuliahnya
dulu, wanita yang sekarang sudah bersuami. Dan dia ingin mendapatkannya.
“Kamu nggak bisa samain sama dongeng, kamu nggak bisa jadi Rahwana yang sakti dan
bisa mengelabui si Rama buat nyulik Dewi Sinta. Terus kamu ngalahin utusan-utusan Rama. Yang ada kamu dihujat, parahnya lagi dipenjara,
reputasimu hancur.” Kata sahabatnya.
Bram hanya diam,
pikirannya hanya berusaha mengurai kata “cinta”.
“Oke kamu seorang
manager, kaya, top lah! Tapi Rahwana, dia itu raja. Punya kuasa dan rakyat. Apa
itu relevan di dunia sekarang ?”
Kata-kata itu bagi Bram tak
berarti. Bram tetap melayang dalam diam. Memunguti tetesan hujan yang mulai
turun lagi. Cinta Bram tetap
cinta Rahwana. Yang berlayar menuju samudera telanjang. Bram tenggelam dalam
cintanya. Sampai alarm handphonenya berdering. Dilihatnya tulisan remindernya,
“Selamat Ulang Tahun, Sinta”.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar