Siapa yang tidak kenal Bali? Ikon pariwisata Indonesia yang bahkan terkadang namanya lebih terkenal daripada Indonesia sendiri. Wisatanya memang menjadi daya tarik kelas satu bagi turis asing yang pergi Indonesia. Wisata alam dan terutama budaya, kesenian dan kearifan lokal yang mistis dan spiritualistik yang melekat erat pada Pulau Bali ini membuktikan perkataan Aristoteles, yaitu Art completes what nature cannot bring to finish. Artinya, Bali memadukan kesenian dan budaya dengan keindahan alamnya untuk menjelma menjadi sempurna untuk menyematkan julukan The Last Paradise. “Bali… Gooooddd..” Begitulah salah satu dialog dari Roman, seorang turis Canada yang diperankan Cak Lontong saat melihat keindahan Pulau Bali.
Roman (Cak Lontong) dan Tour Guide (Akbar)
|
Tanggal 12-13 September 2014, Indonesia Kita kembali mementaskan pertunjukan budaya bertajuk Roman Made in Bali. Ini merupakan pementasan kedua setelah pada bulan April lalu sukses mementaskan Matinya Sang Maestro. Bahkan pementasan tersebut sampai ditayangkan kembali. Pada lakon Matinya Sang Maestro, cerita yang disuguhkan sangat satir. Dengan balutan kesenian Jawa seperti tari dwimuka oleh Didik Ninik Thowok, kendangan oleh Djaduk Ferianto, dan lawakan khas ludruk Jawa Timur oleh Cak Kartolo, ceritanya berusaha mengkritik perhatian pemerintah pada kehidupan seniman yang idealis mempertahankan tradisi bangsa namun terasa sangat kontradiktif dengan kehidupannya yang miskin dan banyak hutang. Potret seniman-seniman sepeti yang dikatakan salah satu seniman ludruk Jawa Timur: “seniman itu berkesenian karena rasa, kalau berkesenian karena uang namanya penjual seni.”
Kali ini, masih dengan tim kreatif yang sama yaitu Agus Noor (cerpenis, penulis naskah panggung) dan Butet Kartaredjasa (pada esai-esainya di media masa biasa disebut buruh akting), ditambah Putu Fajar Arcana (editor kebudayaan harian Kompas Minggu) kembali mengeluarkan kemampuan mereka dalam meramu seni tradisional dan seni kontemporer menjadi suatu pertunjukan yang menarik banyak penonton di Taman Ismail Marzuki ini. Mengambil tema Bali, mereka sepertinya mudah mendapatkan kesenian-kesenian premium yang memang tersedia, beragam, dan masih tetap menjadi satuan kultural yang kuat dan mandiri di tengah tekanan global.
Kuat dan mandiri bukan berarti sebisa mungkin menutup diri dari pengaruh budaya asing. Kuat dan mandiri ini berhasil menciptakan sebuah hasil perpaduan budaya yang memukau dan berhasil terjawab pada pementasan Roman Made in Bali ini. Seniman-seniman Bali yang sedang hits pun dipilih, I Wayan Balawan (gitaris), I Made Sidia (dalang), Ayu Laksmi (penyanyi), Heny Janawati (soprano), dan Cak Kobagi (musik tubuh). Mereka semua seolah “penjinak” budaya asing yang yang telah mereka pelajari dan meramunya dengan budaya tradisional untuk menghasilkan budaya baru yang lebih fresh.
Tidak Minder
Budayawan Sujiwo Tejo mengatakan bahwa Indonesia sekarang sudah menjadi bangsa yang minder. Hal itu terlihat dari kehidupan masyarakat khususnya perkotaan yang semakin tidak peduli pada budaya. Ditambah mereka hanya menelan kebudayaan asing yang masuk bulat-bulat. Tak hanya itu, bahkan cara hidupnya pun menunjukan bahwa budaya tradisional Indonesia tidak akan relevan dengan budaya dan kesenian asing.
Semua Pemain
|
Namun tidak bagi Bali secara khusus. Balawan dan Ayu Laksmi yang berangkat dari musik rock kembali hadir di tengah-tengah budaya tradisional demi menciptakan warna yang berbeda pada musik Bali. Dengan menggabungkan permainan gitar jazz-nya dan musik etnik Bali, Balawan berhasil menjadi ikon kesenian Bali. Begitu juga dengan I Made Sidia dengan meleburkan berbagai jenis wayang di dunia menjadi satu.
Heny Janawati adalah seorang soprano atau penyanyi opera, namun dengan membawakan lagu-lagu Bali, dia berhasil membuat opera di tengah budaya lokal Bali. Satu lagi pertunjukan musik yang unik yaitu Cak Kobagi (Komunitas Badan Gila). Mereka menyulap lantai panggung, gelas bambu, sepatu, dan tubuh mereka menjadi alat musik. Ya, mereka menghasilkan bunyi-bunyian yang harmonis dari tepukan pada tubuh mereka, bahkan hingga desahan nafas mereka yang kelelahan pun disulap menjadi nada.
Mereka semua memberi bukti nyata bahwa Bali tidak pernah minder namun juga selalu terbuka dalam menanggapi tekanan global. Mereka kini pantas disebut ikon Bali kontemporer.
Mengesampingkan Alur
Berbeda denga pementasan sebelumnya yang alurnya sarat akan makna yang satir, pementasan kali ini tidak mengutamakan alur ceritanya. Bahkan alur ceritanya terlihat biasa saja dan klise. Dengan alur seperti itu masih ditambah pula dengan lawakan-lawakan yang sedikit banyak mengganggu alur ceritanya. Cerita hanya tentang seorang wanita Bali yang bernama Sita yang diperankan Ayushita yang bingung harus memilih antara Roman, seorang turis dengan berbagai janji pembangunan Bali dan Made (Balawan) pemuda lokal Bali.
Pesan utama yang ingin disampaikan yaitu penolakan pada reklamasi Bali pun terpisah dari alur cerita. Pada ceritanya hanya berpesan tentang bagaimana seorang wanita Bali harus memiliki ketenangan dalam memilih, tentang Bali yang mulai dikuasai investor asing, dan dampak pernikahan berbeda budaya.
Ayu Laksmi dan Heny Janawati
|
Namun terlepas dari itu, lawakan dan guyonan tokoh-tokohnya termasuk Marwoto (pemain ketoprak), Insan Nur Akbar (stand-up comedian), Cak Lontong, hingga wakil menteri Sapta Nirwandar berhasil membawa penonton untuk tertawa lepas. Ilustrasi latar yang “hidup” dengan adanya bayangan wayang dengan istilah Wayang Listrik milik I Made Sidia juga menyatu dalam menggambarkan setiap suasana adegan di panggung. Dari semua itu, adegan yang memukau adalah monolog teatrikal Ayu Laksmi dengan Heny Janawati. Mereka berdua memberikan suasana pilu dan keheningan mendalam pada penonton yang terpukau pada nyanyian suara sopran Heny Janawati dan monolog Ayu Laksmi. Permainan gitar balawan yang seperti bermain piano dipadu dengan musik etnik Gamelan Maestro juga menjadi pertunjukan yang memukau.
Kali ini tim kreatif sepertinya memang mengesampingkan alur dan mengedepankan penampilan budaya Bali. Dan, semua itu disajikan oleh Indonesia Kita dan seluruh timnya demi sebuah pencapaian yang tak lain adalah untuk Indonesia sendiri khususnya di bidang kebudayaan, seni, dan tradisi. Baik yang tradisional maupun kontemporer.
IndraRama
Jakarta, 15 September 2014
Tidak ada komentar :
Posting Komentar