Aku tulis sebuah
syair
Menemani malam
mingguku
Terdengar suara
sayup-sayup ditengah obrolan bapak-bapak dan itu menyentuhku
Suara itu bukan
berasal dari mulut mereka
Mereka
mengobrolkan hal menyenangkan namun surara itu tampak tidak menyenangkan
Sayup-sayup ,
terdengar mulai keras, dan akhirnya menjadi teriakan parau
Aku tulis sebuah
syair
Menemani malam
mingguku
Suara itu adalah
teriakan jiwa mereka
Teriakan jiwa
yang khawatir
Yang kontras
dengan obrolan mereka, dengan tawa mereka
Jiwa itu
meneriakan hal yang sama “besok keluargaku makan apa, sekolah anakku belum
dibayar, hutangku menumpuk”
Jiwa itu
terlihat bingung, mereka tidak mengerti apa itu birokrasi
Tapi mereka
menjadi korban kebijakan birokrasi
Teriakan itu
bagai lolongan serigala dimalam hari, yang tak tahu kepada siapa ia berteriak
ditengah gemerlap lampu kota yang gelap
Aku tulis sebuah
syair
Menemani malam
mingguku
Keesokan harinya
jiwa itu masih berteriak cemas
Ditempat kerja,
di warung kopi, bahkan saat bercinta bersama istri
Jiwa itu
berharap Tuhanlah yang mendengar, namun teriakan membentur dinding birokrasi
dan terpantul kembali
Seorang datang
dan menjalin percakapan dengan jiwa yang berteriak
“Tak berguna
kalo jiwamu yang berteriak, teriaklah dengan mulutmu”
“Aku bisu, aku
dibisukan karena teriakan mulutku tidak ada yang ia dengar”
“Kalau begitu
dengarkanlah perkataannya saat pidato atau berkampanye , mungkin kamu bisa
tenang”
“Aku tuli karena
tidak pernah mendengar suara yang jelas, hanya keputusan dan perkataan yang
mengambang yang kudengar”
“Gunakanlah
matamu dan lihat apa yang mereka kerjakan untukmu”
“Aku buta, aku
tidak melihat apapun yang ia lakukan bisa menentramkanku, aku dibutakan oleh
transparansi mereka yang memantulkan sinar matahri langsung menuju mataku”
Aku menulis
syair
Menemani malam
mingguku
Sambil mendengarkan teriakan jiwa yang khawatir yang
bersatu seperti paduan suara yang tak pernah pentas
Semarang, 10
Maret 2012, 20 : 05
Pradhany
Widityan Indrarama
Tidak ada komentar :
Posting Komentar