“Jakarta memang memiliki fasilitas umum paling beragam di banding kota-kota lain di Indonesia. Termasuk transportasi umumnya.”
Kemacetan di Jakarta memang belum juga bisa terpecahkan. Kendaraan pribadi yang mem-bludak, terutama motor-motor yang
jumlahnya banyak plus tidak taat aturan lalu lintas, bikin jalanan jadi semerawut terutama saat rush hour. Tapi sebenarnya di Jakarta
banyak kendaraan-kendaraan umum yang, dengan kesadaran masyarakat dan perhatian
pemerintah, saya yakin bisa mengurangi kemacetan.
Dan bagi saya pribadi naik kendaraan umum itu
memberikan “rasa dan warna” tersendiri. Seperti beberapa cerita angkutan umum berikut
ini.
Busway (biasa disebut begitu) adalah transportasi yang
mulai beroperasi –koridor 1 Kota - BlokM– pada 25 Januari 2004 di era Pak
Sutiyoso yang memiliki jalur dan halte pemberhentian sendiri. Angkutan andalan
warga Jakarta ini saya gunakan setiap berangkat ke kantor dan jalan-jalan. Busway
“cukup” efektif untuk menghindari kemacetan dan nyaman untuk jalan-jalan di
Jakarta. Ongkosnya cukup sekali bayar asalkan tidak keluar dari halte.
Walaupun bisa menghindari kemacetan, saat rush our masalah utamanya yaitu penuh –apalagi
jika tidak dari halte pemberangkatan pertama. Selain di bus-nya, di haltenya
pun penuh jadi saat ada busway berhenti dan pintu terbuka dorong-dorongan bukan
hal yang aneh. Saking penuhnya kadang pintu (belakang) ada yang ditahan
penumpangnya jadi tidak terbuka.
Di dalam kepenuhan busway itu, kejadian terjepit
pintu saat membuka walaupun menutup pernah saya lihat dan alami sendiri
terutama penumpang yang di belakang. Pernah juga ada yang pingsan dan berteriak
“astagfirullah astagfirullah” saking
sesaknya. Ada lagi kejadian yang teman saya alami, karena saking penuhnya dia tidak
bisa keluar di halte tujuan sampai buswaynya jalan lagi dan hampir terjepit
pintu, tapi karena marah akhirnya dia ,memaksa dan diturunkan di tengan jalan.
Jalur busway yang masih “kotor” jadi membuat busway
sama-sama ikutan macet. Busway yang sudah usang juga kadang menyebabkan masalah
saat mogok di tengah-tengah jalur. Saat seperti itu busway lain di belakangnya
terpaksa keluar jalur dan nyebur deh,
ke lautan kendaraan. Yang paling menyebalkan kalau mogoknya saat jam kantor dan
bukannya busway tapi malah kendaraan non-busway yang mogok.
Kedua nama ini sebenarnya adalah nama perusahaan penyedia angkutan –Kopaja (Koperasi Angkutan Jakarta) dan MetroMini. Keduanya hanya berbeda provider, trayek dan warnanya –Kopaja berwarna putih hijau sedangkan MetroMini berwarna orange. Di luar itu semuanya hampir kembar.
Persamaan pertama yaitu ukuran dan kapasitas. Angkutan
ini sebenarnya berkapasitas 25 tempat duduk dan beberapa yang berdiri. Tapi
saat rush hour apa yang terjadi ?
Penumpang sampai bergelatungan di pintu dan itu pun masih saja ditambah oleh
kernetnya. “Geser lagi ya geser lagi !” katanya. Tapi selain salah kernetnya,
penumpang juga banyak yang memang memaksa masuk. Ada juga kopaja yang sengaja mengurangi
jumlah kursi agar kapasitasnya lebih besar. Supirnya yang brutal juga sama. Sering ugal-ugalan,
masuk jalur busway, balapan kejar setoran, berhenti sembarangan dan nyetel
musik keras-keras. Kalau salah satu atau salah semua hal di atas terjadi
dijamin penumpang yang mau turun bakal susah dan tentu membahayakan dan bikin
kesal pengemudi lain. Supir juga kadang suka seenaknya mengoper penumpang ke
mobil lain. Sudah enak-enak duduk, karena di oper, jadinya berdiri juga.
Tapi, kejadian lucu juga kadang terjadi. “kernet
ketinggalan” yang paling sering. Pernah saya naik metromini saat sedang ngetem,
lalu setelah jalan beberapa meter si supir memanggil-manggil kernetnya. Menyadari
kernetnya tertinggal si supir berhenti dan beberapa saat kemudian datang si
kernet sambil ngos-ngosan lalu marah-marah pada si supir. Penumpang sih ketawa-ketawa
saja, lumayan sedikit hiburan di suramnya Metromini dan Kopaja.
Namun selain hal-hal diatas ada juga
Kopaja dan Metromini yang baik-baik, contohnya untuk kopaja P-20 ada yang AC
dan sudah terintegrasi koridor 6 Busway. Supirnya lebih “berpendidikan” juga.
Pertama kali saya naik bajaj yaitu saat melamar
kerja pada bulan puasa 2012. Saya naik bajaj yang berwarna orange yang masih
berbahan bakar solar. Naik bajaj sebenarnya sama seperti naik motor berknalpot
racing yang asal pasang. Suaranya bising. Tapi saat itu sangat menolong karena
membantu saya cari alamat.
Naik taksi saat rush our dan macet, parah sekali buat saya. Saya
sebelumnya pernah naik taksi dari Warung Jati ke Mega Kuningan saat tidak rush hour dan argonya Rp 28.000. Tapi saat macet jadi Rp
50.000 untuk jarak yang sama. Dan yang lebih parah saat itu saya naik taksi
karena buswaynya ada trouble, tapi saat busway sudah benar lewatlah beberapa
busway tanpa hambatan, sedangkan saya masih terjebak di tengah-tengah lautan
kendaraan. Haduh, naik taksi rasanya tidak lebih nyaman dari naik Kopaja karena
sama-sama macet tapi harganya 20 kali lipat lebih mahal.
Namun kesimpulan saya, sekurang apapun transportasi
masal di Jakarta, masih lebih baik daripada harus naik kendaraan pribadi dan
menambah lagi jumlah kendaraan di Jakarta. Yuk, kita sama-sama sadar dan beralih
ke moda transportasi umum yang ada buat mengurangi macetnya Jakarta! J