Perjalanan
berlanjut (21/3). Ke arah barat menuju pantai-pantai yang seharusnya dikunjungi
lebih awal. Setelah sebelumnya sempat mampir ke Pantai Taman, tak jauh dari
Pantai Soge, yang termasuk bagian kawasan pantai bagian timur. Tepatnya di
Kecamatan Ngadirojo. Disana sebenarnya ingin mencoba flying fox yang panjangnya
400 meter dan melintasi pantai. Namun sayang sekali, hanya dibuka pada hari
Sabtu sore dan hari Minggu.
Pantai di kawasan
barat yang berbatasan dengan Wonogiri juga menyimpan keindahan yang tak kalah
dengan pantai di kawasan timur. Tiga pantai yang kita kunjungi, semuanya
mempunyai daya pikat yang berbeda namun tetap sama. Yakni sama-sama lihai dalam
memikat wisatawan. Mungkin bagaikan Charlie’s Angels, tiga wanita cantik yang
berbeda karakter namun sama-sama memukau penontonnya. Ketiga pantai tersebut
secara berurutan dari yang pertama kita datangi yaitu Pantai Buyutan, Pantai
Banyu Tibo, dan Pantai Klayar. Ketiganya berada di rute yang sama.
Pantai Buyutan
Jalan rusak dan
berbatu, melalui hutan-hutan kecil, lalu tembus ke persawahan yang saat itu
sedang bersemi membentangkan warna hijau yang segar, baru sebuah pantai di
bawah tebing yang memukau. Sangat memukau. Itulah kronologi perjalanan menuju sebuah
karya seni Tuhan nan eksotis.
Pantai Buyutan
|
Tebingnya yang
menjulang seolah menjadi benteng dari sebuah keindahan laut biru nan jernih,
pasir putih, ombak riuh, karang yang teguh dan angin yang sangat genit bertiup.
Gradasi lautnya begitu
jelas. Bukan coklat atau putih, namun biru. Betul-betul biru laut dan tosca
seperti gambar yang diwarnai dengan crayon atau cat air. Bahkan pasir di tepian
dangkalnya dapat terlihat dari atas bukit. Ya dari atas bukit, karena kita
harus menuruni bukit melalui jalan yang ada untuk menyapa pantainya.
Terlihat pula
sebuah batu karang yang besar di laut. Menjulang membentuk kerucut atau
piramida atau apapun yang atasnya lancip. Sehingga bagian atasnya seperti hanya
ada satu batu yang merupakan puncak. Terlihat seperti perahu, namun penduduk
lebih percaya seperti mahkota. Mitosnya, itu adalah mahkota Batara Narada,
sekjennya para dewata di jagad pewayangan. Mahkota itu jatuh saat dia melintasi
pantai ini. Lima bintang untuk pantai Buyutan dari kita.
Pantai Banyu Tibo
Kecamatan Donorejo,
Desa Widoro, Pacitan, Jawa Timur adalah alamat dari pantai ini. Banyu Tibo adalah bahasa jawa yang jika
di-Indonesia-kan artinya air yang jatuh. Sesuai namanya, disini terdapat air
terjun kecil yang jatuh ke pantai, kemudian mengalir perlahan ke laut.
Pantai Bany Tibo
|
Pantainya sempit,
namun ramai. Pantai yang bisa dibilang “tak biasa” ini pasti menjadi salah satu
tempat yang
harus masuk daftar kunjungan di Pacitan. Banyak pengunjung yang
berbasah-basahan di bawah air terjun kecil tersebut, ada yang asyik berfoto, bahkan ada
sekelompok yang bermain sepak bola di pantai. Keramaian yang pastinya membuat
dapur warga sekita tetap ngebul.
Menurut penjaga
warung makan yang kami singgahi, di Pantai ini banyak pencari lobster, namun
tidak dijual ditempat melainkan dibawa ke pasar. Selain pedagang makanan dan
tempat istirahat, pedagang batu akik ternyata juga turut mengais rezeki.
Setidaknya dua pedagang batu alam tampak sibuk menjelasakan kepada pembeli yang
berkerumun. Pacitan juga dikenal dengan kerajinan batu akiknya, salah satunya
daerah Donorejo ini.
Air mengalir sampai
jauh, jadinya ke laut. Cocok juga untuk Pantai Banyu Tibo ini.
Pantai Klayar
Pantai terakhir
yang kita kunjungi. Sore itu, Pantai Klayar akan mejadi tempat bermalam kita. Pengunjungnya cukup ramai, pedagang
yang buka dari malam hingga pagi hari pun ada, parkiran kendaraan memadai, fasilitas
seperti kamar mandi dan penginapan cukup banyak.
Kita kembali
membuka tenda, kali ini langsung menghadap laut. Menikmati angin sore yang
selalu dinanti para pecinta pantai. Berkhayal, bercerita, duduk manis di pintu
tenda, sampai membayangkan bentuk awan yang sore itu kita sepakati berbentuk seperti
pesawat terbang.
Pantai Klayar |
Awan putih mulai
berarak. Disapu gelap yang sekaligus menyapu lembayung. Perlahan tapi pasti. Kita tak banyak bicara. Selain lelah, juga karena kita sedang menikmati bulan yang perlahan muncul, bintang yang mulai berformasi
menjadi rasi dan laut yang deburan ombaknya tak henti-hentinya bersimfoni.
Akustik. Melodi
alam. Musik klasik ala Tuhan. Partitur yang menyusun nadanya sendiri. Mengalun bagai alunan piano
Mozart. Mungkin Symphony 40 atau Symphony 25. Ah tidak, ini Symphony 99. Untuk
nama suci Tuhan yang saya yakini pandai bermusik juga.
Kembang api yang
kita nyalakan sejenak memberi warna pada gelapnya malam. Malam itu, kita
kemudian lelap dalam keramaian Pantai Klayar yang tetap bernuansa keheningan
dan ketenangan. Menuju pagi, untuk meninggalkan Pacitan dan segala keindahannya. Keindahan yang
terbungkus rapi dalam kesahajaan kotanya.
Indrarama
Jakarta, 19 Maret 2015 : 16:27
Tidak ada komentar :
Posting Komentar