Aku sedang tidak ingin
menulis. Tulisan perjalanan sudah di post
semua. Mungkin ada segelintir orang yang menikmati hasil tarian jariku. Diatas
deretan huruf di keyboard komputer yang entah kenapa urutan hurufnya seperti
ini. Ah, pembeli komputer mana yang mau peduli. Darimana pun itu berasal.
Perjalanan pun belum dimulai lagi di tahun yang bukan tahun kabisat ini. Kenapa
ada kata kabisat? Aku sendiri tidak tahu, Tangan dan, apa ya, bersekongkol menghasilkan
sesuatu yang ngawur. Ngawur saja. Bukan Ngawur Karena Benar seperti bukunya
Mbah Sujiwo Tejo.
Ceracau, Meracau. Yak,
lebih tepatnya itu yang akan saya lakukan malam ini. Entah malam ini malam
minggu keberapa selama hidupku. Kesendirian sedang hinggap lagi setelah
hari-hari sebelumnya ada saja dering HP yang mengisi. Kali ini bahkan lagu-lagu
yang kuputar pun ikut mendukung kesunyian di kamar dan mengasahnya menjadi
parang tajam yang menikam.
“Tapi kan tidak sunyi?”
sebagian diriku, mungkin otak, nyeletuk
berbicara. “Kamu punya internet dan tentu saja dunia dapat kau lihat dari 14
inch laptopmu.”
“Hay bung, naif sekali
teorimu, lihatlah perasaannya penuh kesunyian.” Aku yakin suara bernada agak
bijak dan mendayu namun sejuk ini adalah hati.
“Ini fakta teman,
lihatlah aku lebih digunakannya dalam kehidupannya. Dia bekerja menggunakanku.
Tanpa aku apa dia bisa dapat uang.”
“Jangan ngaco kamu,
lihat dong motivasi dan semangatnya tiap pagi. Karena apa menurutmu ?”
“Karena doronganku,
untuk terus menatap laptopnya.”
“Telaah lah lagi, ada
perasaan begitu kuat memotivasinya untuk terus menjalani hdupnya. Ada wanita
yang walau dia cuma diam tapi memotivasinya, itu karena aku. Asmara.”
“Sudahlah.” aku
menengahi mereka. “Aku hanya ingin meracau, kenapa kalian ikut-ikutan berdebat.”
Aku memang di depan laptop dengan dunia dan
berita di tiap pixel layarnya, tapi aku sedang melesatkan jiwaku ke galaksi
yang bahkan tidak dapat dicari di Google Al-Alim,
Google Yang Maha Mengetahui.
Aku memang bisa saja
tidak kesepian, hai, otak. Kemampuanmu berpikir, berencana, dan berimajinasi
memang nomer satu. Aku dapat semua prestasi juga karena kamu.
Tapi tak adil rasanya
hanya kamu yang aku asah. Hati, jangan kecilkan hatimu. Porsi dan hargamu sama
dengan otak. Bahkan di warung padang dekat tempatku tidak jual otak, hanya jual
hati ayam dan hati sapi. Kamu tolol ya? Apa hubungannya? Namanya juga sedang
meracau.
Memang malam ini tidak
sunyi, tapi itu karena otakku menganalisa dan melihat. Coba ganti dengan hati
yang merasa. Pastilah kesunyian malam sedang menertawakanku dari sana. Dengan
senyum sinis hitam tanpa hiasan. Ia mungkin sedang cekikikan disana.
Baiklah. Aku memang
sedang sunyi. Tapi paling tidak aku masih bisa meracau. Sejenak mengatasi
kesunyian dengan berkata yang mungkin tidak bagus untuk dikatakan. Apalagi dimaknai.
“Jadi mau kau bawa
kemana tulisanmu ini?” Kata hati dan otak yang mendadak akur dalam satu
kalimat.
Betul, dari tadi aku
hanya berbicara tidak karuan tanpa ada pesan yang jelas.
Aku tidak tahu menangagapi
mereka berdua. Bahkan kedua hal penting dalam diriku sudah mulai mengkritik ceracauku
ini.
Sebenarnya aku ingin
menggambarkan suasanaku dan kamarku. Gejolak antara logika dan perasaan.
Asmara. Aku liat dari media sosial, ada seekor burung mungil yang dulu selalu tersangkar
di dalam jiwa dan batinku, kali ini mulai merajut sarang baru di jiwa dan batin
burung jantan lain.
Kalau otak sedang
bekerja sama, maka aku dapat berfikir begini.
“Sudahlah, kamu jangan jadi sepi. Pikirkanlah semua yang bisa kau
lakukan tanpa burung mungil itu. Kau bisa bebas melakukan yang kau inginkan.”
Tapi tak selamanya
otak menang berkelahi dengan hati. Kalau hati yang menang maka aku akan hanyut
dalam kerinduan dan kesepian lagi.
Tapi itu mungkin
sama-sama tujuannya untuk membuatku bebas melakukan sesuatu. Cobalah ketika
hati menang, maka seharusnya ada banyak suasana yang bisa aku tuangkan dalam
beberapa lembar halaman kosong microsoft
word.
Ah, aku tak lagi
peduli otak atau hati yang menang malam ini. Aku hanya ingin meracau. Sudahlah
kembali ke pembicaraan ngawurku tadi saja. Kata-kataku terus saja
berputar-putar tanpa arah.
Memang aku tidak
mencoba stabil malam ini untuk memilih antara otak dan hati yang pertarungannya
sedang kuwasiti. Aku hanya ingin menciptakan tulisan yang kelak akan aku baca
kembali saat sedang iseng. Atau syukur-syukur ada orang lain yang tertarik untuk
ikut menikmati tulisan ini, yang sama sekali tak berbobot. Seperti beras yang
dicuci terlalu bersih hingga hanya menghasilkan kebodohan dalam setiap butirnya.
Hanya memenuhi otot bukan otak apalagi hati.
Oke, “Hati dan Otak”.
Kalian semua adalah dua sisi diriku yang sangat berguna. Imajinasiku dibalut
perasaan keindahan dapat menjadi sebuah ….. , apa ya nama yang bagus, yang
tidak terarah ini.
Ya sudah mari kita
buat kopi untuk kita bertiga sebagai tanda kerjasama kita selama ini.
“Apakah kopi ini untuk
ketenangan ?” kata otakku.
“Sepertinya tidak
bung, ia ingin larut dan lebih larut lagi dalam secangkir pahitnya kopi.”
Timpal hatiku.
Hey, hey sudahlah
jangan diperpanjang lagi. Lihatlah karena kalian terus begini langitpun
mengajak teman temannya, petir, angin malam, bintang, semesta dan lelaki hidung
belang untuk menertawakanku. Bolehlah mereka menertawakanku asalkan ada bulan
dengan tubuhnya yang mulus dan molek yang dapat meninggikan birahiku yang akan
selalu bangga pada jiwaku.
Makin tidak karuan,
namanya juga meracau mungkin juga aku sedang mabuk. Mabuk suasana.