Mungkin kalian tidak akan percaya ceritaku ini. Apapun alasannya aku
harap kalian jangan dulu meremehkan ceritaku. Aku menulis karena aku melihat. Lebih
dari mata orang lain. Buktinya, kejadian sehebat ini hanya aku yang
menceritakan. Padahal aku di dalam busway
bersama penumpang yang jumlahnya dua ratus persen kapasitas kursi.
Ah, aku yakin orang-orang lebih sibuk dengan smartphone mereka. Sibuk dengan obrolan mereka disana. Sibuk dengan
emoteicon yang belum tentu
menggambarkan suasana hati betulan. Aku yakin, yang seperti itu sering mendengar
ceramah yang bunyinya “Kita harus tetap tersenyum sesedih apapun kita, karena kita
punya Tuhan”. Dan itu mereka aplikasikan dengan emoteicon.
Aku berkata begitu karena saat itu kebetulan aku sedang tidak pegang handphone. Kalau pun sedang pegang, tetap
saja akan ada kata-kata lain untuk mengomentari orang-orang yang hidupnya hanya
seluas LCD. Dan tentu saja akan menempatkanku sebagai orang yang paling benar.
Jangan protes, ini tulisanku. Jadi Tuhan pun aku mampu disini.
Ceritanya, saat sedang asik bergelantungan di busway, tiba-tiba busway-ku
terjebak macet. Pikirku ini biasa karena aturan denda satu juta kan sudah tidak
terdengar. Tapi ternyata lain. Aku terjebak di perempatan Duren Tiga.
Kondisinya sudah padat sekali. Mungkin jalan disitu kurang makan sayuran hijau.
Oh, aku ingat tweet temanku yang terjebak macet karena kampanye sebuah
partai. Betul, ini masih masa kampanye.
Cukup lama aku terjebak disitu. Pengguna motor di bawah mulai beradu
klakson. Bagaimana tidak, macetnya di perempatan yang semua sudut akan melewati
jalur itu.
Seorang pemotor turun dan terlihat marah-marah pada pengguna mobil.
Karena macet atau ditambah iri aku tidak tahu pasti. Dia menyuruh mobil itu
untuk mundur agar ada sedikit celah bagi pemotor melewati perempatan itu.
Setelah mobilnya mundur jalan tebuka dan beberapa motor lewat.
Beberapa menit kemudian celah itu kembali tertutup. Seorang pemotor lain
turun lagi, mungkin akan melakukan hal yang sama. Tapi aku kaget, ternyata
tidak.
Si Bapak berperawakan wajar itu mengangkat sebuah mobil. MENGANGKAT.
Sendirian. Dia angkat mobilnya, dibawanya ke trotoar lalu diletakkan di dekat
situ. Sungguh tidak bisa dipercaya. Seorang bapak paruh baya yang mungkin
mengangkat derajat hidupnya saja kepayahan bisa dengan mudahnya mengangkat
mobil. Oh Parpol, himpitanmu sungguh sangat keterlaluan. Sampai-sampai kekuatan
Tuhan turun tangan mengurai kemacetan.
Aku tercengang. Lebih tercengang lagi karena orang-orang masih saja
sibuk dengan smartphone mereka. Tidak ada yang peduli pada mukjizat seorang
Bapak. Mereka acuh, dasar.
Yang terakhir paling membuatku tercengang. Ternyata memang hanya aku
yang menanggapi kejadian ini dengan sangat sentimental. Karena sesungguhnya, Si
Bapak hanya mengangkat mobil-mobilan plastik dengan skala satu banding dua
puluhan mobil betulan dan beratnya tidak lebih dari sepersepuluh berat badan Si
Bapak.
Macet selesai, busway-ku pun
melaju ke halte berikutnya.