Kau duduk di depan cermin kamar kosmu. Bayanganmu perlahan mulai
bercahaya memoles kusam wajah dan hidupmu. Merek kosmetik murahan yang kau
gunakan hampir selama lima tahun berserakan di meja riasmu. Banyak rumor bahwa
kosmetik sembarangan berbahaya bagi kulit, tapi yang kau pedulikan hanya
terlihat menarik dengan modal sehemat mungkin. Kemampuanmu membeli kosmetik hanya
sebatas lembaran sepuluh ribuan.
“Akhirnya selesai,” katamu kemudian menempelkan bibir pada tisue untuk
menipiskan lipstik merah darahmu.
Kau bersiap beranjak. Sekali lagi kau lihat bayanganmu di cermin. Seperti
pengecekan perlengkapan Pramuka, kau dikte pakaian serta dandananmu dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Rambut lurus, tanktop merah muda, rok mini dan stocking murahan untuk memanipulasi
betis dan pahamu, semua lengkap. Eyeshadow,
bedak, blush on, dan lipstik sudah
penuh menyesaki dan menyamarkan getir di wajahmu.
Ironis menghampirimu. Kau hapal dandanan ini hanya akan bertahan
beberapa jam saja. Dalam profesimu –jika pantas disebut profesi. Karena tidak
akan pernah disebutkan oleh anak-anak TK di depan kelas sebagai cita-cita– kepolosan tubuhmu lah partner kerjamu. Yang
setiap hari tampak menua sel-selnya. Semua pakaian mini itu akan terlucuti dan
hanya menyisakan wangi tubuh yang disamarkan parfum. Menciptakan tawa dalam
tangis atau tangis dalam tawa yang entah mana yang paling kau rasakan kau tidak
pernah mempertanyakannya.
Petang itu senja terlihat muram. Awan kelabu merefleksi, mebiaskan dan
memecah warna-warna jingga senja menjadi tak teratur. Sebagian warnanya
terganti oleh cahaya lampu merkuri yang mulai dinyalakan. Adzan Maghrib baru
saja selesai. Kau berjalan keluar rumah untuk bergabung dengan Nancy, Reni, dan
Dara. Teman seprofesi sekaligus seperjuanganmu. Kau sendiri biasa di panggil
Noni.
Sebelum keluar, kau sempatkan mengecup pipi anakmu yang sedang tidur di
kasurmu. Senja Mahardika, nama yang kau berikan setahun lalu di kala senja
beranjak pergi. Kedamaian dan kesucian menghiasi tiap nafas dalam tidurnya. Sudah
hampir setahun ini momen seperti itu selalu mengiris-iris hatimu. Tanpa ampun
mengebiri kebahagiaanmu.
Anak itu, anak yang kau perjuangkan untuk lahir ke dunia. Tiap hari di masa
hamilmu saran aborsi tak bosan menghampirimu. Tapi, naluri keibuanmu berontak
dan tegar menantang semuanya. Sampai akhirnya, saat kau sudah tidak bisa lagi
melayani “tamu”-mu kau terpaksa menunggak setoran pada Mamah –setidaknya begitu
panggilanmu pada mucikari yang merangkap rentenir itu– dan itu berbuah pahit.
Kau harus melunasi hutang yang kau sendiri tahu mustahil kau lunasi. Tak
hanya sampai disitu, demi anak yang selalu kau anggap suci itu, kau beranikan
diri melilitkan hutang lagi pada tubuhmu untuk operasi persalinanmu. Anak itu
entah karena apa, tapi kau mengganggapnya seperti Tuhan. Bahkan Tuhan aslimu
pun tidak pernah kau kenal, tapi demi anak itu, kau rela menukar hidup dan
matimu.
“Lama banget dandannya.” Kalimat
sambutan Nancy.
“Cie, tanktop baru, nih!”
Sambar Dara sambil mencolek lenganmu yang tampak lebih berlemak.
“Hehehe, sorry lama, biar laris,” jawabmu sekaligus. Menanggapi mereka
berdua.
“Bu, nitip Senja ya!” Teriakmu pada penjaga kos yang mengasuh Senja saat
kau bekerja.
“Iya, Non.” Persetujuan itu menandakan mereka siap pergi. Kau dan mereka melenggang meninggalkan pagar kos dan menyusuri gang berpayung lampu jalan. Kalian selalu sendiri seperti malam ini, tidak ada yang melirik malah banyak yang meludahi kalian. Bahkan lampu jalan pun ikut menggunjingkan keburukan kalian. Kau menuju tempat mangkal di warung depan yang berderet.
“Kamu yakin mau bikin acara besok?” Reni memecah keheningan.
“Yakin lah, besok hari spesial buat Senja. Harus spesial juga dari
ibunya.”
“Enggak sayang duitnya apa?” Tanya Dara.
“Aku lebih sayang Senja daripada uang.” Jawabmu disambut gelengan kepala
teman-temanmu yang heran tapi jauh sekali dalam hatinya merasa kagum.
Senja, walaupun kau lupa apakah ayahnya adalah Agus, Bobby, Rudi, Om
Burhan atau siapapun yang pernah mendengus di atas tubuhmu, tapi kau akan
selalu ingat kapan ia lahir.
Malam itu, dua cinta di dua ranjang berbeda kau rengkuh bersama keringat
dan air mata yang tak terlihat dimatamu
tapi jelas membasahi hatimu. Di bawah temaram lampu dan dinding kamar
yang “biru”. Diantara desahan panas dan campuran keringatmu dengan mereka,
cumbuan dan rayuan kau mainkan untuk meminta uang lebih pada tamumu. Dan
berhasil. Kau memang termasuk primadona di warung itu. Pergulatan hidupmu malam
itu kau tutup dengan hisapan dalam rokokmu dan pandangan yang menerawang entah
kemana.
Adzan subuh dan fajar adalah alarm untukmu tidur. Kau lelap sampai
matahari tinggi atau Senja membangunkanmu.
Matahari hari itu cerah sekali. Nampak panas tapi disamarkan oleh angin.
Ideal. Kau ajak Senja pergi ke tempat yang kau yakin hanya kau yang pernah
kesana di antara teman-temanmu. Kau ajak Senja ke toko kue tart, ke toko mainan
grosir, dan terakhir ke Mc Donald’s membeli Happy
Meal.
Kau membeli semua untuk hari spesial Senja. Ulang tahun yang pertama.
Walaupun Senja belum tahu apa-apa tapi kau yakin ia dapat merasakan
kebahagianmu.
Sore itu senja ikut-ikutan cerah. Jingganya terpusat di ufuk barat. Kau
memutuskan untuk libur dengan memilih alasan tidak enak badan. Sebelum senja
tenggelam, kau yang memangku Senja, teman-temanmu, dan pembantu kos berkumpul
pada pesta kecil di kamarmu. Kau dan mereka menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun”
untuk Senjamu. Kebahagiaan kecil di tengah wanita-wanita getir terpancar
membahana dan meneggelamkan senja di langit dengan tenang.
Senja sudah berganti rembulan. Teman-temanmu sudah meniggalkanmu berdua
saja bersama Senjamu yang tak pernah tenggelam.
“Tuhan aku datang kepadamu kali ini. Kau sedang apa disana Tuhan? Sedang bekerjakah? Apa kau sudah makan malam? Apa kau sehat-sehat saja malam ini Tuhan? Tenang, Tuhan, aku tidak datang untuk meminta. Malah aku akan mendoakanmu. Aku yakin kau seorang perempuan, jadi kita pasti memiliki perasaan yang sama. Kudoakan semoga kau selalu sehat agar bisa selalu bekerja dengan baik untuk hamba-hambamu ini. Jagalah selalu dirimu dan hambamu baik-baik ya, Tuhan. Terima kasih atas anak ini Tuhan, dia lucu sekali, mungkin mirip denganmu. Terima kasih sekali lagi.” Kau peluk anakmu seraya menyapa Tuhanmu. Kau dan Senjamu terbaring di persimpangan rumit diantara jurang cinta, dosa, dan doa.
*****
Top 20 Lomba Menulis Flash Fiction Perempuan dan Senja (FFPS) - Tema : Perempuan dan Senja by ceritaperempuandansenja.wordpress.com dan nulisbuku.com
Tidak ada komentar :
Posting Komentar