Sama sekali tak bisa
dilihatnya lagi wajah itu. Semenjak mereka memutuskan pindah dari desa yang
hening ke kota yang mengiklankan sejuta cahaya, semua hilang. Keceriaan ayahnya
dalam menggarap kebun, bahkan sampai larut malam ketika musim panen tiba, menguap bersama cahaya lampu kota.
Semua karena
sengketa lahan yang memenangkan developer perumahan itu merenggut bumi kami.
Tak ada pilihan lain. Untuk menjawab rengekan perut dan hidup, mereka ikut pakde mereka ke kota dan ayahnya bekerja di pabrik. Jadi bos? Tentu tidak, buruh
pastinya.
Lama ayahnya
bekerja. Berangkat pagi dengan gontai, pulang malam bahkan larut dengan tambah
gontai lagi. Apa karena ayahnya rajin bekerja? Bukan. Tak ada lagu dan dongeng lagi menjelang tidurnya.
Hanya kasur tipis, bising
mesin, dan terkadang
orang strees
sebelah rumah yang berteriak-teriak. Katanya dia strees karena hutangnya tidak kunjung bisa
dilunasi walaupun sudah bekerja keras. Gila kerja membuatnya menjadi gila betulan.
Jangan kira pulang larut itu karena rajin. Tubuh rajin
jiwa dirajam. Orang seperti ayahnya
bekerja hanya untuk merubah nasib. Loyolitas bukan
loyalitas. Hanya bekerja, terus
bekerja, bekerja terus. Hanya satu alasan untuk orang-orang pabrik seperti ayahnya
menjadi gila kerja. PHK.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar