Kalau kalian bertanya dua hal yang paling aku sukai, aku akan menjawab:
balkon dan hari Minggu. Di balkon biasanya aku menyendiri memandangi langit
dengan sejuta misterinya. Dan hari Minggu adalah hari yang pas untuk melakukan
hal itu. Seperti hari Minggu ini, bersama kopi, rokok, dan koran terbitan
perusahanku.
Genap sebulan sudah koranku terbit setiap hari. Aku anak muda pimpinan perusahaan
media cetak warisan ayahku yang aku ambil alih dan aku obrak-abrik. Aku ganti
konsep korannya sesuai tujuanku. Menyesuaikan dengan konsepku, kematian, koran
baruku ini aku beri nama “Koran Obituari”. Menarik bukan? Ini bukan koran pagi,
ini aku sebut koran senja. Karena terbit setelah jam enam sore.
Apa? Kalian takut? Kasihan. Kalian yang takut membeli koranku aku anggap
berpemikiran sempit. Kalian hanya menganggap kematian berarti tubuh yang kaku,
dingin, jantung tak berdenyut, dan tidak bernafas. Padahal yang lebih
menakutkan itu mati sak jroning urip,
mati dalam keadaan hidup. Jasadnya bernafas tapi jiwa, nurani, akal sehat, dan
kewarasannya mati. Pernah dengar itu?
Minggu itu cuaca tidak cerah. Matahari hanya bersinar sekenanya, hanya
menandakan kalau saat ini bukanlah malam. Aku sedang menunggu pesawat yang akan
menjemputku untuk berlibur. Pesawat itu akan menjemputku di depan rumah. Sambil
membolak-balik halaman koranku dan menertawakan beberapa kisah kematian, udara
siang itu menghembuskan ingatan-ingatan masa laluku. Di tengah ibu-ibu yang
mengutuki langit karena cuciannya susah kering, aku hanyut dalam penjelajahan
waktu.