Selasa, 21 Agustus 2012

Tempat Tertinggi Ke 8 di Pulau Jawa


Ini sudah lama ingin saya tulis , tapi karena kesibukan Tugas Akhir jadi saya baru sempet nulis pengalaman saya “muncak” ini.
Kali ini yang saya coba adalah Gunung Sindoro di Wonosobo, Jawa Tengah yang merupakan gunung tertinggi ke-8 di pulau Jawa diatas Gunung Merbabu yang pernah saya taklukan dengan ketinggian 3154 meter diatas permukaan laut (kata penjaga basecamp).
Banyak sekali pengalaman berbeda dan momem-momen menarik selama perjalan, jadi sayang jika tidak didokumentasikan dalam bentuk tulisan. Pengalaman pertama adalah teman baru, kali ini saya mendaki bersama Adit, Alim (lagi-lagi), dan teman yang baru saya kenal Lilik.

Sedikit info mengenai Gunung Sindoro.

Gunung Sindara, biasa disebut Sindoro, atau juga Sundoro (altitudo 3.150 meter di atas permukaan laut) merupakan sebuah gunung vulkano aktif yang terletak di Jawa TengahIndonesia, dengan Temanggung sebagai kota terdekat. Gunung Sindara terletak berdampingan dengan Gunung Sumbing.
Kawah yang disertai jurang dapat ditemukan di sisi barat laut ke selatan gunung, dan yang terbesar disebut Kembang. Sebuah kubah lava kecil menempati puncak gunung berapi. Sejarah letusan Gunung Sindara yang telah terjadi sebagian besar berjenis ringan sampai sedang (letusan freatik).
Hutan di kawasan Gunung Sundoro mempunyai bertipe hutan Dipterokarp Bukithutan Dipterokarp Atashutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.
Antara November 2011 - 30 Maret 2012. Terjadi semburan asap solfatara di beberapa tempat pada dinding dan dasar kawah utama. Aktivitas kegempaan juga mengalami peningkatan sejak bulan November 2011. (Wikipedia)

Perjalan dimulai jam 16.30 dari Banyumanik, kita menunggu bis jurusan purwokerto via wonosobo di depan terminal dan melakukan hal bodoh dengan menolak bis tersebut dan itu membuat kita harus menunggu kira-kira satu jam lagi untuk bis berikutnya. Tapi, dibalik kesulitan pasti ada keindahan, dan itu kita rasakan saat melihat sunset dari pinggir jalan di terminal Banyumanik.
Perjalanan dilanjutkan dengan memakai bus menuju desa Kledung awal jalur pendakian Kledung, di bus isinya hanya tidur karena lelah menunggu sampai ada pengamen yang berisik sekali dengan suara lantang menyanyi yang liriknya “kami mengamen tidak untuk mabuk-mabukan” tapi aromanya ciu (miras khas Solo) ironis sekali.
Tiba di desa kledung sekitar pukul 22.00, dan suasananya sepi sekali tidak ada orang diluar satupun dan yang membuat tambah mencekam adalah ada suara musik gamelan jawa ditengah keheningan desa kaki gunung. Dengan sedikit usaha mencari akhirnya kami menemukan basecamp pendakian. Seperti biasa kami mendaftar dan kami tidak langsung naik , tapi menikmati santap malam di pinggir jalan raya dan ditengah-tengah Gunung Sumbing dan Sindoro, rasanya sungguh nikmat, percayalah.
Selepas solat Isya demi keselamatan, kita mulai pendakian pada pukul 23.30. Trek pertama berupa perkebunan tembakau milik dinas perhutani baru sekitar 1 jam kita mulai memasuki hutan. Vegetasi awal yang kami temui adalah pinus, tanaman khas gunung. Tidak ada kesulitan sebenarnya, namun ada sedikit gangguan mistik yang sempat membuat merinding dan setelah dibahas ternyata hanya suara gesekan ranting pohon. Sampai sekitar pukul 4 pagi kita sudah mencapai titik lelah dan lapar jadi kita memutuskan sejenak melepas lelah sambil menikmati kopi-roti (wedang ora nggenah) dan solat subuh.
Kami lanjutkan jalan dan sepertinya sudah summit attack, dan yang membuat kesal adalah puncak bayangan yang banyak. Karena tertipu dua kali jadi kami memutuskan istirahat, makan dan tidur karena memang ngantuk dan lapar sudah mendera. Sangat terasa sekali berjalan selama 9 jam, belum sampai, dan tertipu. Menu makan kami adalah indomie dicampur sarden dan nasi. Alim mencoba membawa makan baru berserat yaitu agar-agar, namun sayang sekali agar-agarnya tumpah dan hanya tersisa sedikit dan tentu saja jadi bahan lelucon (lelucon agar-agar). Selepas tidur sekitar 45 menit kami lanjut jalan dan ditipu puncak bayangan lagi dua kali dan seharusnya di bagian ini adalah padang edelweis namun sayang sedang tidak mekar. Baru sekitar pukul 10 kita tiba di puncak Sindoro.
Bagi saya pemandangan puncaknya baru karena disana ada kawahnya tidak seperti gunung-gunung yang pernah saya naiki sebelumnya ada kawah mati disana dan juga ada sebuah tanah lapang yang luas dan datar dan saya kira merupakan tempat ngecamp. Pemandangan yang paling jelas adalah Gunung Sumbing, terlihat juga Gunung Merbabu dan Gunung Merapi dibelkangnya. Kami istirahat sejenak di tanah lapang tersebut. Disana ada pendaki warga sekitar Sindoro dan dua orang pendaki yang sedang berfoto-foto. Walaupun tengah hari tapi di puncak rasanya tetap saja dingin.
Sekitar pukul 12 kami memutuskan untuk turun dan berpisah dengan Puncak Sindoro. Untuk turun gunung dirasa tidak terlalu berat, hanya ada insiden sandal adit sebelah kiri masuk ke lubang dan tidak bisa diambil. Lalu dia memutuskan untuk menggunakan sebelah sandal saja sampai akhirnya menemukan sepatu bekas, walau sayang itu sebelah kanan juga tapi tak apalah daripada nyeker. Jadi bisa dibayangkan seorang pendaki dengan alas kaki setengah sandal setengah sepatu dan semuanya kanan. Haha
Selama diperjalan yang kami pikirkan hanya “sego endog” karena memang kami sangat lapar sampai akhirnya sekitar pukul 6 sore kami tiba di basecamp dan benar saja langsung memesan “sego endog” sambil minum teh hangat di rumah warga. Tapi disana ada teror dari anak si penjual, anaknya perempuan masih TK dan ampun nakalnya minta maaf. Kami berempat hampir kalah menghadapi teror anak itu. Tapi kami mengerti kenakalan anak itu hanya karena dia tidak punya teman, ibunya menyiapkan makan bagi pendaki dan ayahnya melakukan pendataan para pendaki, kasian dia.
Selepas isya kami pulang, sambil menunggu bis kami sempat menikmati kopi panas di warung pinggir jalan seperti malam sebelumnya. Kami menunggu bus cukup lama dan sempat tidur di pinggir jalan hingga akhirnya pukul 10an bis Semarang baru lewat dan langsung back to Semarang. Kamipun touchdown pukul 1.00 di terminal Banyumanik.

Mungkin Berguna 
Ongkos : 
Bus Semarang - Wonosobo dan sebaliknya : Rp 18.000,- / orang
Bayar Pendakian : Rp 3.000,- /orang



Peta Jalur Pendakian Gunung Sindoro

Menunggu Bus di Depan Terminal Banyumanik, Semarang

Menu Sarapan (mie-sarden-nasi)

Gunung Sumbing dari Puncak Sindoro

Tanah Lapang di Puncak Sindoro

Berpose di Puncak

Pelaku Teror di Warung "Sego-Endog"

Tidur Saat Menunggu Bus

Rabu, 15 Agustus 2012

Masjid dan Fasilitas


Sudah empat kali saya melaksanakan solat tarawih di masjid depan rumah saya di Purwakarta yaitu masjid Al-kautsar. Masjid ini adalah sebuah masjid kecil yang ada di lingkungan rumah saya. Namun masjid ini adalah masjid yang bisa dibilang dalam masa perkembangan dengan adanya kegiatan-kegiatan seperti kegiatan sekolah Islam bagi anak-anak di lingkungan sekitar, pengajian-pengajian rutin, pesantren Ramadhan dan lain-lain dalam rangka membekali jamaah dengan berbagai pengetahuan keislaman. Masjid ini juga merupakan masjid independen di antara masjid-masjid di sekitar daerahku dalam artian masjid ini tidak ditunggangi dan digunakan untuk kampanye golongan tertentu karena di daerahku memang terkenal sebagai salah satu basis salah satu partai Islam di Indonesia. Selama empat kali itu pula saya memperhatikan ada hal yang kemudian memunculkan ide untuk saya tulis di blog ini.

Upaya pengembangan selain dari kegiatan-kegiatan juga terlihat dari fasilitas-fasilitas yang terus ditambah seperti hiasan-hiasan, papan pengumuman yang up-to-date, dan yang baru adalah adanya 2 buah pendingin ruangan (AC). Pemasangan AC ini tentunya bermaksud baik demi kenyamanan jamaah dalam beribadah. Tapi ada dua hal yang perlu saya garis bawahi. Pertama masalah daya listrik dari pemasangan AC tersebut. Dulu-dulu sebelum ada AC tersebut saat ada acara ceramah pada malam hari tidak pernah listrik di masjid ini “anjlok”. Tetapi beberapa hari kemarin beberapa kali “anjlok” saat solat tarawih dilaksanakan. Mungkin untuk lebih meningkatkan kenyaman lagi, masalah teknis tersebut harus dapat teratasi dengan baik.

Satu hal lagi yang saya perhatikan adalah adanya budaya baru yaitu budaya menutup pintu bahkan saat solat tarawih sedang berlangsung. Dalam konteks kehidupan modern, memang anjuran Rasulullah untuk tidak menutup pintu masjid agaknya cukup sulit dilakukan dengan alasan keamanan fasilitas-fasilitas yang beragam dan relatif berharga yang terpasang di dalam masjid. Namun hal itu saya rasa tidak berlaku saat solat berlangsung karena malah memberi kesan “ekonomi-eksekutif” dalam beribadah dimana jamaah yang didalam secara eksklusif mendapat AC dan yang di bagian sayap masjid hanya mendapat kipas angin dan angin alam. Sebaiknya saat solat dan jamaah banyak hingga keluar, pintu masjid tetap dibuka agar menyatu antara jamaah yang diluar dengan jamaah yang didalam dan tidak ada sekat berupa pintu dan jendela.

Sekian, semoga penambahan fasilitas di masjid ini tidak menjadikan istilah “kasta” pada seluruh jamaah.