Senin, 23 Juni 2014

Mudik untuk Salman

Langit dan cuaca mulai berulah memainkan anomalinya. Hujan sore itu begitu lebat jatuh dari balik angin muson timur yang seharusnya kering karena berhembus melewati gurun-gurun pasir di utara Australia. Pada sore hari Jum’at dimana pada saat salat Jumat tadi matahari masih terik bersinar, tubuh Salman dibiarkannya dirundung kuyup dalam perjalanan pulang. Pertanda apakah hujan? Salman tidak mempermasalahkannya. Hujan sore itu baginya hanya tentang satu hal. Basah. Namun, jalanan yang biasanya macet dan akan bertambah parah saat hujan, sore itu hanya sedikit padat di saat lampu merah.

Salman tiba di rumah setengah jam sebelum adzan Maghrib. Adzan Maghrib ini adalah yang ke-29 yang paling ia tunggu di bulan ini. Bulan Ramadhan. Itulah sebabnya jalanan agak lengang di Jakarta. Banyak warga Jakarta yang memang sebagian besar pendatang sudah mudik ke kampung halaman masing-masing. Karena alasan pekerjaan, Salman dan keluarga yang hanya ada istrinya baru akan mudik esok hari pada H-1 atau saat malam takbiran.

Kumandang adzan Maghrib terdengar sayup di tengah gemericik hujan yang beranjak mereda meninggalkan gerimis. Semburat senja yang samar mulai meredup digantikan malam. Salman duduk di meja makan dengan teh manis hangat, nasi, sayur sop, dan ayam goreng mentega di depannya. Tak ketinggalan bakwan dan tahu bakso sebagai makanan pembuka. Semua menggugah selera kecuali wajah orang yang memasak itu semua. Istrinya duduk di depannya dengan dengan muka yang ditekuk berantakan. Sudah dari kemarin, dan selalu sama sejak satu tahun lalu, kalau istrinya akan cemberut setiap mereka akan mudik ke rumah orang tua Salman di kampungnya di Semarang.

Kamis, 19 Juni 2014

Pekerja Terminal

Robi yang masih kelas tiga SD sedang menunggu kapan ayahnya akan pulang. Pulang kampung tepatnya karena ini musim mudik. Berbeda dengan mudik pada umumnya, ayahnya baru akan mudik pada H+3 lebaran yang seharusnya sudah masuk arus balik.

Ayahnya bekerja di terminal antar provinsi di Jakarta, dia menjadi pelayan untuk para pemudik. Menyediakan tiket bagi mereka. Setidaknya itu yang selalu dijelaskan ibunya pada Robi, saat bertanya tentang pekerjaan ayahnya.

“Bapak lama, Bu.”

“Sabar Robi, bapak masih kerja.” Jelas ibunya.

“Tapi yang lain sudah pakai baju baru, Bu. Aku belum.”

Ibunya hanya mengelus kepala Robi.

“Bapakmu pasti sedang membantu orang-orang yang mau ketemu anaknya. Bapakmu mengalah, yang penting orang lain bisa memberikan baju buat anaknya dulu.”

“Jadi Bapak orang baik, Bu?”

“Tentu.”

***
Ayah Robi duduk di kursi dengan komputer dan polisi di depannya. Razia mendadak calo-calo tiket di terminal itu menjaring banyak calo tiket, termasuk ayah Robi. Ayahnya mengaku menjual tiket dengan harga sampai tiga kali lipat dari harga normal. Dia terpaksa tertahan di sana. Bayangan Robi dan istrinya menambah pilu keadaannya.

***

Hari sudah larut. Robi mulai menyerah menunggu ayahnya. Robi pun tidur di depan pintu. Sangat nyenyak sampai-sampai tidak dengar ayahnya mengetuk pintu dan bilang: Maafkan aku anakku. Lalu pergi lagi untuk waktu yang entah berapa lama.


IndraRama
Kamar kos, 19 Juni 2014 11:27

Senin, 16 Juni 2014

Kupu-kupu Ungu di Atap Sulawesi

Aku masih takjub pada ceritanya. Walaupun kejadian itu sudah lebih dari seminggu sebelum aku berangkat mendaki ke gunung tertinggi di Pulau Sulawesi. Lelaki di warung kopi lesehan pinggir jalanan Jakarta –yang aku taksir umurnya hampir 70 tahun– itu banyak bercerita tentang Gunung Latimojong. Gayanya urakan dan santai walaupun kerutan pada wajahnya sudah mulai nampak.

Mungkin karena gayanya yang seperti itu, keringkihan manula sama sekali tidak terlihat pada gerak tubuhnya. Semangat dan gairah hidup juga terlihat jelas dari sorot mata dan nada bicaranya saat bercerita tentang gunung itu.

“Mau ke Latimojong, Dik?” Sambarnya tanpa memperkenalkan diri setelah mencuri pandang pada ponselku saat aku menerima pesan whatsapp dari grup “H-8 Latimojong Mei 2014”.

“Eh iya, Pak,” jawabku seketika menengok padanya.

“Bagus sekali itu, Dik, gunungnya.” Dia begitu antusias seperti sedang mempromosikan dagangan.

“Bapak pernah kesana?”

“Pernah, Dik. Enam tahun lalu. Saya sama mantan teman-teman Mapala kampus dulu. Sekarang ya sudah pada ‘senior’. Hehehe.” Katanya sambil menyalakan rokok kereteknya.

Kamis, 12 Juni 2014

Pilot atau Seorang Ayah

Pelampung dan parasut sudah ada di tangan pilot Andreas dan co-pilot Garin.

“Ayo lompat, kita tidak mungkin selamat. Kita sudah menukik sangat tajam.” Ajak Garin. Namun, Andreas masih sibuk mengatasi kecelakaan yang hampir tidak bisa dihindari lagi.

“Aku akan berusaha. Selamatkan lah dirimu sendiri.” Jawab Andreas putus asa. “Sial, mesin utamanya mati,” umpatnya.

“Ayolah… kita memang diberi fasilitas keselamatan khusus ini. Agar maskapai kita tidak perlu mencari banyak pilot-pilot senior seperti kita.”

Hening. Andreas berpikir sejenak.

“Kemarin aku membelikan anakku, Rino, remote control helikopter, ia bilang ingin jadi sepertiku. Katanya aku hebat karena bisa terbang,” katanya tiba-tiba memecah kepanikan.

Garin hanya mengernyitkan dahi, heran.

“Dulu ayahku pernah membelikanku juga. Saat itu beliau bilang kalau pilot itu tidak hanya harus pintar dan jago “terbang”. Tapi, pilot juga harus bertanggung jawab pada semua nyawa penumpang di kabin. Di udara, keluarga seorang pilot adalah penumpang di kabin. Sejak saat itu aku bertekad menjadi pilot yang baik dan hebat.” Andreas menerawang.

Garin tidak tahu harus mengatakan apa. Dia hanya memandang temannya yang raut wajahnya memancarkan semburat cahaya kebaikan.

“Rin, aku memang bukan ayah yang baik. Ini pilihan yang sulit. Jika aku mati, aku tidak bisa membesarkan Rino. Tapi jika aku selamat dengan meninggalkan penumpang, maka aku akan membesarkannya dengan kebohongan besar. Aku bingung, Rin, harus memilih menjadi pilot atau seorang ayah.” Air mata Andreas menetes, dia memeluk parasut seperti memeluk anaknya. Dilema akan sosok yang akan dia pilih masih bercokol di kepalanya. Andreas hanya diam dan berdo’a.

***
Di rumah Andreas, Rino berlari menghampiri ibunya.

“Ibu, mainan dari ayah jatuh ke jalan di luar pagar.” Katanya sambil merengek.


Ibunya hanya menangis lalu memeluknya erat-erat sambil menyaksikan berita kecelakaan pesawat di TV.


IndraRama
Kamar Kos, 12 Juni 2014 02:12