Kamis, 18 Juni 2015

Kutuntaskan Kerinduanku, Suryakencana

Sama seperti dendam, kerinduan juga harus dituntaskan. Sastrawan Eka Kurniawan mengatakan itu. Rindu memang tidak berupa. Rindu ada dalam hati tiap manusia. Hilang dan muncul meminta untuk selalu di tuntaskan. Kerinduan bukan soal puisi yang dibuat kala hujan. Kerinduan soal memori yang muncul dan meminta untuk diulangi.
Suryakencana. Padang yang luas di kawasan Gunung Gede Pangrango itu selalu menjadi rindu bagi siapa saja yang pernah menginjakkan kaki di sana. Menikmati dinginnya udara. Melawan kencangnya angin. Menikmati aroma bunga-bunga. Meresapi indahnya edelweis yang berjajar. Kemudian bersemangat menyambut matahari bangun dari tidurnya.

Cerita Para Gajah di Way Kambas

14327813861347280413
Kawanan Gajah Way Kambas (Dok. Pribadi)



Perjalanan bukan hanya soal sunset atau sunrise yang indah. Perjalanan adalah soal melihat, berinteraksi dengan orang, belajar dan terutama memperkaya pengalaman.

Hari sudah semakin siang. Suhu Matahari sudah panas menantang. Jalanan kota Lampung sekitar terminal Rajabasa harus segera kita tinggalkan.

“Kita harus secepatnya ke sana. Paling tidak saat malam kita sudah ada di penginapan.” Kataku pada Winda.

Aku menunjukan pesan dari temanku. Aku menjelaskan sedikit tentang Lampung Timur yang santer diberitakan akan banyaknya tindak kriminal disana. Bergegas kita menuju terminal. Mencari bus agar tiba disana sebelum gelap.

Apakah preman dan calo di terminal adalah pekerjaan paling kotor? Tidak juga. Tak jarang yang berseragam pun harus diberi “uang rokok” saat kita meminta bantuan yang seharusnya memang sudah tugasnya. Di terminal Rajabasa, kita diantar oleh petugas ke tempat bus Damri yang menuju Way Jepara. Kemudian secara terang-terangan dia meminta uang rokok. Ya, walaupun kita terbantu dan bebas dari calo terminal, tapi bagiku tak seharusnya petugas mengemis untuk sekedar membeli rokok.

Lampung, Kota dan Wajahnya

Cerah. Matahari menyeruak masuk lewat ventilasi rumah.  Mengetuk mata untuk kembali terjaga dan memulai aktifitas.  Pukul tujuh pagi, hari Senin dan setelah long weekend adalah saat yang paling tepat menyebut “I Hate Monday”. Aktifitas bersama sang waktu dan hasrat kesuksesan yang selalu tak bisa kompromi dimulai.

Aku dan Winda ikut terbangun karena waktu tinggal di rumah teman kita yang kita tumpangi sudah harus berakhir. Rasanya malas. Tapi memang harus. Jeje dan keluarganya, teman kita yang memberi tempat bermalam dan makan, harus mulai bekerja. Sebabnya, kita harus juga ikut memulai aktifitas. Untunglah bukan ikut bekerja, namun memulai lagi langkah kita mencari secarik keindahan di ujung selatan tanah Sumatera. Lampung.

Wajah Kota

Matahari bersinar cerah. Kita kembali “hidup” di jalanan setelah turun dari mobil Jeje yang mengantarkan kita sampai kota. Berada di Lampung rasanya seperti berada di Jawa. Orang-orang yang saya temui di jalan bisa berbahasa Jawa. Itu adalah efek Lampung yang merupakan tujuan transmigrasi. Bahkan sejak zaman kolonial, Lampung telah jadi tujuan pemerataan jumlah penduduk yang membludak di Jawa.

Keindahan dalam Memori Bencana


Mendengar namanya kita akan teringat salah satu bencana dahsyat yang pernah terjadi di Indonesia. Letusan gunung berapi yang terjadi pada tahun 1883 mencatatkan nama Gunung Krakatau dalam memori bencana-bencana alam dahsyat yang pernah dialami umat manusia. Sekarang, nama itu begitu menjual bagi para pecinta jalan-jalan.

1431137048786266703
Gunung Anak Krakatau (Dok. Pribadi)

Sebenarnya bukan Gunung Krakatau yang akan dikunjungi. Gunung Krakatau sendiri sudah menghilang seiring letusan dahsyat yang berkekuatan 30.000 kali bom Hirosima-Nagasaki itu. “Anak”-nya dan keindahan Selat Sunda lah yang sekarang menjadi daya tarik wisata.

Keinginan untuk menjajal keindahan dan sejarah yang disajikan pun menarikku dan teman-temanku berkunjung ke sana. Menempuh perjalanan dari Jakarta, kita menghabiskan waktu tiga hari dua malam (1-3/5) untuk menikmati rentetan keindahan di sana.

Setelah menyebrang dari Merak menuju Bakauheni kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat menuju Pelabuahan Kalianda, kita kemudian menggunakan kapal sewaan berupa kapal nelayan dengan kapasitas maksimal tiga puluh orang.

Minggu, 07 Juni 2015

Belajar Menjadi Indonesia dari Sitor Situmorang

“Bulan di atas kuburan”

Satu kalimat itu mungkin adalah satu hal yang paling mudah diingat dari sosok sastrawan asal tanah Batak, Sitor Situmorang. Itu bukan penggalan, melainkan memang isi (satu-satunya isi) dari puisi yang berjudul “Malam Lebaran”.


Bulan Di Atas Kuburan
Namun, bukanlah maksud untuk mengkaji puisi itu, saya menulis tentang Sitor. Bukan pula hanya karena bungsu dari sastrawan Angkatan ’45 ini sudah selesai bertugas “menasehati” manusia di bumi pada 20 Desember 2014 lalu.

Sitor yang berada pada masa yang sama dengan penyair sableng Chairil Anwar, yang kemudian namanya melambung setelah Chairil mati muda, memiliki pemikiran, ideologi, metode, dan jalan yang dibutuhkan oleh generasi sekarang untuk “Belajar Menjadi Indonesia”.

Tema itulah yang diangkat pada diskusi dengan narasumber Giat Wahyudi dan Radhar Panca Dahana dan JJ Rizal sebagai moderatornya. Diskusi ini berlangsung pada 21 April 2015, sebagai salah satu dari rangkaian acara “100 Kenangan Sitor Situmorang” yang diadakan di Taman Ismail Marzuki pada 20-22 April 2015.

Kamis, 04 Juni 2015

Membangunkan Matahari di Atap Jawa Tengah

Atap Jawa Tengah. Bukan sesuatu yang berlebihan menyematkan julukan tersebut pada Dataran Tinggi Dieng yang membentang di daerah Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah. Secara etimologis, nama Dieng saja sudah berarti tempat bersemayamnya para dewa yaitu dari kata “di” yang berarti tempat, dan “hyang” yang berarti dewa.

Para Pendaki (Dok. Pribadi)
Magnet wisata tempat ini memang begitu kuat. Tak hanya wisatawan lokal, wisatawan luar Jawa Tengah dan wisatawan asing pun tertarik menikmati kawasan yang serba hijau dan dikelilingi pegunungan ini. Wisata candi, kawah, dan bagi yang ingin berusaha lebih keras, terdapat juga gunung.

Gunung Prau. Di puncaknya yang luas kita dapat membangunkan matahari dari tidurnya. Menyambutnya untuk mulai bekerja memberi kehidupan di bumi. Sudah pasti rata-rata tujuan para pengunjung gunung dengan titik tertinggi 2.565 mdpl ini adalah mencari sunrise. Fajar. Matahari terbit.

Mendung memang sudah menyelimuti dari tempat kita memulai perjalanan yaitu Semarang. Baru setengah perjalan menuju Desa Tambi yang akan langsung tembus ke jalan utama Dieng, hujan sudah menyambut. Hujan berhenti, kabut turun. Jarak pandang tak seberapa jauh. Namun, perjalanan tetap berlanjut dan tidak ada masalah sampai kita semua tiba di Desa Patak Banteng, dan kemudian disambut hujan cukup deras.

Rabu, 15 April 2015

Kampung Naga - Lestari Alam, Lestari Desa

Salah satu kategori wisata yang bisa dilakukan adalah wisata masyarakat budaya. Mengunjungi tempat-tempat yang masyarakatnya masih menyimpan dan memelihara warisan budaya tradisional di tengah generasi yang serba digital akan menambah insight kita tentang kehidupan. Membuka pikiran bahwa hidup itu tidak hanya berdasar materialisme dan kapitalisme yang diajarkan Karl Marx atau Friedrich Engels. Ada juga orang-orang yang hidup karena mempertahankan budaya leluhurnya.

Welcome to Kampung Naga
Kampung Naga. Itulah sebutan untuk kampung budaya yang berada di Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat. Saat membaca namanya jangan berpikir bahwa kampung ini adalah tempat para naga berkumpul. Menurut pemandu wisata yang menemani perjalanan kita, memang tidak ada yang tahu pasti dari mana asal nama Kampung Naga tersebut. Menurutnya, Kampung Naga ada yang mengartikan kampung di antara bukit. Yang dalam bahasa Sunda yaitu “Kampung Dina Gawir”, kata “naga” diambil dari “Dina Gawir”. Sedikit aneh saya mendengarnya. 

Kamis, 09 April 2015

Nina Bobo, Gunung Galunggung

Alkisah, Kumbakarna, adik dari Rahwana mendapat sebuah kesempatan dari Dewa untuk meminta sebuah permintaan yang pasti dikabulkan. Karena sihir Dewi Saraswati, maka permintaan Kumbakarna menjadi “tidur abadi”. Dewa Brahma yang bertugas mengabulkan pun terkejut, tetapi mau bagaimana lagi. Kata-kata sudah diucapkan, dan akhirnya Kumbakarna tertidur abadi.

Tak ada yang dapat membangunkan Kumbakarna. Hingga perang besar dalam cerita Ramayana, antara pasukan kera dan kerajaan Ayodya yang dipimpin langsung oleh Rama dengan Kerajaan Alengka di bawah komando Rahwana, meletus. Saat itulah Kumbakarna dibangunkan oleh Rahwana. Kumbakarna kemudian mengamuk untuk melindungi Alengka. Pasukan Ayodya kewalahan dan hampir porak poranda jika Raden Lesmana tidak turun langsung.

Wisata Galunggung
Cerita diatas hanya intermezzo tentang sebuah kata “tidur”. Tidur yang panjang, namun saat terbangun langsung mengamuk tak terkendali. Itulah ancaman yang masih akan selalu tinggal di Indonesia. Gunung-gunung api yang melingkari Tanah Air, hanya sedang tertidur untuk kemudian menciptakan sejarah kelam bagi Indonesia. Tengok saja sejarah letusan dahsyat yang ada di dunia, semua didominasi gunung di Indonesia. Gunung Toba, Gunung Samalas, Gunung Tambora, Gunung Krakatau, dan yang kita kunjungi (28/3), Gunung Galunggung.

Kamis, 19 Maret 2015

Pacitan (3) – Symphony di Barat Pacitan

Perjalanan berlanjut (21/3). Ke arah barat menuju pantai-pantai yang seharusnya dikunjungi lebih awal. Setelah sebelumnya sempat mampir ke Pantai Taman, tak jauh dari Pantai Soge, yang termasuk bagian kawasan pantai bagian timur. Tepatnya di Kecamatan Ngadirojo. Disana sebenarnya ingin mencoba flying fox yang panjangnya 400 meter dan melintasi pantai. Namun sayang sekali, hanya dibuka pada hari Sabtu sore dan hari Minggu.

Pantai di kawasan barat yang berbatasan dengan Wonogiri juga menyimpan keindahan yang tak kalah dengan pantai di kawasan timur. Tiga pantai yang kita kunjungi, semuanya mempunyai daya pikat yang berbeda namun tetap sama. Yakni sama-sama lihai dalam memikat wisatawan. Mungkin bagaikan Charlie’s Angels, tiga wanita cantik yang berbeda karakter namun sama-sama memukau penontonnya. Ketiga pantai tersebut secara berurutan dari yang pertama kita datangi yaitu Pantai Buyutan, Pantai Banyu Tibo, dan Pantai Klayar. Ketiganya berada di rute yang sama.

Senin, 16 Maret 2015

Pacitan (2) - Beach Of Glory

Semoga hari ini cerah. Sepanjang hari, sampai malam, agar rencana camping di pantai kita berhasil. Tak terucap tapi benar-benar terpikir sebagai harapan saat bangun tidur. 

Hari ini (20/3) kita akan menjajah pantai bagian timur Kabupaten Pacitan. Tadinya hanya akan ke pantai Soge dan Pantai Taman. Tapi kita mendapat informasi dari pengunjung pantai Teleng Ria, kalau ada pantai yang menarik lagi, yaitu Pantai Pidakan. 

Pantai Soge dari JLS
Letak Pantai Pidakan sejalur dengan Pantai Soge dan Pantai Taman. Yaitu sepanjang JLS (Jalan Lintas Selatan) yang menghubungkan Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Trenggalek. Karena ada tambahan destinasi, rencana kita ubah (lagi). Kita akan ke Pantai Pidakan dan Pantai Soge. Baru besoknya (21/3) ke Pantai Taman.

Selasa, 10 Maret 2015

Pacitan (1) – Mau Wisata, Bayar SPP Dulu

Mau mengunjungi tempat yang keren memang harus ada syaratnya. Tidak jauh beda dengan mau masuk surga. Saya dan Winda mengalaminya saat berwisata ke Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Tempat kelahiran Pak SBY. Kota ini julukannya Kota 1001 Goa, tapi tujuan kita malah ke pantai. Ya, karena memang pantainya juga kabarnya bagus-bagus.

Pasti belum lupa kan salah satu kejadian heboh di media sosial Instagram yang melibatkan Bu Ani Yudhoyono. Saat Bu Ani marah atas komentar pada fotonya saat di pantai bersama keluarga besarnya? Nah, itu lokasi fotonya adalah Pantai Klayar di Pacitan.

Welcome Pacitan
Jika dari Semarang, untuk menuju Pacitan maka rutenya bisa lewat Ungaran-Salatiga-Boyolali-Solo-Sukoharjo-Wonogiri-Pacitan. Kita menempuh rute itu dengan perjalanan sekitar 7 jam menggunakan sepeda motor. Awalnya cuaca mendukung, cerah terpancar dan kehangantan matahari pagi menjelang siang mengiringi perjalanan. Namun, namanya saja musim hujan, hujan pun turun sepanjang Sukoharjo dan Wonogiri.

Sabtu, 07 Maret 2015

Semak Daun (2) – Serasa Pulau Pribadi

Welcome to Semak Daun
Terbangun di Pulau Semak Daun sekarang 6:00 cerah. Kalau di media sosial Path, banyak sekali yang mengupdate moment seperti itu. Matahari, walaupun sedikit malu-malu dari balik awan, tetap bekerja dengan baik memantulkan cahayanya pada pasir putih yang lembut di pulau ini. Menuju bibir pantai, lautan biru terhampar seperti tanpa batas. Ketenangan begitu terasa kala menyaksikan gelombang yang tenang.

Terletak tak jauh dari pulau Pramuka, Pulau Semak Daun dapat dikunjungi dengan kapal sewaan. Tidak ada kapal umum yang menuju kesini. Tapi setelah sampai disini, dijamin tidak akan menyesal. Pulaunya yang kecil dapat dikelilingi hanya dalam waktu tak lebih dari 30 menit. Pasirnya lembut. Pantainya jernih dan katanya bebas bulu babi. Tak heran pengunjung lain banyak yang berenang menggunakan alat snorkeling disana. Karena tidak adanya “kehidupan” disana, jadi dapat merasakan pulau itu serasa milik pribadi.

Kamis, 05 Maret 2015

Semak Daun (1) - Masih ada Wisata Alam Di Jakarta

Hari itu harus bangun lebih pagi dari biasanya. Lekas bergegas dan segera menuju utara Jakarta. Perjalanan yang harus membelah kota Jakarta untuk menuju Pelabuhan Muara Angke. Di sanalah kita akan berkumpul, dan dari sanalah kita akan bersama-sama berangkat menuju Kepulauan Seribu. Kita akan menyebrang dengan kapal umum yang pastinya merupakan trasportasi utama warga Kep. Seribu yang ingin berdagang atau sekedar berkunjung ke Jakarta.

Cuaca sedikit berawan mengingat saat itu, pertengahan Januari 2015, curah hujan memang sedang tinggi. Minggu sebelumnya pun, ada teman yang harus menunda perjalanan pulang ke Jakarta karena cuaca buruk.

Tiba juga akhirnya di Muara Angke. Dari pintu gerbang, kita berjalan melewati tempat pengolahan hasil laut untuk menuju dermaga. Baunya sangat menyengat. Dari bau amis ikan, bau tanah yang becek, bau got yang saya yakin segala jenis bau mengendap disana, plus bau knalpot angkutan bercampur menciptakan mual di perut.

Pengolahan Hasil Laut - Muara Angke
Kep. Seribu bisa dikatakan sebagai oase dari wisata yang serba buatan yang ada di Jakarta. Secara administrasi, Kep. Seribu masuk wilayah Jakarta. Disebut juga kabupaten administrasi. Potensinya bagi perkembangan industri cukup besar, yaitu pada bidang pertambangan, perikanan dan pariwisata. Jumlah pulaunya memang tidak 1000, hanya ada 342 pulau. Gugusannya menghadap ke Teluk Jakarta yang kondisi airnya bagai bumi dan langit dengan kondisi di sekitar Kep. Seribu.

Selasa, 13 Januari 2015

Jogja (5) - Main Air di Pantai Siung

Pantai Jogan
14 Desember 2014. Hari kedua kita di Jogja. Bangun pagi, dan rencananya kita akan main air di pantai di daerah Gunung Kidul. Tapi namanya setan, bangun tidur pun langsung muncul. Setan malas. Rasanya malas untuk bangun, duduk, lalu mandi. Jadilah kita rebutan. Rebutan siapa yang mandi belakangan dengan saling menyuruh mandi duluan. Plus, streaming acara “Jalan-jalan, Men” di youtube, setan malas semakin senang. Dari jadwal jam 7 pagi, baru pergi jam 8. Itupun harus mampir dulu ke tempat teman saya.

Pagi itu matahari bersinar cerah. Secerah tujuan kita mengunjungi rumah Nyi Roro Kidul di pantai selatan. Jalanan lancar, tidak macet. Rute ke Gunung Kidul pun kita sudah hafal. Jadi nyaris tanpa hambatan untuk sampai kesana. Hanya saat ditengah jalan menuju pantai Siung, tiba-tiba ada ular yang saya kira retakan jalan. Untung saja ular tersebut tidak berlari ke arah motor kita. Bisa repot.

Jogja (4) - Ayo, Makan Mercon

Wisata alam di Kalibiru, wisata perjalanan dan wisata seni di museum De Mata Trick Eye sudah selesai. Artinya, agenda wisata pada hari itu, 13 Desember 2014, sudah selesai semua. Terakhir yang belum adalah mengisi perut. Wisata kuliner. Belum lengkap kalau ke Jogja tanpa wisata kuliner. Seharian hanya makan cheezy sandwich saja, perut pun mulai berulah.

Makan Mercon
Rencana awal kita mau makan di tempat bernama Telap 12 yang ternyata tak jauh dari De Mata Trick Eye. Tempat itu menjual Indomie yang mirip dengan bungkusnya. Ah, Indomie. Lelah saya akan hilang kalau saya sudah menikmati indomie rebus rasa ayam bawang. Kalau suka nonton serial Ipin dan Upin, maka saat saya melihat indomie, saya akan bertingkah seperti Ipin saat melihat ayam goreng. Tapi ternyata tempatnya tutup. Gagal sudah menikmati indomie malam itu.

Minggu, 11 Januari 2015

Jogja (3) - Tipuan-tipuan yang Menyenangkan

Malam Minggu. Kata orang malam yang menyenangkan. Dan kita juga orang, jadi  kita merasakan hal yang sama. Walaupun lelah setelah perjalanan jauh Semarang-Kalibiru, ditambah hujan sepanjang jalan menuju kota Jogja. Namun, semua tetap menyenangkan karena ini malam Minggu, dan karena kita masih punya agenda di Jogja.

Tembok Cina
Tujuan kita adalah Museum De Mata Trick Eye. Secara harfiah dari nama museumnya, museum itu berarti tipuan mata. Benar, karena disana berisi tipuan-tipuan visual. Museum ini terletak di area basement XT Square, Jalan Veteran Jogjakarta.

Saat tiba di lokasi, sekitar pukul 8 malam, saya agak canggung karena areanya sepi. Jadi seperti tempat hiburan dengan mainan anak-anak dan stand-stand baju serta makanan, namun hampir semuanya tutup. Ditambah disana tidak ada parkir resmi. Tapi di jadwal buka musemumnya memang sampai jam 10 malam. Di belakang area sepi itulah ternyata museum itu tampak sepi juga, mungkin karena sudah malam dan hujan. Tapi karena sepi jadi lebih bisa puas untuk berfoto karena tidak perlu mengantri dan terganggu oleh pengunjung lain.

Jogja (2) - Semua Mata Tertuju pada Kita

Kalibiru. Akhirnya kita tiba juga. Sebuah wisata terpadu yang terletak di daerah Kulonprogo. Atau kalau orang-orang bilang Jogja coret. Karena wilayahnya tidak masuk kota Jogja.

Foto di Pohon
Disana ada danau buatan yang sepertinya dimanfaatkan untuk irigasi dan PDAM. Dari danau itu harus naik melalui kampung-kampung lagi untuk menuju wisata Kalibiru-nya. Ada plang penunjuk jarak yang ngaco disana. Pertama tertulis “Kalibiru 2,5 km”, setelah jalan agak lama ada lagi plang bertuliskan “Kalibiru 2,5 km”. Masih 2,5 km. Perlu dipertanyakan mahasiswa KKN yang melakukan papanisasi disana.

Tiba juga di area parkir Kalibiru. Kalian tahu rasanya? Lelah. Saya tidak tahu apa yang akan dilakukan disana, karena informasinya hanya ada outbound dan berfoto di pohon. Untuk sampai ke sana dari area parkir harus berjalan kaki. Menanjak. Ya menanjak. Masalah? Iya, masalah.

Kita istirahat sejenak di warung. Makan siang sambil menyandarkan punggung. Karena di motor, saya tidak bisa bersandar pada Winda. Belum berani.

Sabtu, 10 Januari 2015

Jogja (1) - Hanya Salah Jalan, Bukan Salah Tujuan

Winda : “Besok jadinya bisa berangkat jam berapa?”
Saya : “Ya, aku usahain pagi deh. Jam 8 semoga bisa.”
Winda : “Iya, jangan kesiangan nanti sampe Jogja kesorean.”

Begitulah penggalan percakapan mengenai rencana kita ke Jogja. Karena saya tidak enak langsung pergi pagi-pagi dari rumah nenek, jadi saya tidak bisa menjanjikan untuk pergi terlalu pagi. Padahal memang enak kalau pergi pagi-pagi, karena bisa punya waktu lebih banyak di Jogja.


Salah Jalan

Tapi akhirnya saya bisa menepati janji untuk sampai Banyumanik (start point kita) jam 8 pagi. Saya sudah dalam perjalanan menuju kesana pada jam setengah delapan. Dengan bus jurusan Solo yang langsung lewat jalan tol, maka maksimal jam 8 sudah sampai Banyumanik. Saya pun menelpon dia, memberi kabar kalau saya sudah di jalan. Tapi, jawaban dia adalah “Loh? Aku belum apa-apa, kamu nunggu dulu aja ya. Pokoknya masih lama.” Tut-tut-tut, suara telpon kemudian ditutup.

Jumat, 09 Januari 2015

Tentang Perjalanan

Perjalanan atau trip atau travelling sejatinya bukan hanya soal tujuan. Banyak faktor yang membangun keseruan perjalanan itu. Seperti dengan siapa kita jalan dan yang paling penting adalah perjalanan itu sendiri. Bukankah orang bijak berkata bahwa tujuan bukanlah utama, namun proseslah yang paling utama. Saya setuju dengan itu. Proses adalah sebuah hal yang perlu dinikmati. Namun, apakah proses itu hanya dinikmati lalu menguap, dan jadi cerita seperti dongeng mulut ke mulut? Bagi saya tidak untuk itu, kita perlu merekam dan mecatatnya sebagai cerita, sejarah, kenangan atau apapun penamaan yang pantas. Dan untuk merekam itu semua, tulisan adalah media yang tepat.


Travel Quotes

Tiap momen yang tidak terekam kamera, handycam atau alat apapun, bagi yang senang bercerita akan terekam dalam imjinasinya. Lalu akan tersimpan. Dan menuliskan nikmatnya perjalanan, dari mulai merencanakan hingga pulang lagi, akan menghasilkan sebuah rekaman untuk kemudian dibaca kembali dan dikenang.