Jumat, 27 April 2012

Cerita Berbeda di Puncak yang Sama


Puncak Ungaran untuk kedua kalinya dalam 3 bulan ?

Tidak masalah karena tentu saja keduanya punya cerita yang jauh berbeda. Kali ini saya mendaki Ungaran bertepatan dengan Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April. Saya ditemani 2 orang teman saya yang “gila-gila” - sebut saja Mualim (nama asli) dan Wahyu Aditya alias Konde alias Didot (nama asli)- dan kami bertiga menyebut diri kami sebagai anak “GAUL” .

Sebelum saya bercerita lebih jauh, saya akan memberi sedikit info mengenai Gunung Ungaran dan bagaimana untuk dapat ‘menaklukannya’.

Gunung Ungaran merupakan sebuah gunung yang terdapat di pulau Jawa tepatnya Jawa Tengah, Indonesia. Sesuai namanya, gunung ini teretak di Kabupaten Semarang yaitu Ungaran. Gunung Ungaran merupakan gunung api tipe strato dengan puncak tertinggi memiliki ketinggian 2.050 mdpl dan dipuncak ditandai dengan adanya “patok” TNI yang sayangnya banyak tulisan-tulisan rakyat tidak bertanggung jawabnya. Namun tetap keindahan sebuah puncak gunung sangat layak untuk dinikmati, dengan awan terhampar dan puncak gunung-gunung tetangga seperti Si Kesatria kembar Sumbing- Sindoro, Gn. Merbabu dengan Gn. Merapi yang mengintip di baliknya yang “menyihir” penikmatnya.

Di lereng gunung ungaran terdapat situs arkeologi berupa Candi Gedongsongo (gedong = gedung, songo = sembilan), beberapa curug (air terjun) seperti Curug Semirang dan Curug Lawe. Juga terdapat gua, yang terkenal adalah Gua Jepang. Gua ini terletak 200 m sebelum puncak, tepatnya di sekitar Desa Promasan (desa para pemetik teh).

Untuk dapat mencapai puncaknya terdapat 3 jalur yakni jalur Mawar, jalur Boja, dan jalur Gedong Songo. Kami memilih lewat jalur Mawar. Untuk menuju kesana yaitu melewati jalur yang sama dengan jalur menuju Umbul Sidomukti – Bandungan. Dengan membayar Rp 2000/motor untuk masuk kawasan Sidomukti dan membayar Rp 4000/orang plus Rp 2000/motor untuk parkir di Mawar kita sudah bisa memulai getting the summit. Sepanjang jalan dari Mawar kita disuguhkan dengan hamparan pohon pinus dan seskali memasuki hutan namun treknya masih bersahabat. Kita juga bisa menemukan kunang-kunang disana. Lalu setelah melewati Desa Promasan pemandangan berubah menjadi kebun teh, dan summit attack dimulai disana dengan trek yang tidak lagi “baik hati” dengan batu-batuan yang terkadang cukup terjal.

Kami tiba dipuncak sekitar pukul 22.00 dan langsung mendirikan tenda dan membuat wedang ora nggenah. Minuman hangat campuran energen kacang hijau, indocafe coffeemix, dan dicampur roti coklat dengan sedikit ada rumputnya karena memasak di dekat rumput menjadi menu makan malam kami. Tapi entah kenapa rasamanisnya  enak sekali, namanya juga laper hahaha

Sepanjang malam kami mengobrol yang tidak jelas dari membahas film tuyul dan mbak yul sampai “menggarap” saya dan pacar saya, tapi itulah yang sedikit melupakan the cold of summit. Kami tidur entah jam berapa dan bangun sekitar pukul 5.00 dan kaget ketika keluar karena puncak Ungaran seperti pasar , ramai sekali. Dan belakangan diketahui bahwa hari itu adalah Hari Bumi.

Kehangatan mulai tercipta saat menunggu sang surya bangun, kalau ini keinndahannya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata pokoknya sunrise terindah yang pernah saya lihat. Setelah mulai terasa lapar kamipun memasak mie campur, campuran rasa soto, rasa ayam, dan rasa rendang tapi rasanya menjadi unik dan cenderung tidak karuan enaknya. Baru sekitar jam 8.30 kami beres-beres dan meluncur kembali ke kota Semarang menyongsong tugas-tugas kuliah yang telah menanti esok hari.

Gunung Merbabu dari Puncak Ungaran

Kebun Teh Desa Promasan (sumber foto)

Wedang Ora Nggenah

Earth Day 22 April 2012 - Let's Save Earth (Sumber Foto)



Gunung Ungaran 21 -  22 April 2012


referensi :




Sabtu, 21 April 2012

Full Day Full Love (Jogja)


Jogjakarta memang selalu menjadi daya tarik untuk berwisata terutama saat long weekend dan bagi yang baru jadian kaya kita ini . cc : inung rizkyana.

Full Day Full Love seperti judulnya saya nge-trip bersama teman special saya. Berangkat pagi kita meluncur dari Semarang setelah menyantap mie kari ayam dan segelas susu sebagai modal awal energi.

Perjalanan baru berhenti di alun-alun kota Magelang untuk sekedar melepas lelah, makan roti, dan minum dan tidak lupa merokok buat saya pribadi. Alun – alun Magelang terletak di Pusat kota Magelang. Magelang sendiri merupakan kota dimana candi Borobudur berdiri dan merupakan jalur utama Semarang – Jogja. Saat itu Minggu pagi, jadi alun – alun ramai oleh pedagang – pedagang dadakan Minggu pagi. Lalu, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Jogja.

Memasuki kota Jogja kami langsung memilih tempat tujuan sesuai rencana kami “PANTAI BARON”. “So Let’s Get The Beach, yeah”. Tapi yang jadi masalah adalah kami sama-sama belum pernah ke Pantai Baron. Kami bingung harus mengambil arah mana untuk kesana, dan akhirnya daripada membuang waktu bertanya-tanya. PANTAI PARANGTRISTIS yang jelas tertulis pada plang lah yang kami tuju. No problem , Live is Never Flat I believe.


Pantai Parangtritis


Pantai Parangtritis adalah pantai wisata yang terletak di desa Parangtritis 27 km sebelah selatan Kota Jogja. Pantai ini menyuguhkan panorama yang istimewa dengan kombinasi pemandangan alam yaitu bukit berbatu, bukit pasir dan pasir berwarna hitam yang menurut saya cukup bersih. Ombak disana benar-benar menyuguhkan permainan kejar-kejaran yang sangat keren. Tidak hanya menikmati pemandangan kita juga bisa menikamati berbagai fasilitas dan permainan seperti naik kuda (kuda beneran ya buka kuda laut), ATV, dan dokar wisata. Tapi kalau budget terbatas, jalan-jalan di pesisir pantai sama pasangan juga tidak buruk seperti kita cukup 10.000 buat masuk daerah wisata berdua dan 2.000 untuk parkir motor. Tapi tidak semua bagian pantainya bersih, di ujung timur, air di bibir pantainya berwarna hitam pekat entah karena apa saya tidak tahu.

Hal lain yang menarik selain pemandangannya, yaitu kisah supranaturalnya. Konon, Pantai Parangtritis diyakini merupakan trimurti yang terdiri dari Gunung Merapi, Keraton Jogja, dan Pantai Parangtritis itu sendiri. Masyarakat setempat meyakini Pantai Parangtritis merupakan bagian dari daerah kekuasaan Ratu Selatan a.k.a Nyai Roro Kidul. Banyak juga pengunjung yang datang untuk bermeditasi. Pantai ini merupakan salah satu tempat untuk melakukan upacara Labuhan dari Keraton Jogjakarta. Asal nama Parangtritis yaitu dari kata Batu karang (Parang) dan air yang menetes (Tumaritis) yang konon ditemukan oleh pelarian Majapahit bernama Dipokusumo yang bersemedi disana. Jadi Parangtritis bisa disebut tetesan air dari batu karang.



Malioboro


Malioboro Sekarang

Malioboro Tempo Doeloe

Dari Pantai kita lanjut ke wisata belaja terkenal di Jogja, Malioboro. Tempat ini memang menjadi kembang wisata belanjanya kota Jogja, sesuai namanya Malioboro yang berarti karangan bunga dalam bahasa sansekerta. Sedikit flash back melihat  sejarah,  mengambil info dari sumber-sumber dibawah, Sebelum menjadi salah satu ikon Kota Jogja, Malioboro hanyalah jalan sepi yang hanya dilewati oleh orang-orang yang menuju Keraton ataupun Benteng Vredenberg, namun keberadaan etnis tionghoa dan daerah pecinan plus setelah dibangunnya pasar gedhe atau sekarang pasar bringharjo lambat laun perekonomian disana terbentuk dan berkembang pesat dari yang dulunya hanya di Pasar Bringharjo sekarang meluas hingga Stasiun Tugu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan bisnis di Malioboro tidak bisa terlepas dari perpaduan kultur dominan yaitu Cina dan Jawa. Selain pusat bisnis sekarang Malioboro juga menjadi pusat pemerintahan dengan berdirinya kantor-kantor pemerintahan disana.



Batik Jogja



Apa lagi yang dilakukan di Malioboro selain jalan-jalan bergandengan dan membeli oleh-oleh. Ya, kita membeli oleh-oleh dan saya sendiri membeli baju batik murah tapi bukan murahan tentunya disana. Motif batik yang banyak berkembang di Yogyakarta secara umum adalah motif batik yang terinspirasi dari tumbuhan dan hal-hal lain diluar motif mahluk hidup seperti manusia atau hewan. Hal ini  Kota Jogja merupakan wilayah kesultanan yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam.




Kue Yangko



Tidak lengkap rasanya kalau tidak membeli oleh-oleh pengisi perut, makanan, dan kali ini pilihan saya jatuh pada Yangko. Yangko adalah makan dari adonan dari tepung ketan yang dibalut tepung gula dengan rasa manis dan khas  karena ada unsur gurihnya. Yangko biasa berbentuk kotak dan didalamnya telah diisi oleh isi kue berupa kacang yang dapat menambah kenikmatan menyantap Yangko.

Dari segi sejarah, nama yangko diyakini berasal dari kata kiyangko yang diucapkan dengan singkat menjadi yangko. Yangko bermula di Kota Gedhe, dimana dahulu kala makanan ini dikenal sebagai makanan raja-raja atau priyayi. Yangko ini juga dipercaya juga sebagai makanan yang dibawa Pangeran Diponegoro saat bergerilya karena Yangko dapat bertahan cukup lama dan tidak basi.


Demikian sedikit info mengenai salah satu tempat eksotis di kota wisata dan budaya Daerah Istimewa Yogyakrta, gambarnya saya ambil dari mbah google karena kami tidak membawa kamera untuk jeprat-jepret.




Sumber-sumber Tulisan Ini





Selasa, 03 April 2012

Sisa Hujan Menjelang Kemarau




Memandang dari kusen jendela
Seekor kucing berlari di teras sesekali tepeleset licinnya lantai
Sekarang terdiam dan meringkuk menahan dingin

Hari ini hari hybrid
Sepanjang pagi panasnya kemarau menyeruak masuk rumah
Memanfaatkan semua celah bangunan
Seolah ingin segera datang dan menemani bumi sepanjang 6 bulan

Tapi
Siang ini sisa awan mendung mendadak menginvasi
Membongkar sisa muatan tepat diatasku
Memberi salam perpisahan “see you next time” padaku

Hujan . . .
Beramai-ramai turun ke bumi
Dan siang ini mengandung banyak nutrisi ketentraman
Tiap tetes yang menyentuh bumi siang ini terasa menenangkan

Hujan . . .
Siang ini mengubah suasana 180o
Aku tidak terkena hujan, tapi aku merasakan sisa-sisa kekuatannya
Keheningan, ketenangan dan inspirasi yang dibawanya
Yang akan segera berpisah

Aku suka hujan siang ini
Sejenak memberi sisa-sisa kedamaian bagi jiwa-jiwa yang terbakar



Semarang , 1 April 2012 – 14.31
  Pradhany Widityan Indrarama