Selasa, 29 April 2014

Detektif Pilu

Sebuah laporan mengenai pemilu sampai ke meja Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Laporan itu membuat geger mereka sehingga divisi khusus paling rahasia yang bertugas menginvestigasi kasus-kasus pemilu tingkat super harus turun gunung untuk kasus ini.

Laporan awal yang datang adalah suara dari TPS 666 yang masuk hanya sepuluh persen dari warga yang terdaftar. Sisanya tidak hadir saat hari pencoblosan.

Beberapa jam setelah divisi yang menamai dirinya “Detektif Pilu” itu menerima kasus ini, mereka langsung bekerja mengerahkan orang-orang terbaiknya. Mereka menganalisis data dan TPS. Kemudian mereka menarik kesimpulan bahwa TPS itu fiktif. Tapi laporan itu tidak fiktif karena resmi disampaikan KPPS setempat.

Detektif Pilu yang terdiri dari orang-orang hebat itu pun meluncur ke TKP. Dari kejauhan ternyata benar ada TPS tersebut. Tapi letaknya tepat di tengah-tengah kuburan.

Mereka langsung menuju TPS yang tampak sepi itu. Di sepanjang jalan melewati nisan-nisan, mereka mulai curiga ada yang tidak beres. Nama yang ada di nisan-nisan itu cocok semua dengan daftar pemilih yang terdaftar disana. Ternyata berdasarkan hasil penyelidikan, yang terdaftar di TPS itu memang sudah meninggal semua.

“Kalau semua meninggal termasuk KPPS-nya, terus suara sepuluh persen dan yang melaporkan kasus ini siapa?” Tanya salah satu anggota dengan ketakutan di wajahnya.


******

(Menang Lomba Cerita Mini (CERMIN) Bentang Pustaka dengan tema Politik-Golput edisi Sabtu, 26 April 2014)

Minggu, 27 April 2014

Pinokito

Di sebuah negeri bernama Negeri Fantasinesia hiduplah Pinokito. Tinggal seorang remaja pengangguran tapi suka melucu di depan orang-orang.

Negeri itu saat ini sedang mengadakan pemilu. Berbeda dengan di negeri biasa, di negeri itu TPS-nya tidak dijaga dari awal sampai hasil suara diumumkan. Semuanya menggunakan sihir bernama “Sihir Pemilu”. Ada mantra rumit yang sudah dirumuskan para ahli untuk mengamankan pemilu dari kecurangan.

Tapi caleg selalu lebih maju curangnya. Dan salah satunya dilakukan Pinokito. Dia menemukan siasat jitu menambah suara.

“Kita manfaatkan orang-orang buta, nanti akan aku antar mencoblos dan aku yang mencobloskan, tentu sesuai kehendakku. Bagaimana?” Pinokito menjelaskan pada si caleg.

“Cerdas, kita tidak perlu merusak mantra.” Kata si caleg senang.

Singkat cerita Pino berhasil mengumpulkan sebelas orang buta. Dia antar ke TPS. Dan menjalankan rencana. Mantra itu tidak mendeteksi kecurangan, dia berhasil.

Tapi beberapa hari setelah si caleg menang di TPS itu, Pino tidak pernah keluar rumah. Bahkan di acara perayaan kemenangan sekalipun. Si caleg pun mengunjungi rumahnya.

“Pino, kamu keman sa… ja?” Tanya si caleg kaget melihat Pinokito.

Ternyata karena kecurangan itu jari Pinokito berubah warna jadi ungu semua. Dan yang lebih parah, karena dia mencoblos sebelas kali ditambah coblosan asli dia, jarinya bertambah menjadi dua belas.

Kamis, 24 April 2014

Caleg dan Satu Slop Rokok

Di suatu pagi. Matahari begitu sombong memandangi para caleg yang harap-harap cemas menjelang waktu pencoblosan. Tak terkecuali Pak Umar, caleg dari sebuah partai yang baru saja mengeluarkan uangnya lagi. Uang hasil menggadaikan sertifikat rumahnya yang sudah ia tetapkan sebagai modal investasi untuk turun jabatan dari rakyat menjadi wakil rakyat.

Dua juta rupiah untuk dua puluh remaja teman sepermainan anaknya. Dengan syarat sangat mudah, tinggal coblos saja Partai Maju dan caleg nomor urut empat pada surat suara berwarna biru atau DPRD Provinsi.

Salah satu penerima politik uang itu adalah Erwin. Remaja yang baru pertama kali ini mencoblos karena baru cukup umur. Di rumah Pak Umar, Erwin dan teman-teman serombongannya menerima uang itu.

Setelah pencoblosan beres. Erwin langsung pergi ke warung dan membeli satu slop rokok untuk stoknya nongkrong dari uang itu.

Beberapa hari kemudian, saat ia sedang asik menikmati rokoknya. Sebuah kabar datang dari temannya.

“Pak Umar stress, dia gagal jadi caleg katanya. Tadi aku habis dari rumahnya.” Kata temannya.

“Memang pada nyoblos Pak Umar enggak ?” Tanya anak lain.

Erwin dengan santai menjawab.

“Sudahlah, salah sendiri curang, bagi-bagi duit. Aku mah nyoblosnya merem.” Dihisapnya lagi rokok amal dari Pak Umar itu.

Selasa, 22 April 2014

Remang Senja

Kau duduk di depan cermin kamar kosmu. Bayanganmu perlahan mulai bercahaya memoles kusam wajah dan hidupmu. Merek kosmetik murahan yang kau gunakan hampir selama lima tahun berserakan di meja riasmu. Banyak rumor bahwa kosmetik sembarangan berbahaya bagi kulit, tapi yang kau pedulikan hanya terlihat menarik dengan modal sehemat mungkin. Kemampuanmu membeli kosmetik hanya sebatas lembaran sepuluh ribuan.

“Akhirnya selesai,” katamu kemudian menempelkan bibir pada tisue untuk menipiskan lipstik merah darahmu.

Kau bersiap beranjak. Sekali lagi kau lihat bayanganmu di cermin. Seperti pengecekan perlengkapan Pramuka, kau dikte pakaian serta dandananmu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Rambut lurus, tanktop merah muda, rok mini dan stocking murahan untuk memanipulasi betis dan pahamu, semua lengkap. Eyeshadow, bedak, blush on, dan lipstik sudah penuh menyesaki dan menyamarkan getir di wajahmu.

Ironis menghampirimu. Kau hapal dandanan ini hanya akan bertahan beberapa jam saja. Dalam profesimu –jika pantas disebut profesi. Karena tidak akan pernah disebutkan oleh anak-anak TK di depan kelas sebagai cita-cita–  kepolosan tubuhmu lah partner kerjamu. Yang setiap hari tampak menua sel-selnya. Semua pakaian mini itu akan terlucuti dan hanya menyisakan wangi tubuh yang disamarkan parfum. Menciptakan tawa dalam tangis atau tangis dalam tawa yang entah mana yang paling kau rasakan kau tidak pernah mempertanyakannya.

Kamis, 10 April 2014

Orasi dalam Orasi

Di sebuah acara kampanye partai. Curahan hati hadirin sejenak mengisi kebosanan mendengarkan orasi.

“Man, aku lagi sedih.”

“Kenapa, Bro?”

Yang disebut “Bro” menerawang dan berorasi tentang kegelisahannya. 

“Aku ngeri. Setelah acara senang-senang dan pemilu selesai. Kita pasti dicampakkan seperti saudara-saudara kita dulu.”

“Padahal, kita rela berpanas-panasan, menahan bau keringat orang-orang, dibuat warna-warni terus diadu. Padahal kita kan sebangsa. Kita juga tidak mengeluh mendengarkan janji-janji politik.”

Si Man hanya mengangguk menghargai dan dalam hati berkata "Hmm."

“Tapi habis ini? Kita paling-paling jadi keset kamar mandi, lap pel, dibuang, atau paling beruntung dipakai orang-orang yang lupa saat pemilu mereka pilih apa dan karena apa.”

“Man, diantara semua atribut partai, kita ini kasta tertinggi. Kita ini kaos partai. KA-OS PAR-TAI. Atribut paling berguna buat manusia. Paling dekat dengan manusia. Paling tahu motivasi mereka datang kesini. Kita beradab, makanya cuma kita yang bisa curhat.”

Yang disebut “Man”, adalah pendengar yang baik. Dia hanya memasang telingnya untuk menampung curhatan teman sekonveksinya itu. Tanpa berkomentar.

“Tapi kita kalah sama atribut lain. Janji-janji, bendera, spanduk. Janji-janji, walaupun yang mengucapkan lupa, rakyat akan selalu ingat. Bendera, bisa dipakai lagi pemilu depan. Spanduk, mereka lebih beruntung jadi tutup warung pecel lele. Nah, kita?”

“Ya sudah, Bro. Takdir kita memang hanya lima tahun sekali dan hidup maksimal lima bulan. Mending sekarang kita dangdutan saja. Sudah mulai, nih. Orang-orang juga sudah semangat lagi.” Man akhirnya menimpali saat melihat Bro mulai kehabisan kata-kata dilanda kesedihannya.

Si Bro, kaos partai yang cerdas, menurut dan ikut bergoyang bersama kegelisahan dan kesedihannya.

Minggu, 06 April 2014

Bapak Pengangkat Mobil

Mungkin kalian tidak akan percaya ceritaku ini. Apapun alasannya aku harap kalian jangan dulu meremehkan ceritaku. Aku menulis karena aku melihat. Lebih dari mata orang lain. Buktinya, kejadian sehebat ini hanya aku yang menceritakan. Padahal aku di dalam busway bersama penumpang yang jumlahnya dua ratus persen kapasitas kursi.

Ah, aku yakin orang-orang lebih sibuk dengan smartphone mereka. Sibuk dengan obrolan mereka disana. Sibuk dengan emoteicon yang belum tentu menggambarkan suasana hati betulan. Aku yakin, yang seperti itu sering mendengar ceramah yang bunyinya “Kita harus tetap tersenyum sesedih apapun kita, karena kita punya Tuhan”. Dan itu mereka aplikasikan dengan emoteicon.

Aku berkata begitu karena saat itu kebetulan aku sedang tidak pegang handphone. Kalau pun sedang pegang, tetap saja akan ada kata-kata lain untuk mengomentari orang-orang yang hidupnya hanya seluas LCD. Dan tentu saja akan menempatkanku sebagai orang yang paling benar. Jangan protes, ini tulisanku. Jadi Tuhan pun aku mampu disini.

Ceritanya, saat sedang asik bergelantungan di busway, tiba-tiba busway-ku terjebak macet. Pikirku ini biasa karena aturan denda satu juta kan sudah tidak terdengar. Tapi ternyata lain. Aku terjebak di perempatan Duren Tiga. Kondisinya sudah padat sekali. Mungkin jalan disitu kurang makan sayuran hijau.

Oh, aku ingat tweet temanku yang terjebak macet karena kampanye sebuah partai. Betul, ini masih masa kampanye.

Cukup lama aku terjebak disitu. Pengguna motor di bawah mulai beradu klakson. Bagaimana tidak, macetnya di perempatan yang semua sudut akan melewati jalur itu.

Seorang pemotor turun dan terlihat marah-marah pada pengguna mobil. Karena macet atau ditambah iri aku tidak tahu pasti. Dia menyuruh mobil itu untuk mundur agar ada sedikit celah bagi pemotor melewati perempatan itu. Setelah mobilnya mundur jalan tebuka dan beberapa motor lewat.

Beberapa menit kemudian celah itu kembali tertutup. Seorang pemotor lain turun lagi, mungkin akan melakukan hal yang sama. Tapi aku kaget, ternyata tidak.

Si Bapak berperawakan wajar itu mengangkat sebuah mobil. MENGANGKAT. Sendirian. Dia angkat mobilnya, dibawanya ke trotoar lalu diletakkan di dekat situ. Sungguh tidak bisa dipercaya. Seorang bapak paruh baya yang mungkin mengangkat derajat hidupnya saja kepayahan bisa dengan mudahnya mengangkat mobil. Oh Parpol, himpitanmu sungguh sangat keterlaluan. Sampai-sampai kekuatan Tuhan turun tangan mengurai kemacetan.

Aku tercengang. Lebih tercengang lagi karena orang-orang masih saja sibuk dengan smartphone mereka. Tidak ada yang peduli pada mukjizat seorang Bapak. Mereka acuh, dasar.

Yang terakhir paling membuatku tercengang. Ternyata memang hanya aku yang menanggapi kejadian ini dengan sangat sentimental. Karena sesungguhnya, Si Bapak hanya mengangkat mobil-mobilan plastik dengan skala satu banding dua puluhan mobil betulan dan beratnya tidak lebih dari sepersepuluh berat badan Si Bapak.


Macet selesai, busway-ku pun melaju ke halte berikutnya.

Rabu, 02 April 2014

Beli Buku

Bel istrahat berbunyi di sebuah SMP negeri di pinggiran Jakarta. Membawa kebahagiaan bagi murid-murid. Di bayangan mereka, es, cilok, cimol dan aneka jajanan sudah memanggil dari kantin.

Tapi tidak bagi Joko. Anak Jawa tulen itu tidak pernah mempan dihantui promosi abang-abang kantin. Alasannya, dia tak punya uang lebih. Dia selalu bawa bekal, kadang nasi atau hanya gorengan. Itu karena ibunya adalah penjual gorengan. Dan terbukti efektif menggantikan uang jajan Joko.

Bukan berarti Joko tidak bahagia. Hanya faktornya saja berbeda. Ia bahagia karena ia bisa mengunjungi tempat yang dianggap "angker" oleh teman-temannya. Perpustakaan. Joko akan betah menghabiskan jam istirahatnya disana. Ratusan buku adalah "jajanan" gratisan Joko.

Tapi ada yang unik. Walaupun kantin Joko adalah perpustakaan, tapi Joko bukan bintang kelas apalagi bintang sekolah. Dia hanya ada di urutan ke-17 dari 40 siswa di kelasnya.

Siang itu penjaga perpustakaan menyindir. "Pantes, Jok, kamu enggak rangking, orang bacaannya begituan terus." Sambil menunjuk novel kuno yang dibaca Joko.

Joko menimpali acuh."Saya baca bukan ingin jadi juara kelas, Bu. Saya baca karena ingin buat buku sendiri biar punya buku tanpa harus beli." Penjaga perpustakaan hanya tertawa mengejek. Memang pemikiran Joko agak sulit diterima orang-orang normal. Tapi… Joko serius.

Selasa, 01 April 2014

Cerita Pekerja

Sama sekali tak bisa dilihatnya lagi wajah itu. Semenjak mereka memutuskan pindah dari desa yang hening ke kota yang mengiklankan sejuta cahaya, semua hilang. Keceriaan ayahnya dalam menggarap kebun, bahkan sampai larut malam ketika musim panen tiba, menguap bersama cahaya lampu kota.

Semua karena sengketa lahan yang memenangkan developer perumahan itu merenggut bumi kami. Tak ada pilihan lain. Untuk menjawab rengekan perut dan hidup,  mereka ikut pakde mereka ke kota dan ayahnya bekerja di pabrik. Jadi bos? Tentu tidak, buruh pastinya.

Lama ayahnya bekerja. Berangkat pagi dengan gontai, pulang malam bahkan larut dengan tambah gontai lagi. Apa karena ayahnya rajin bekerja? Bukan. Tak ada lagu dan dongeng lagi menjelang tidurnya. Hanya kasur tipis, bising mesin, dan terkadang orang strees sebelah rumah yang berteriak-teriak. Katanya dia strees karena hutangnya tidak kunjung bisa dilunasi walaupun sudah bekerja keras. Gila kerja membuatnya menjadi gila betulan.


Jangan kira pulang larut itu karena rajin. Tubuh rajin jiwa dirajam. Orang seperti ayahnya bekerja hanya untuk merubah nasib. Loyolitas bukan loyalitas. Hanya bekerja, terus bekerja, bekerja terus. Hanya satu alasan untuk orang-orang pabrik seperti ayahnya menjadi gila kerja. PHK.