Kamis, 23 Mei 2013

Jakarta On the Way


“Jakarta memang memiliki fasilitas umum paling beragam di banding kota-kota lain di Indonesia. Termasuk transportasi umumnya.”

Kemacetan di Jakarta memang belum juga bisa  terpecahkan. Kendaraan pribadi yang mem-bludak, terutama motor-motor yang jumlahnya banyak plus tidak taat aturan lalu lintas, bikin jalanan jadi semerawut terutama saat rush hour. Tapi sebenarnya di Jakarta banyak kendaraan-kendaraan umum yang, dengan kesadaran masyarakat dan perhatian pemerintah, saya yakin bisa mengurangi kemacetan.
Dan bagi saya pribadi naik kendaraan umum itu memberikan “rasa dan warna” tersendiri. Seperti beberapa cerita angkutan umum berikut ini.

Transjakarta Busway
Busway (biasa disebut begitu) adalah transportasi yang mulai beroperasi –koridor 1 Kota - BlokM– pada 25 Januari 2004 di era Pak Sutiyoso yang memiliki jalur dan halte pemberhentian sendiri. Angkutan andalan warga Jakarta ini saya gunakan setiap berangkat ke kantor dan jalan-jalan. Busway “cukup” efektif untuk menghindari kemacetan dan nyaman untuk jalan-jalan di Jakarta. Ongkosnya cukup sekali bayar asalkan tidak keluar dari halte.
Walaupun bisa menghindari kemacetan, saat rush our masalah utamanya yaitu penuh –apalagi jika tidak dari halte pemberangkatan pertama. Selain di bus-nya, di haltenya pun penuh jadi saat ada busway berhenti dan pintu terbuka dorong-dorongan bukan hal yang aneh. Saking penuhnya kadang pintu (belakang) ada yang ditahan penumpangnya jadi tidak terbuka.
Di dalam kepenuhan busway itu, kejadian terjepit pintu saat membuka walaupun menutup pernah saya lihat dan alami sendiri terutama penumpang yang di belakang. Pernah juga ada yang pingsan dan berteriak “astagfirullah astagfirullah” saking sesaknya. Ada lagi kejadian yang teman saya alami, karena saking penuhnya dia tidak bisa keluar di halte tujuan sampai buswaynya jalan lagi dan hampir terjepit pintu, tapi karena marah akhirnya dia ,memaksa dan diturunkan di tengan jalan.
Jalur busway yang masih “kotor” jadi membuat busway sama-sama ikutan macet. Busway yang sudah usang juga kadang menyebabkan masalah saat mogok di tengah-tengah jalur. Saat seperti itu busway lain di belakangnya terpaksa keluar jalur dan nyebur deh, ke lautan kendaraan. Yang paling menyebalkan kalau mogoknya saat jam kantor dan bukannya busway tapi malah kendaraan non-busway yang mogok.

Duo Kopaja dan Metromini

Kedua nama ini sebenarnya adalah nama perusahaan penyedia angkutan –Kopaja (Koperasi Angkutan Jakarta) dan MetroMini. Keduanya hanya berbeda provider, trayek dan warnanya –Kopaja berwarna putih hijau sedangkan MetroMini berwarna orange. Di luar itu semuanya hampir kembar.
Persamaan pertama yaitu ukuran dan kapasitas. Angkutan ini sebenarnya berkapasitas 25 tempat duduk dan beberapa yang berdiri. Tapi saat rush hour apa yang terjadi ? Penumpang sampai bergelatungan di pintu dan itu pun masih saja ditambah oleh kernetnya. “Geser lagi ya geser lagi !” katanya. Tapi selain salah kernetnya, penumpang juga banyak yang memang memaksa masuk. Ada juga kopaja yang sengaja mengurangi jumlah kursi agar kapasitasnya lebih besar. Supirnya yang brutal juga sama. Sering ugal-ugalan, masuk jalur busway, balapan kejar setoran, berhenti sembarangan dan nyetel musik keras-keras. Kalau salah satu atau salah semua hal di atas terjadi dijamin penumpang yang mau turun bakal susah dan tentu membahayakan dan bikin kesal pengemudi lain. Supir juga kadang suka seenaknya mengoper penumpang ke mobil lain. Sudah enak-enak duduk, karena di oper, jadinya berdiri juga.

Tapi, kejadian lucu juga kadang terjadi. “kernet ketinggalan” yang paling sering. Pernah saya naik metromini saat sedang ngetem, lalu setelah jalan beberapa meter si supir memanggil-manggil kernetnya. Menyadari kernetnya tertinggal si supir berhenti dan beberapa saat kemudian datang si kernet sambil ngos-ngosan lalu marah-marah pada si supir. Penumpang sih ketawa-ketawa saja, lumayan sedikit hiburan di suramnya Metromini dan Kopaja. 
Namun selain hal-hal diatas ada juga Kopaja dan Metromini yang baik-baik, contohnya untuk kopaja P-20 ada yang AC dan sudah terintegrasi koridor 6 Busway. Supirnya lebih “berpendidikan” juga.

Bajaj
Pertama kali saya naik bajaj yaitu saat melamar kerja pada bulan puasa 2012. Saya naik bajaj yang berwarna orange yang masih berbahan bakar solar. Naik bajaj sebenarnya sama seperti naik motor berknalpot racing yang asal pasang. Suaranya bising. Tapi saat itu sangat menolong karena membantu saya cari alamat.

Taksi
Naik taksi saat rush our dan macet, parah sekali buat saya. Saya sebelumnya pernah naik taksi dari Warung Jati ke Mega Kuningan saat tidak rush hour dan argonya Rp 28.000. Tapi saat macet jadi Rp 50.000 untuk jarak yang sama. Dan yang lebih parah saat itu saya naik taksi karena buswaynya ada trouble, tapi saat busway sudah benar lewatlah beberapa busway tanpa hambatan, sedangkan saya masih terjebak di tengah-tengah lautan kendaraan. Haduh, naik taksi rasanya tidak lebih nyaman dari naik Kopaja karena sama-sama macet tapi harganya 20 kali lipat lebih mahal.


Namun kesimpulan saya, sekurang apapun transportasi masal di Jakarta, masih lebih baik daripada harus naik kendaraan pribadi dan menambah lagi jumlah kendaraan di Jakarta. Yuk, kita sama-sama sadar dan beralih ke moda transportasi umum yang ada buat mengurangi macetnya Jakarta! J






Senin, 06 Mei 2013

Legend Beach and Java Hidden Paradise (2)

“Alasan saya menunda pulang dari Pel. Ratu sebenarnya karena penasaran akan pantai yang kata Kang Adi bagus dan tak jauh dari Pel. Ratu.”

Pantai Ciantir dari Atas Bukit
Sambil menunggu charging HP dan baterai kamera, saya duduk di warung Kang Adi menunggu kendaraan yang akan membawa saya ke “Java Hidden Paradise” alias Pantai Sawarna yang terletak di Provinsi Banten. Kata penduduk di Pel. Ratu, ini adalah pantai baru dan masih bagus yang belakangan saya ketahui dari pedagang di pantai Sawarna bahwa pantai ini baru ramai pada tahun 2010. Walaupun sebenarnya saya tidak tahu kriteria pantai yang bagus, tapi karena rekomendasi orang-orang pantai maka saya tidak ragu mendatanginya.

Sekitar pukul 12.00 kendaraan yang akan membawa saya datang juga. Kendaraan itu bernama ELF – padahal ELF itu merk mobilnya (Isuzu ELF). ELF yaitu angkutan yang biasanya melayani jalur antar desa yang ukurannya seperti mobil-mobil travel. ELF bisa memuat lebih banyak dari angkot biasa dan seringnya lebih banyak pula dari kapasitasnya. Saat itu saya kira akan suram karena di atas ELF sudah bertengger karung-karung sayuran yang dibawa dari pasar Pel. Ratu, tapi ternyata ELF-nya masih bagus, tidak over capacity dan duduk pun nyaman. Saya pun siap menuju Sawarna yang katanya menempuh 2 jam perjalanan menuju terminal Cisolok dan terus menuju terminal Bayah di Banten.

Perjalanannya seperti naik halilintar di Dufan berjam-jam. Karena jalur yang ditempuh adalah jalur gunung yaitu Gunung Batu maka sudah pasti treknya naik-turun dan berliku. Tapi dibalik itu semua ada sesuatu yang indah juga. Di sisi kiri sering terlihat pemandangan pantai dan laut selatan yang kalau di lihat dari atas terlihat kecil namun luas dan baru kali ini saya lihat alam dengan pakaian seindah itu. Keren... Sekitar pukul 14.00 akhirnya saya diturunkan di jalur menuju Sawarna yaitu pertigaan Cibayawak. Ini adalah satu dari dua jalur menuju Desa Sawarna, yang lainnya adalah jalur Ciawi yang jaraknya lebih dekat dari Pel. Ratu tapi masuk ke Desa Sawarnanya lebih jauh. Dari situ dengan menggunakan ojek saya sampai di Desa Sawarna. Ternyata pantainya terletak di belakang pemukiman penduduk yang disulap menjadi homestay, dan ternyata juga nama pantainya bukan Pantai Sawarna tapi Pantai Ciantir yang letaknya di Desa Sawarna. Setelah lanjut dengan berjalan kaki akhirnya saya sampai di pantainya.

Kesan pertama saya saat tiba di pantainya adalah “panas”, karena saat itu masih sekitar jam 2 siang. Akhirnya saya memutuskan duduk-duduk di warung di sekitar pantai. Di sini warungnya semua terbuat dari bambu dan beratap injuk sehingga menimbulkan kesan alami. Sambil istirahat saya memperhatikan sekeliling, memang dari beberapa pantai yang saya datangi –di Jawa Tengah dan Bali– ini yang paling bagus. Pasirnya putih, sekelilingnya perkebunan, sawah, dan bukit-bukit nan hijau yang kontras dengan pantai yang saat itu gersang ditambah dengan lingkungan yang masih bersih. Ombak khas laut selatan pun tak lupa selalu setia beriringan membasahi pasir yang gersang. Katanya saat ombaknya tinggi yaitu antara bulan Mei sampai Agustus, Pantai Ciantir menjadi salah satu spot surfing bule-bule.

Karang Kembar Tanjung Layar
Matahari pun akhirnya condong dan kegersangan pantai mulai berkurang. Saya pun memutuskan berjalan di pinggir pantai merasakan pasir putihnya dengan buih-buih sisa ombak yang merayap. Sore itu saya berniat menuju Tanjung Layar, salah satu “spot” di Sawarna dan pada pagi harinya saya akan ke Lagoon Pari. Dengan menyusuri pantai ke arah barat saya pun sampai ke Tanjung Layar. Tanjung Layar adalah adalah kumpulan karang-karang yang cukup luas dengan 2 buah karang besar di tengahnya membentuk seperti bukit. Di sana ombak-ombak yang menghantam karang lebih “wah” daripada di Pel. Ratu. Karang-karang membentuk tembok mengelilingi Tanjung Layar sehingga membentuk laguna yang tenang. Saat surut kita bisa melihat beberapa biota laut seperti bintang laut, bulu babi, dan ikan warna-warni yang terjebak di sana.

Karang Kokoh Lagoon Pari
Selain Tanjung Layar, Lagoon Pari adalah tempat berikutnya yang saya datangi keesokan paginya. Tapi sayang, karena tidak tahu jadi kami tidak sampai ke pantainya. Kami hanya sampai di laguna kecil dengan karang-karang yang tak sebesar di Tanjung Layar. Namun saat keindahan terletak di langitnya yang mendung namun ada pelangi sehingga menjadikan pemandangan dengan kontras yang indah.

Bagi saya Sawarna bisa jadi tempat menarik jika ingin dapat pantai bagus dengan laguna-laguna cantik. Penginapan disana pun banyak dan bervariasi, banyak homestay-homestay disana dengan harga bervariasi pula. Tapi untuk yang ber-budget minim dan tidak berombongan banyak, saung-saung di pinggiran pantai milik penjaga warung bisa menjadi alternatif tampat menginap yang murah –saya pastinya memilih yang kedua– atau bikin tenda di pinggir pantai juga tidak dilarang. Namun sayangnya menu makanan laut di pinggir pantainya belum banyak ada, rata-rata hanya ada mie instan dan telor saja. Untuk ikan harus request dan penjualnya akan membelikannya dulu. Ironis juga di laut tapi tidak ada ikan bakar.

Selesai dari Lagoon Pari saya pun kembali menuju Jakarta dengan sebelumnya ke Kota Sukabumi untuk membeli Mochi Lampion di JL. Bhayangkara, Gang Kasuari. Saya kembali naik ELF ke Pel. Ratu. Benar saja yang saya katakan tentang ELF yang over capacity. Ada sekitar 2 kali lipat dari kapasitas penumpang yang diangkut saat itu. Bahkan sampai ada 4 orang yang harus naik di atap mobil. Tapi dari kepenuhan itu ada sedikit rejeki karena saya jadi harus memangku seorang cewe selama perjalanan :p.


Mungkin Berguna :

Rute Pel. Ratu - Sawarna : Jakarta - Bogor - Pel. Ratu - Sawarna

Ongkos-ongkos :
1. Bis Jakarta Bogor : Rp 7.000,-
2. Bis Bogor - Pel. Ratu : Rp 30.000,- (saat itu sedang macet jadi lebih mahal)
3. Angkot Pel. Ratu - Karang Hawu : Rp 5.000,- (jangan naik ojek yang ditawarkan di terminal Pel. Ratu)
4. Elf Karang Hawu - Cibayawak : Rp 20.000,- (kalau turun di Ciawi Rp 15.000 tapi ojeknya tidak tahu)
5. Ojek Cibayawak - Sawarna : Rp 25.000,- (kalau bisa ditawar, pasarannya Rp 20.000,-)
6. Masuk Pantai Ciantir : Rp 5.000,-
7. Penginapan di Ciantir (saung pinggir pantai) : Rp 20.000,-/orang (kalau rombongan beda dan lebih murah)


Semoga Bisa Jadi Referensi, Salam Dolan :)