Selasa, 31 Desember 2013

Terbayarlah Semua Perjuangan, Gunung Gede

“Setelah perjuangan urus mengurus yang panjang, akhirnya semua terbayar manis di puncak Gunung Gede.”


Gunung Gede adalah gunung di Jawa Barat bertipe yang memliki ketinggian 2958 mdpl dengan puncaknya ditandai oleh plang bertuliskan “Puncak Gede 2958 mdpl”. Gunung Gede ini gagah berdiri di tiga kota yaitu Cianjur, Sukabumi, dan Bogor. Terakhir meletus tahun 1957 dan masih tertidur sampai sekarang.

We Are
Bersama Gunung Pangrango, Gunung Gede berada dibawah naungan Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) yang berperan sebagai pionir sejarah konservasi Indonesia. Bersama 5 Taman Nasional pertama yang ada di Indonesia, TNGP terus menjaga titipan tuhan yang tak ternilai, alam.

Hutan hujan tropis pegununagn yang ciamik, vegetasi yang beragam dan unik (bahkan katanya ada tanaman yang belum dikenal secara ilmiah), dan satwa-satwa yang diantaranya hampir punah menjadi harta karun milik TNGP. Itulah mengapa izin pendakiannya ketat. Bahkan dari Januari – Maret 2014, pendakian ditutup untuk penyeimbangan ekosistem.

Jam menujukan pukul 2.00, alarm kami masing-masing berdering bersahutan memberi tanda petualangan akan dimulai kembali. Ya, kami memang berniat memburu fajar dari Kandang Badak. Dengan hanya membawa perbekalan secukupnya, kami mulai menuju titik tertinggi Gunung Gede.

“Mini Market” di Atas Gunung

“Fasilitas Gunung Gede tidak hanya untuk pelancong, pendaki yang sudah sampai puncak pun masih diberi failitas itu”


Karena akses yang mudah dari Jakarta ditambah trek yang tidak terlalu sulit dan pengelolaan serta fasiltas yang baik, Gunung Gede Pangrango menjadi gunung foavorit pendaki Jakarta. Tak kurang dari 500 orang biasanya naik kesini saat weekend. banyak juga yang datang sekeluarga (ayah, ibu, anak, kakek, nenek). Bahkan anak perempuan 5 tahun pun turun bareng kami dari puncak. Penerus tongkat estafet pendaki, nih!

Pop Mie dan Fajar
Di tengah perjalanan menuju Kandang Badak, terkadang ada bapak-bapak menawarkan nasi udak dan gorengan. Kami bertanya-tanya juga, apa itu betulan? Dan ternyata setelah sampai Kandang Badak kami baru percaya. Di antara tenda-tenda warna-warni, ada tenda sederhana dari terpal dan kayu yang memajang rentengan kopi, susu, dan tumpukan pop-mie.

Mereka adalah pedagang yang memfasilitasi pendaki sampai puncak. Hmm, sampai segini kah fasilitas Gunung Gede ? “Kopi – kopi, pop-mie, mas !”, kata mereka menjajakan dagangannya.

Pedagang tidak hanya ada di Kandang Badak, di puncak pun banyak pedagang yang menjajakan juga nasi uduk, roti dan gorengan bakwan.

Mall dan Pasar Kaget di Gunung Gede

“Dari Mas Fazri, katanya trek Gunung Gede itu seperti di mall.”


Setelah semua beres dan ijin naik sudah clear. Langkah pertama saya, Didot dan Agung pun dimulai. Jalan cukup ramai, bercampur antara pendaki dan pelancong biasa yang hanya bertujuan ke Curug Cibeureum.

Karena ada tempat wisata itu juga lah yang menyebabkan fasilitas disana lengkap. Ternyata benar kata Mas Fazri, trekknya seperi di “mall”. Jalan batu berundak tersusun sangat rapi. Tanpa usaha keras kecuali mental dan fisik kami hanya mengikuti jalur yang sudah disediakan. Dari pintu masuk sampai Kandang Badak, jalurnya terus seperti itu dipayungi pohon-pohon besar. Dimanja sekali para pendaki.

Telaga Biru dan Orangnya Sama Kerennya :p
Jalur Cibodas memang terkenal karena banyak checkpoint-checkpoint yang bisa dinikmati. Setidaknya ada Telaga Biru, Curug Cibeureum, dan Sungai Air Panas yang bisa disinggahi.

Telaga Biru. Telaga yang selalu berwarna biru karena adanya ganggang biru ini jadi titik pertama yang kami nikmati. Sekitar setengah jam berjalan dengan jarak 1,5 km dari pintu masuk Cibodas, kami membasuh badan di parit kecil yang airnya cukup jernih dan berfoto di Telaga Biru yang terlihat ada ikan berwarna orange berenang bebas.

Senin, 30 Desember 2013

Warung Rock ‘n Roll, Cibodas

“Diantara warung-warung yang pernah saya singgahi sebelum mendaki, ini warung yang paling gaul men!”

Cita Rasa Amrik
Kawasan Cibodas, Puncak merupakan tempat wisata yang cukup digemari warga Jakarta. Disana ada Kebun Raya Cibodas, Air Terjun Cibeureum, dan bagi yang suka trekking tentu saja Gunung Gede-Pangrango bisa jadi tujuan.

Hawanya yang sejuk kontras dengan asap hitam dan udara gersang di Jakarta. Karena merupakan tempat wisata itulah, jadi fasilitasnya cukup lengkap. WC umum, warung oleh-oleh, terminal, dan warung makan berjejer disana. Bahkan ada toko Outdoor Gear bagi yang kurang peralatannya saat mau mendaki.

Karena datang pada dini hari, kami memutuskan mengisi energi sampai pagi sebelum mendaki Gunung Gede. Tanah lapang parkiran wisatawan yang akan ke Curug Cibeureum jadi lapak kami. Sambil menahan dingin, kami memaksakan tidur walau seperti biasa, hanya berganti-ganti posisi tidur saja.

Pagi-paginya, entah karena lelah atau memang baru dibangun semalam saat kami tidur, ternyata di belakang tempat tidur kami adalah warung kopi. Di ujung parkiran tepatnya, nama warungnya “Cave Rhino” yang bergambar Badak. Kami kesana untuk sarapan. Saat pertama masuk, kesan pertama adalah “Rock ‘n Roll, men!”. Bagaimana tidak, denting piano lagu Aerosmith – Crazy mengalun menyambut matahari pagi. Sambil memesan bandrek susu hangat, sambil bersenandung menirukan suara Steve Tyler, vokalis Aerosmith. “I go crazy, crazy, baby, I go crazy”.

Gunung Gede, Usaha Ijinnya Se-Gede Namanya

“Baru mengurus ijin saja kami sudah harus me-reschadule perjalanan sampai dua kali.”

Ya, Gunung Gede memang salah satu gunung yang untuk mendakinya dibutuhkan pengurusan ijin yang cukup ketat karena merupakan kawasan konservasi. Ekosistem alamnya sangat dijaga di bawah nama Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP).

Sudah dari bulan September, saya dan Didot berencana kesana. Saat itu, Didot yang mengurus ijinnya harus menelan kenyataan pahit tidak dapat kuota. Padahal uang sudah ditransfer. Alhasil kami ganti destinasi ke Gunung Papandayan.

Yang kedua 3 minggu setelahnya. Walau belum sempat transfer uang, tapi lagi-lagi kuota jalur Cibodas habis dan karena  jalur Gunung Putri ditutup, hanya ada Selabintana, Sukabumi. Karena jauh dan katanya banyak pacetnya, teman-teman saya yang lain tidak mau ikut. Itulah kedua kalinya kami ditolak Gunung Gede.

Dengan sumpah si Didot yang akan mengganti nama Gunung Gede jadi Gunung Tidak Gede, kami mencoba lagi 2 minggu setelahnya. Dan karena sumpah itu akhirnya Gunung Gede luluh hatinya dan kita dapat kuota naik lewat jalur Cibodas. Horeee !

Untuk pendaftarannya tidak beda dengan pendaftaran ujian masuk perguruan tinggi. Kita harus registrasi online dengan menyerahkan biodata dan transfer uang pendaftaran untuk dapat bukti pendaftaran yang akan ditukar Simaksi (Surat Ijin Memasuki Kawawan Konservasi).

Selasa, 24 Desember 2013

Kita di Pantai Gunung Kidul

“Di akhir perjalan kita di Gunung Kidul, kita menutupnya dengan mampir ke ikon Gunung Kidul, Pantai.”

Walupun hanya dua pantai yang sempat kita kunjungi, tapi itu sudah cukup membuat saya mengagendakan untuk suatu hari kembali lagi ke Pantai Gunung Kidul dan bertujuan hanya untuk menyusuri pantai. Pantainya keren, man !

Memang jarak pantainya cukup jauh dari kota Wonosari dan dari tempat kita berangkat, Goa Pindul. Tak kurang dari 1 jam untuk mencapai pantai. Terus menyusuri jalanan desa menuju selatan dengan mengikuti plang bertuliskan “Pantai Baron”. Karena lelah dan ngantuk setelah mandi di sungai, konsentrasi berkendara pun agak berkurang. Masjid di pinggir jalan pun jadi tempat kita melepas lelah sejenak.


Kita

Untuk mencapai pantai jalanannya adalah jalanan desa. Akhirnya plang pun berubah di sebuah pertigaan, dari yang tadinya hanya “Pantai Baron”, kali ini sudah di split menjadi “Pantai Sundak” dan “Pantai Baron”. Karena pacar saya sudah pernah ke Pantai Baron, jadilah kita memilih Pantai Sundak.

Hutan-hutan jati menghiasi kanan kiri jalanan menuju Pantai Sundak. Sesekali perkampungan dan sawah-sawah. Penjaja belalang banyak disana, belalang besar berukuran sebesar jari telunjuk orang dewasa digantung-gantung disana. Ada yang masih mentah dan sudah dalam plastik dan berbumbu. Motonya yaitu “Manis, Gurih, Pedas”.

Sabtu, 21 Desember 2013

Traffic Jam di Goa Pindul

“Seperti di Jakarta, kemacetan ternyata ada di Goa Pindul, bedanya kalau di Jakarta penuh emosi, disini penuh kesejukan.”


Suasana Pintu Masuk Goa
Terlihat banyak wisatawan dan bus-busnya yang sudah bertengger saat kita tiba di loket. Karena alasan waktu, jadi dari 3 paket wisata yaitu Caving Goa Sriti, River Tubing Sungai Oyo, dan Cave Tubing Goa Pindul, kami hanya pilih satu yaitu Cave Tubing.


Goa Pindul, sebagaimana goa-goa lain, juga punya legenda. Salah satunya yaitu kisah pengembaraan Joko Singlunglung mencari ayahnya yang hilang. Setelah kesana kemari mencari alamat, dia masuk ke salah satu goa. Saat mau masuk pipinya terbentur batu, akhirnya dengan segala filosofinya dia menamai goa itu Goa Pindul yang artinya pipi kebendul (kebentur dalam bahasa jawa).

Dari loket, kita harus menuju goa dengan mobil bak terbuka. Karena penuh, untuk dapat ban pun harus mengantri dulu di pintu keluar goa. Ban yang dipakai yaitu ban dalam (tube) truk berdiameter sekitar 1 meter. Setelah dapat, masih harus berjalan lagi ke pintu masuk goa. Penuh sekali disana, semua mengambang dan berdesakan di permukaan sungai seperti cendol. Wah, kemacetan model baru nih sepertinya.

Minggu, 15 Desember 2013

Jalan Berfasilitas di Gunung Kidul

“Mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera ….”


Lagu ninja Hatori itu sepertinya cocok untuk menggambarkan wisata yang ada di kota bagian selatan Yogyakarta ini. Ada gunung, sungai dan goa, dan pantai yang katanya indah-indah. Tapi kali ini sesuai lagu di atas, setelah turun gunung kita melanjutkan menuju sungai dan goa, di kawasan Goa Pindul.

Dari Nglanggaren kita keluar menyusuri jalan balik yang mulus seperti kulit bintang iklan hand body. Terus mengambil arah Kota Wonosari. Keluar ke jalan utama, motor tiba-tiba agak goyang, ternyata ban belakangnya kempes. Cari-cari, akhirnya dapat juga tambal ban. Di situ ternyata tidak pakai kompresor, jadi, bapak-bapak berusia senja mengkonversi tenaganya menjadi angin demi keselamatan dan kenyamanan kita di jalan.

Peta Wisata Gunung Kidul

Menyusuri jalan ke Goa Pindul benar-benar menyenangkan, kanan kiri hutan kayu putihnya seakan memfilter sinar dan panas matahari menuju bumi. Kawasan hutan disana adalah kawasan konservasi dan wisata milik pemerintah provinsi Yogyakarta dengan adanya Tahura (Taman Hutan Raya) yang diresmikan pada Desember 2012 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. Seajuh ini saya mengapresiasi pemanfaatan dan pengelolaan kawasan wisata yang sangat baik di Gunung Kidul ini.

Tujuan kita kali ini adalah ingin mencoba cave tubing di Goa Pindul. Cave tubing sebenarnya seperti body rafting, tapi karena sungainya mengalir di dalam goa, jadi dimanipulasi namanya jadi cave tubing.

Jumat, 13 Desember 2013

Gunung Api Purba, Gunung tanpa Dingin

“Biasanya saat bermalam di gunung pasti berusaha agar kulit serapat mungkin, tapi disini beda lho !

Pendopo Sebelum MendakiKeletihan sangat terasa setelah berkendara sekitar 6 jam dari ujung utara ke selatan Pulau Jawa. Tapi setelah sampai di kaki gunung, keletihan itu serasa akan segera terobati oleh panorama, mie rebus, dan dingin yang sudah menanti di ujung jalan menanjak. Gunung, lelah dicapainya tapi tempat istirahat terindah.

Semangat yang masih tersisa harus dikobarkan lagi untuk menikmati itu semua. Gunung Api Purba atau Gunung Nglanggeren yang terletak di Desa Nglanggeren, Gunung Kidul, Yogyakarta yang kali ini tanahnya akan saya tancapi dengan keempat sisi frame tenda saya.

Gunung ini cukup mudah dijangkau. Jalanannya mulus dan ada petunjuk arahnya. Gunung ini merupakan bongkahan batu besar yang tersusun sedemikian rupa dan menjulang dengan ketinggian maksimum 700 mdpl. Sebenarnya gunung ini memiliki beberapa nama gunung di dalamnya. Tapi yang terbesar dan tertinggi adalah Gunung Gedhe.

Gunung ini dikelola secara profesional oleh penduduk setempat. Ada pusat informasi, kamar mandi bersih, dan pendopo untuk beristirahat sebelum melanjutkan berjalan ke puncak.

Saat kami kesana sedang ada hajatan rupanya. Katanya sih peresmian masjid, tapi acaranya benar-benar meriah. Umbul-umbul sponsor yaitu Bank Mandiri terpasang sepanjang jalan. Belakangan saya ketahui bahwa pengisi acaranya adalah Didi Kempot. “Sewu kuto uwis tak liwati, Sewu ati tak lakoni…”

Sabtu, 07 Desember 2013

Banyak Jalan ke Yogya, Bersamamu

“Karena bosan setiap ke Yogya pakai motor dari Semarang selalu lewat Magelang, saya pun memutuskan mencoba rute lain.”

Kaka AdeSetalah kereta Tawang Jaya mengakhiri perjalannya di Stasiun Semarang Poncol, pengalaman baru menuju ujung selatan Kota Yogjakarta dari ujung utara Kota Semarang pun segera dimulai.  Perbekalan disiapkan untuk pelengkap menu makan malam, 3 butir telur kamu masak menjadi special untuk dibawa. Packing terakhir dengan membagi barang bawaan saya lakukan di rumah pacar saya. Terakhir, rain cover hijau dan kuning, kita balutkan ke tas ransel kita masing-masing. Pamitan, starter motor, kemudian melaju dan memulai cerita yang selalu akan menguatkan lagi hubungan kita.

Seperti biasa, motor matic biru menjadi saksi cerita kita di perjalan. Motor yang menemani dari tanggal awal kita memutuskan bersama. Melaju menuju Kota Ungaran yang jalannya sedang diperbaiki belum mampu menahan laju kita. Karena agak mengantuk, kita singgah sebentar untuk mengisi energi dan tak lupa si matic biru. Disana pula kita akhirnya memutuskan untuk mengambil rute berbeda menuju Yogja tepatnya menuju daerah Gunung Kidul, Wonosari. Kita memilih jalur Salatiga – Boyolali – Klaten – Yogja. Dengan modal informasi teman dan plang penujuk arah, Kita pun yakin mencoba jalur tersebut.

Sejuknya jalanan kota di kaki gunung Merbabu, Salatiga, mengiringi perjalanan kita. Memasuki jalan raya Salatiga-Boyolali, kita harus bersaing denga bus-bus besar yang menuju arah Solo. Karena hanya bermodal kata “via Klaten”, maka saat ada plang “Klaten” langsung saja kita ambil jalan itu. Ternyata jalanan menuju Klaten bukan jalan besar, lebih mirip jalan desa yang sempit dan hanya cukup untuk 1 mobil masing-masing lajurnya. Baru ingat ternyata teman saya bilang kita baru ambil jalan Klaten setelah sampai kota Sukoharjo. Terlajur basah, kita tempuh saja jalanan desa itu yang belakangan saya tahu namanya Jatinom.