Jumat, 23 Mei 2014

Koran yang Terbit Setelah Senja

Kalau kalian bertanya dua hal yang paling aku sukai, aku akan menjawab: balkon dan hari Minggu. Di balkon biasanya aku menyendiri memandangi langit dengan sejuta misterinya. Dan hari Minggu adalah hari yang pas untuk melakukan hal itu. Seperti hari Minggu ini, bersama kopi, rokok, dan koran terbitan perusahanku.

Genap sebulan sudah koranku terbit setiap hari. Aku anak muda pimpinan perusahaan media cetak warisan ayahku yang aku ambil alih dan aku obrak-abrik. Aku ganti konsep korannya sesuai tujuanku. Menyesuaikan dengan konsepku, kematian, koran baruku ini aku beri nama “Koran Obituari”. Menarik bukan? Ini bukan koran pagi, ini aku sebut koran senja. Karena terbit setelah jam enam sore.

Apa? Kalian takut? Kasihan. Kalian yang takut membeli koranku aku anggap berpemikiran sempit. Kalian hanya menganggap kematian berarti tubuh yang kaku, dingin, jantung tak berdenyut, dan tidak bernafas. Padahal yang lebih menakutkan itu mati sak jroning urip, mati dalam keadaan hidup. Jasadnya bernafas tapi jiwa, nurani, akal sehat, dan kewarasannya mati. Pernah dengar itu?

Minggu itu cuaca tidak cerah. Matahari hanya bersinar sekenanya, hanya menandakan kalau saat ini bukanlah malam. Aku sedang menunggu pesawat yang akan menjemputku untuk berlibur. Pesawat itu akan menjemputku di depan rumah. Sambil membolak-balik halaman koranku dan menertawakan beberapa kisah kematian, udara siang itu menghembuskan ingatan-ingatan masa laluku. Di tengah ibu-ibu yang mengutuki langit karena cuciannya susah kering, aku hanyut dalam penjelajahan waktu.

Semangkok Bakmie

Siang itu, orang-orang datang dan pergi dari tempat itu. Mereka datang dengan muka lapar serta penasaran dan mereka yang pergi tampak puas dengan seringai di wajah mereka. Sambil bergosip menuju kendaraan mereka, rasa itu masih mengecap di mulut mereka. Menghasilkan cerita-cerita untuk dibagikan ke teman-teman mereka tentang warung kecil itu.

Warung bercat hijau. Tempatku lahir sekaligus mati. Aku lebih suka menyebutnya: tempat singgah menuju surga. Karena setelah aku dinyatakan mati, aku langsung berada di surga seperti sekarang. Belum tentu tempat lain bisa seperti itu. Warung itu sekarang sudah berumur hampir setengah abad. Dari situ, sudah jutaan “aku” yang sekarang sedang menikmati surga. Lihat mereka di belakangku, bagai raja mereka sekarang disini. Bak artis kawakan, warung itu masih saja jadi sorotan internet, televisi, dan media-media lain. Mungkin itulah yang disebut tempat legendaris.

Disini, inilah kegiatanku. Setiap hari, entah dengan perhitungan waktu seperti apa, aku hanya diam. Hanya senyum-senyum sambil mengingat kenangan di warung itu. Tak ada kewajiban yang harus dikerjakan dan dituntaskan disini. Yang ada hanya hak yang selalu terpenuhi setiap hari, sampai ke setiap satuan terkecil waktu.

Di setiap kegiatanku, aku selalu ditemani dia. Pasangan hidupku. Aku selalu setia padanya, begitu pun sebaliknya. Empat puluh bidadari yang dijanjikan Tuhan aku tolak demi memilih dia seorang. Kami adalah manunggal yang tak akan pernah terpisahkan. Aku masih tidak bisa terima penceramah yang mengatakan: saat di surga nanti akan diberi empat puluh bidadari atau bidadara untuk bercinta. Mereka yang seperti itu hanya menginginkan kenikmatan surga tanpa menghiraukan kekuatan cinta sejati.

Kamis, 22 Mei 2014

Sang Pemanah

Iki sih,  wis pasti Raden Arjuna yang menang.”

Iyo, mana ada yang sanggup tanding panahan sama Raden Janaka alias Arjuna. Nek bukan Begawan Durna, gurunya sendiri, ya enggak ada yang bisa.” Entahlah siapa yang berbicara.

“Mak, aku kepingin punya suami kayak Kang Mas Parta. Wis guanteng, keluarga raja, jago memanah lagi. Lengkap lah, Mak. Cariin ya, Mak.” Kata satu dari sejuta perempuan yang mendambakan sosok seperti Arjuna.

“Halah, kamu itu cocoknya sama yang seperti Rahwana di zaman Ramayana.” Jawab ibunya yang diam-diam sedang berkhayal saat di ranjang bersama suaminya, tiba-tiba suaminya berubah jadi Arjuna.

Rak popo, Rahwana itu setianya ke Dewi Widowati tiada duanya, Mak. Tapi tetep yang gantengnya kayak Kang Mas Parta.” Mata perempuan itu berbinar bersama jutaan pasang mata perempuan lainnya.

Gunjingan penonton riuh terdengar pada pertandingan memanah tingkat sekolah di Hastinapura atau Astina ini. Suaranya lebih mirip dengungan yang menggema ke seluruh gelanggang. Hampir semuanya mengelu-elukan Arjuna dengan segala kesempurnaanya sebagai manusia.

Di deretan kursi kehormatan duduk berjajar petinggi-petinggi keraton Astina. Resi Bisma, Prabu Destarasta didampingi istrinya Dewi Gendari, Mahapatih Sengkuni, Dewi Kunti, dan Mahaguru Begawan Durna serta Widura yang saat ini berperan sebagai pengatur acara.

Sabtu, 17 Mei 2014

Joang

Sedikit-sedikit kesadaran mulai tereja penuh oleh Maeda. Bercak-bercak warna perlahan mengkudeta cahaya putih yang dari tadi memenuhi syaraf optiknya hingga habis. Kaget, kata sifat pertama yang muncul setelah semua indera dan kesadarannya pulih.

Kapal-kapal dengan layar besar ada di depannya. Dengan bendera merah-putih-biru dan lambang huruf yang tersusun pada warna putihnya. VOC, ia membaca lambang itu. Orang-orang bebadan kurus dan berkulit gelap terlihat memanggul karung-karung besar menuju kapal. Orang-orang berkulit putih dan berbadan tegap dengan tinggi lebih seperempat dari mereka, berdiri mengawasi. Suasana asing itu disambut pertanyaan: dimana aku?

Seorang pemanggul tiba-tiba terjatuh tepat di depan Maeda. Refleks, ia mencoba membantunya berdiri. Tapi kejadian itu malah menimbulkan kebingungan baru. Saat ia mencoba menyetuh, tangannya hanya menembus tubuh padat orang itu. Dicobanya lagi, tetap sama.

Mata Maeda mengedar panik. Benar, selain dia bisa nembus, ternyata tidak ada yang peduli dengan kehadirannya. Padahal Maeda seharusnya begitu nyentrik diantara kedua ras itu. Dengan kemeja dan celana jeans, ditambah headset yang menggantung, ia harusnya menjadi alien. Atau paling tidak ditertawakan karena salah kostum di sebuah pesta bertema klasik.

Kamis, 15 Mei 2014

Bocah yang Tak Pernah Sekolah

Sekolahmu dimana? Anaknya siapa? Rumahmu dimana? Paling tidak itulah tiga pertanyaan yang paling sering diajukan oleh orang tua temannya sewaktu kecil. Sekarang, saat dia sudah jadi seperti ini, dia baru bisa menjawabnya.

“Adi, kita main yuk!” Ajak bocah itu pada temannya sepulang ia sekolah.

“Ayo, kita main petak umpet lagi,” jawab Adi yang selalu jadi teman main bocah itu.

Setiap hari, bocah itu dan anak-anak lain akan bermain sampai sore. Hanya bermain, tidak ikut sekolah. Orang tua temannya hanya berfikir dia anak kampung sebelah yang tidak disekolahkan orang tuanya.

Setelah sore, saat anak-anak lain yang disuruh ibunya, dia juga pulang. Tapi tidak ada yang tahu rumahnya. Dia berjalan ke arah hutan dan akan menghilang disana. Tanpa jejak.

Hutan itulah rumah sekaligus sekolahnya. Tidak ada manusia, hanya ada hewan dan tumbuhan yang mengajarinya kehidupan.

Dia belajar ketidakserakahan dari singa yang akan berhenti makan setelah kenyang. Keadilan pada pepohonan yang tidak pandang bulu membagikan udara. Perjuangan hidup dari ulat yang akan menjadi kupu-kupu. Kepedulian dari seekor semut. Keluwesan dari air sungai. Perenungan mendalam dari gunung. Dan masih banyak yang lain.

Mereka semua adalah makhluk yang dianggap tak berakal. Tapi dengan rendah hati dia belajar dan sangat menghormati mereka.


Sekarang, di usia dewasanya, saat teman-temannya sibuk di kantor. Dia adalah satu-satunya manusia yang bisa terbang. Melayang di atas semua manusia dan menjadi sumber segalanya. Ia memang tidak pernah sekolah, tapi ilmunya adalah ilmu yang nyata bagi umat manusia. Ilmunya menuntun manusia pada kesufian hidup. Dia, bocah itu, adalah titisan Batara Wisnu.

Rabu, 14 Mei 2014

Ekalaya

Kalian tahu tentang lakon Ekalaya di pewayangan?

Itu adalah lakon dimana Arjuna merasa iri pada seorang pemburu yang bernama Bambang Ekalaya. Ceritanya, Arjuna bertemu Ekalaya di hutan. Sebelumnya dia melihat ada tujuh anak panah yang mengenai babi hutan pada titik yang sama, yaitu mulutnya saat sedang mangap. Arjuna yang melihat itu langsung gusar. Dicarilah orang itu.

Setelah ditelusuri, akhirnya Arjuna bertemu dengan Ekalaya. Orangnya gagah dan istrinya cantik. Namanya Dewi Anggraeni.

“Dari mana kau belajar memanah?”

“Oalah ini penengah Pandawa, Arjuna? Saya belajar sendiri, Tuan.” Ekalaya sangat sopan. Arjuna pun sebenarnya tidak mempermasalahkan ia belajar dimana. Yang dipermasalahkannya adalah karena dia harus membayar uang sekolah sangat mahal pada Mahaguru Durna untuk ilmu itu.

Ora mungkin, yang bisa memanah sehebat itu cuma Begawan Durna.”

Setelah dipaksa akhirnya Ekalaya mengakui. “Nggih Tuan, saya belajar dari Begawan Durna. Patung yang saya buat itu bisa membawa beliau kesini dengan teleportasi.”

“Berapa bayarnya?” Arjuna ketus.

“Saya cuma pemburu yang kebetulan punya bakat, jadi saya digratiskan semua biayanya oleh beliau.”


Saat tahu fakta itulah Arjuna meminta pertandingan memanah yang diwasiti Durna diadakan. Akhirnya Durna pun berat sebelah pada Arjuna karena takut kehilangan gajinya. Arjuna pun bisa mengalahkan Ekalaya dengan memintanya memotong jempolnya sebelum memanah.

Senin, 12 Mei 2014

Metode Pencabut Nyawa dan Skenario Hidup Abadi

Kurt

1 April 1994, skenario April mopku sukses. Hanya sehari aku berada di Exodus Recovert Center di Los Angeles yang membosankan untuk rehabilitasi. Aku berhasil menipu penjaga. Dengan alasan ingin merokok, pagar setinggi enam meter berhasil kulewati. Dan aku kembali menjadi Kurt yang bebas. Apa menyenangkannya hidup di sana, tidak bisa memakai heroin.

Di sepanjang jalan menuju Seattle pikiran itu semakin deras menghantam otakku. Di dalam taksi aku hanya memandangi jalanan Los Angeles. Kosong. Aku mengingat semua orang yang aku cintai sebelum aku memutuskan untuk melakukannya atau tidak. Courtney istriku, Frances yang sebentar lagi berusia dua tahun, Krist, Dave dan Nirvana. Aku akan merindukan kalian, dan kalian juga pasti begitu padaku nanti.

Ada satu nama yang tiba-tiba muncul, Boddah. Teman khayalanku. Aku baru mengingatmu lagi. Apa kau baik-baik saja? Musik dan semua ini telah membuatku lupa padamu. Maafkan aku Boddah, sebentar lagi kita akan bertemu. Di alam tanpa batas ruang dan waktu.

Aku sangat sangat stress saat masuk ke ruangan ini. Aku langsung membuka laci mejaku. Masih tersimpan rapi disitu. Remington si senapan penghancur angsa. Di laci sebelahnya heroin dan valiumku juga masih ada. Kuambil kedua benda itu dan duduk di tengah ruangan untuk menulis pesan terakhirku.

Kamis, 08 Mei 2014

Laut Disana

Cokelat, biru, putih, hijau.
Wajah laut berbagai warna memantulkan keindahan.

Dudukku terpaku.
Mataku tak beranjak.
Dari jendela kereta api,
kusapu pandanganku
menuju laut dan mengitarinya.
Luas, hanya terbatas bumi yang bulat
dan laju kereta yang semakin menjauh.

Laut, disana.
Petani garam menantang matahari,
mengasini masakan dicampur keringat.
Pemancing ikan murung tak dapat ikan.
Terang saja, karena kail mereka tak berumpan.
Sejoli pacaran di bawah pohon rindang,
sementara pohon gersang menanti kekasih

Laut, disana.
Kuli rel kereta api beradu dengan kerasnya baja dan batu.
Memunggungi laut di balik bukit gundul rawan longsor.
Malamnya, jerit nelayan memecah karang.
Stok solar mereka tak mampu lagi menghalau ombak.
Kekeh camar pun terdengar sarkas di atas kepala.

Laut, disana.
Aku hanya bisa melihat
tanpa bisa menjamah.
Seperti aku yang belum bisa menjamah-Mu.
Dan Anda yang masih enggan menjamah mereka.


IndraRama
K.A. Menoreh, 1 Mei 2014

Rabu, 07 Mei 2014

Frase Jantung

Jantung Hati

‘Kamu adalah jantung hatiku.’ Hanya itu kalimat yang struktur bahasanya utuh yang bisa dia ingat. Kalimat itu sisa-sisa kewarasan yang sudah tinggal setengah persen ada di pikiran perempuan itu. Sisanya adalah ceracau, terkadang jeritan, memilukan dari dalam gubuk lusuh dengan kaki, tangan, dan jiwa yang terpasung atau lebih tepatnya dipasung.

Lelaki itu, yang mengaku jantung hatinya, bersama teman-temannya memperkosa dan membuangnya telanjang di hutan jati pinggir kampungnya dua hari lalu.

Jantung Pisang

“Pak, bagaimana cara mengambil jantung itu?” Tanya seorang anak saat bersama ayahnya memanen pisang di kebun.

“Gampang Nak, pakai golok itu dan tebas jantungnya.” Ayahnya mencontohkan dengan mengambil jantung pisang.

Keesokan harinya ayahnya pingsan saat anak itu datang dan berkata, “Bapak, aku berhasil mendapatkan jantungnya dengan golok ini,” sambil menunjukan jantung manusia berlumur darah. Kata anak itu, itu adalah jantung lelaki yang memperkosa kakak perempuannya dua minggu lalu.

Transplantasi Jantung

Ayah anak itu mendadak mati kena serangan jantung setelah semua keluarganya hancur. Istrinya selingkuh dan minggat satu tahun lalu, anak perempuannya diperkosa dan sekarang dipasung karena gila, dan terakhir, baru saja bungsunya sukses memamerkan jantung manusia yang bahkan masih berdenyut.

Anak itu resmi hidup sebatang kara setelah ayahnya kaku dan dingin sambil meremas dada di hadapannya. Ia ingin menolong ayahnya.

Ia bakar jantung di tangannya. Kemudian ia robek dada ayahnya dan mengambil jantungnya, lalu merobek dada dan mencongkel jantungnya sendiri. Ditangannya sekarang sudah ada dua jantung segar. Ia bungkus dengan plastik berbeda dan menamainya masing-masing, ‘Jantung Bapak’ dan ‘Jantungku’, agar nanti tidak tertukar. Dimasukan keduanya ke dalam tas dan dibawanya beserta mayat ayahnya menuju dokter ahli transplantasi jantung.


IndraRama
Kamar Kos dan lagu-lagu A7X, 6 Mei 2014 19:43