Senin, 12 Mei 2014

Metode Pencabut Nyawa dan Skenario Hidup Abadi

Kurt

1 April 1994, skenario April mopku sukses. Hanya sehari aku berada di Exodus Recovert Center di Los Angeles yang membosankan untuk rehabilitasi. Aku berhasil menipu penjaga. Dengan alasan ingin merokok, pagar setinggi enam meter berhasil kulewati. Dan aku kembali menjadi Kurt yang bebas. Apa menyenangkannya hidup di sana, tidak bisa memakai heroin.

Di sepanjang jalan menuju Seattle pikiran itu semakin deras menghantam otakku. Di dalam taksi aku hanya memandangi jalanan Los Angeles. Kosong. Aku mengingat semua orang yang aku cintai sebelum aku memutuskan untuk melakukannya atau tidak. Courtney istriku, Frances yang sebentar lagi berusia dua tahun, Krist, Dave dan Nirvana. Aku akan merindukan kalian, dan kalian juga pasti begitu padaku nanti.

Ada satu nama yang tiba-tiba muncul, Boddah. Teman khayalanku. Aku baru mengingatmu lagi. Apa kau baik-baik saja? Musik dan semua ini telah membuatku lupa padamu. Maafkan aku Boddah, sebentar lagi kita akan bertemu. Di alam tanpa batas ruang dan waktu.

Aku sangat sangat stress saat masuk ke ruangan ini. Aku langsung membuka laci mejaku. Masih tersimpan rapi disitu. Remington si senapan penghancur angsa. Di laci sebelahnya heroin dan valiumku juga masih ada. Kuambil kedua benda itu dan duduk di tengah ruangan untuk menulis pesan terakhirku.


Aku harus lebih relaks untuk melakukan hal besar ini. Asal kalian tahu, hal terbesar dalam hidup adalah kematian. Hanya tinggal bagaimana kau menjalani kematianmu. Kunyalakan rokok. Aku bisa melihat keteganganku terbang bersama asap rokok yang kucampur heroin.

Surat ini akhirnya selesai, aku berikan surat ini untukmu Boddah. Tolong sampaikan pada semua orang yang aku kenal, lalu temui aku. Kau tahu kan tempatnya? Bagus jika tahu. Aku tancapkan pulpenku pada surat itu.

Kuisi peluru pada senapanku. Kuarahkan di bawah dagu. Aku menelan ludah. Sekujur tubuhku kelu. Takut, tentu saja. Tapi efek heroin dan Boddah lebih kuat mendorong jariku menarik pelatuknya.

Aneh, aku tidak bisa mendengar bunyi tembakan. Semua hening setelah pelatuknya kutarik. Kau banyangkanlah sendiri bagaimana kepalaku.


Inspiring Musician. Kurt Cobain. RIP 5 April 1994


120 Hari di Penjara

Sidang siang itu selesai. Vonis sudah ditetapkan kepadaku. Mulai besok sampai lima tahun kedepan, hidupku akan berada di balik jeruji besi. Tak ada lagi udara segar, libido tinggi, dan anak-anak. Aku melenguh panjang.

Buku catatan yang selalu jadi temanku bercerita sudah disita sebagai barang bukti. Aku dikhianati bukuku sendiri, padahal hanya kepada dia aku berani bercerita tentang kegiatanku. Sekarang, di dalam ruang sidang ini, dialah yang memperkuat putusan majelis hakim.

Malam pertamaku setelah sidang berlalu baik-baik saja. Sunyi dan gelap terasa normal dibandingakan malam-malam selanjutnya.

Keesokan harinya adalah hari pertama seluruh waktuku berada di penjara. Malam itu, pukul setengah satu dini hari, aku terbangun. Tapi aku mendapati tubuhku sedang tidur. Aku terbangun karena pintu selku dibuka. Denyitan engsel berkarat itu mengagetkanku.

Siluet seorang sipir terlihat masuk. Bukan, bukan sipir, dia bertubuh anak-anak. Joni? Pikirku. Anak itu adalah korban pertamaku dulu.

“Mau apa kamu kesini?” Teriakku panik.

Tidak ada jawaban darinya. Mukanya datar namun pandangannya seganas anak-anak Dewa Ares[1]. Dia lalu mengeluarkan seekor ular dari tasnya.

Melata nokturnal itu langsung menghambur melihat mangsanya. Dan akulah yang dimaksud. Dengan cepat hewan itu masuk ke celanaku. Aku berusaha berlari namun sia-sia. Seperti ada rantai yang mengikat tubuhku.

Di dalam celana, ular itu mencari lubang duburku. Ia langsung masuk kesana dan menyeringai jahat mendengar teriakanku. Anak itu hilang bersama tubuh ular yang juga hilang ke dalam tubuhku.

Kejadian itu berlangsung setiap malam. Malam kedua, kesepuluh, kelimapuluh, keseratus. Sampai tubuhku benar-benar tidak bisa bergerak di ruang isolasi. Straitjackets[2] terpasang di tubuhku karena beberapa kali aku mencoba membenturkan kepalaku ke tembok. Tapi itu tetap tidak menghindarkanku dari anak-anak dan ular-ular mereka yang penuh dendam. Tiap malam aku hanya meronta dan berteriak sia-sia sampai malam keseratus dua puluh.

Aku tidak tahan lagi. Aku ingin… mati. Tubuhku diam. Tanpa gerakan, tanpa suara, dan tanpa denyut jantung. Hanya darah yang keluar deras dari mulutku akibat pendarahan hebat di lidahku yang aku gigit sampai putus.

Kepada Korban para Pedofil

Jamuan Makan Malam

Sudah satu tahun ini aku hanya dipanggil pengadilan untuk diperiksa. Semua sesuai rencanaku. Diperiksa, diperiksa, dan hanya akan terus diperiksa.

“Dia itu orangnya penurut. Walaupun dihukum berat, kartu “Joker”-nya ada padaku. Mau apa dia?” kataku pada orang kepercayaanku. “Tidak ada vonis yang akan jatuh kepadaku. Sampai media tidak lagi memberitakan dan masyarakat mulai melupakan.” Tambahku sambil tertawa licik khas penguasa-penguasa lalim.

Benar saja. Aku baca di koran, berita dan opini tentangku sudah mulai menghilang. Sudah di-overwrite dengan isu-isu terbaru yang menarik pembaca sekaligus uang.

Mahasiswa? Ah tenang saja, banyak aktivis kampus itu pragmatis. Lihat saja mereka yang berkoar-koar ‘Revolusi! Revolusi! Revolusi sampai mati!’ tapi berada di paling belakang di depan Gedung DPR tahun 1998. Setelah lulus lantas apa? Cari kerja, berkeluarga, dan mapan. Itu saja. Bahkan tidak sedikit yang sudah merintis karir korupsi mereka di pemerintahan yang katanya dulu ‘Pemerintahan Reformasi’. Cih, reformasi tai.

Aku ingin mengumumkan pada kalian, akulah dalang di balik kematian si aktivis HAM itu. Satu tahun lalu akulah yang menyuruh orang itu menaruh Arsenik di makanannya. Aku baik hati bukan? Aku rancang kematiannya seperti kematian Napoleon Bonaparte yang juga mati karena Arsenik. Kalian pasti sering melihat mukaku di televisi, kan? Ayo sekarang tangkap aku, adili aku, kalau perlu bunuh aku. Bisa apa kalian? Jelata tolol. Hahaha.

*****

Sore itu aku dapat undangan makan malam dari kolegaku di Jakarta Pusat.

Pukul sebelas malam, aku memasuki halaman sebuah rumah mewah bergaya Eropa. Aku langsung panik seketika. Ini bukan kolegaku, ini jebakan. Aku berusaha menahan tubuhku agar tidak masuk, tapi apa daya, aku hanya roh, hanya jiwa, hanya makhluk halus yang menyentuh pun tidak bisa. Aku tetap membuka pintu itu, pintu kematian. Dan masuk.

Di dalam, bagai kerbau dicucuk hidungnya, aku duduk di meja makan yang luas. Aku tahu itu adalah meja pengadilan, pengadilan langsung dari orang-orang yang haknya sedang diperjuangkan si aktivis HAM yang aku bunuh itu.

Aku bisa lihat mereka semua tampak senang melihat aku datang. Mereka semua korban penculikan, penganiayaan, dan perkosaan sepanjang 1997/1998, empat mahasiswa Trisakti, dan ribuan korban lain pada kasus Tanjung Priok, Talangsari Lampung, serta Semanggi I dan II.

Makanan tersaji. Wanginya enak. Asapnya mengepul saat tudung saji dibuka oleh pelayan beretnis Tionghoa. Waktu makan tiba, aku yakin makanan itu semua beracun. Tapi ternyata aku salah, yang benar racun itu bermakanan. Bukan nasi dicampur Arsenik, tapi Arsenik dicampur nasi. Segala jenis racun tersaji, dari kelas racun tikus sampai Strychnine dan Sianida.

Aku pasrah menyuapkan Arsenik dan Sianida ke dalam mulutku. Sedetik kemudian, aku mulai menjauh dari tubuhku. Hanya sorak sorai hadirin yang terdengar sebelum aku benar-benar lenyap dari dunia ini.

Menolak Lupa. Munir. Meninggal 7 September 2004 

Skenario Hidup Abadi

Sudah tiga malam aku mendapatkan mimpi yang sama. Mimpi itu tidak hanya muncul saat tidur. Sepanjang hari saat aku terjaga, mimpi itu terus mengikutiku. Bagai bayangan yang tak pernah lepas dari tubuh.

Mimpi itu membuatku takut. Sebenarnya mimpi itu hanya sebuah pesan singkat. Tapi isi dan si penyampai pesan yang membuatku gemetar saat menjelang tidur. Pesan itu berbunyi ‘Jika kamu berani melanjutkan aksi tanggal 12 Mei nanti, aku akan datang kepadamu setelahnya dan mencabut nyawamu. Empat temanmu akan mati hari itu.’ Dan penyampai pesannya adalah dia yang berwenang melakukan hal itu. Dewa Kematian. Ciri-ciri dewa kematian di dalam kitab suciku cocok sekali dengan penyampai pesan itu. Bedebah, orang tua itu berkoalisi dengan Dewa Kematian.

Hari keempat mimpi itu masih saja muncul. Tapi ketakutanku belum mencapai puncak karena semangat dan tekadku untuk berdemo bisa menahannya.

11 Mei 1998, malamnya aku tidur di kampus setelah merancang rencana demonstrasi esok hari. Aku sedikit lebih tenang karena teman-temanku membuatku lupa akan mimpiku. Kami masih bercanda namun semangat revolusi tidak pernah padam. Di gedung Ormawa, yel-yel mulai dibuat dan dikumandangkan.

Esok harinya, mimpi itu menghantui lagi. Jelas, sekarang adalah tanggal yang ditentukan oleh Dewa Kematian. Dan aku, tidak terbesit sedikit pun niat untuk mundur. Persetan dengan Dewa Kematian. Revolusi sampai mati.

Aksi kami berlangsung tertib pada awalnya. Tapi ada saja penyulut api itu. Entah karena apa suasana memanas kemudian terbakar. Aparat mulai brutal, gas air mata, peluru karet dan dilanjutkan dengan peluru tajam berhamburan ke arah kami. Aku berlari menuju kampus, banyak temanku ditendang, dipukul dan dibiarkan begitu saja di jalan.

Di kampus pun suasana mencekam. Kami melihat penembak jitu di atas bangunan dan jembatan. Aparat berpakaian gelap berkamuflase di gelapnya hutan. Kami tahu, sekali saja melakukan gerakan mencurigakan, nyawa kami melayang. Kami baru keluar saat suasana dirasa aman. Akupun pulang.

Hari yang mencekam itu berakhir. Keesokan harinya, di kamar kosku aku mengalami paranoid hebat. Empat rekanku dikabarkan mati hari itu. Dan itu cocok sekali dengan pesan di mimpiku. Aku mulai percaya tak lama lagi Dewa Kematian akan datang, aku yakin sekali.

Aku ingat kalau nyawa akan dicabut melalui lubang tubuh kita. Aku yang panik memikirkan hal gila. Aku jahit semua lubang di tubuhku. Mulut, hidung, telinga, dan lainnya. Aku masih ingin hidup, paling tidak sampai reformasi terwujud.

Aku meringkuk saat pintu kosku digedor lalu ditendang sampai rubuh. Aku lega, ternyata bukan Dewa Kematian. Tapi lelaki berambut cepak dan berbadan tegap. Kelegaanku hilang saat sosok itu muncul di belakang orang itu dan mengulurkan senapan padanya. Dewa Kematian. Dia menyeringai puas.

Dewa Kematian bangsat, bedebah, anjing. Dia suruh manusia yang hanya bisa bilang ‘Siap’ dan berhati culas ini menghabisi sesamanya. Dengan senapan itu tidak perlu dari lubang pun nyawaku dapat melayang. Brengsek. Aku mengumpat pasrah saat gagang senapan itu menghantam kepalaku. Aku terkapar. Kemudian aku bisa melihat peluru mengarah ke kepalaku. Satu peluru, lalu dua, lalu….

Aku sudah tidak bisa merasakan tubuhku saat dia diseret ke dalam mobil. Aku melayang, terbang, dan menjadi kunang-kunang. Jiwa dan semangatku beserta semua korban akan abadi sebagai kunang-kunang di kota ini. Menerangi langit muram kota ini sepanjang zaman. Jangan lupakan kami.

Fiksi Memo Tragedi Trisakti, 12 Mei 1998

*****

1 Anak-anak Dewa Ares : Fobos dan Deimos dalam bahasa Yunani artinya ketakutan dan teror
2 Straitjackets : Jaket untuk orang-orang yang dikhawatirkan melukai diri karena alasan kejiwaan



IndraRama
Kamar Kos dan Semua Khayalan, 12 Mei 2014 00.12

Tidak ada komentar :

Posting Komentar