Sabtu, 17 Mei 2014

Joang

Sedikit-sedikit kesadaran mulai tereja penuh oleh Maeda. Bercak-bercak warna perlahan mengkudeta cahaya putih yang dari tadi memenuhi syaraf optiknya hingga habis. Kaget, kata sifat pertama yang muncul setelah semua indera dan kesadarannya pulih.

Kapal-kapal dengan layar besar ada di depannya. Dengan bendera merah-putih-biru dan lambang huruf yang tersusun pada warna putihnya. VOC, ia membaca lambang itu. Orang-orang bebadan kurus dan berkulit gelap terlihat memanggul karung-karung besar menuju kapal. Orang-orang berkulit putih dan berbadan tegap dengan tinggi lebih seperempat dari mereka, berdiri mengawasi. Suasana asing itu disambut pertanyaan: dimana aku?

Seorang pemanggul tiba-tiba terjatuh tepat di depan Maeda. Refleks, ia mencoba membantunya berdiri. Tapi kejadian itu malah menimbulkan kebingungan baru. Saat ia mencoba menyetuh, tangannya hanya menembus tubuh padat orang itu. Dicobanya lagi, tetap sama.

Mata Maeda mengedar panik. Benar, selain dia bisa nembus, ternyata tidak ada yang peduli dengan kehadirannya. Padahal Maeda seharusnya begitu nyentrik diantara kedua ras itu. Dengan kemeja dan celana jeans, ditambah headset yang menggantung, ia harusnya menjadi alien. Atau paling tidak ditertawakan karena salah kostum di sebuah pesta bertema klasik.


 “Aku ini apa dan dimana aku ?” Maeda berteriak. Tak ada seorang pun yang menoleh. Tanpa tahu bersumber darimana, sebuah jawaban muncul di otaknya.

Pelabuhan Sunda Kelapa, Jayakarta, masa Kolonisasi VOC di Indonesia. Masa dimana Belanda mulai menancapkan kuku-kuku penjajahan. Masa monopoli rempah-rempah dan sumber daya dimulai. Maeda berkesimpulan atas jawaban itu. Dia ada di masa lalu, hanya sebagai bayangan atau makhluk halus atau apalah. Tidak semudah itu dia puas. Lebih skeptis lagi. Bagaimana aku bisa disini?

Hening kali ini, memorinya tidak pernah menyimpan data untuk pertanyaan ini.

Maeda memilih mencari jawaban. Sendiri, karena tak ada yang bisa ditanyai bahkan melihat dirinya pun tidak. Kalaupun ada yang kebetulan bertemu mata dengannya, paling-paling mata itu menatap orang di belakangnya.

Maeda berjalan mendekati kapal dan menelitinya. Kayunya yang kokoh melapisi lambung kapal. Dari haluan hingga buritan berjejer orang-orang Belanda berseragam tentara. Tiang-tiang kayu menjulang kokoh dengan layar-layar besar. Kapal itu bermerek Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC. Sesekali tuan-tuan berbaju necis khas kaum borjuis Eropa kuno muncul memberi perintah.

Tapi semua itu tidak menjawab pertanyaannya hingga seberkas cahaya putih muncul di batas jarak pandangnya. Perlahan membesar. Menyatu bagai piksel dalam sebuah gambar digital. Bersama dengan semakin membesarnya cahaya itu, pusing yang kala tadi lenyap perlahan muncul lagi. Perlahan menjajah sel-sel di kepala Maeda. Terus terasa bersama cahaya putih yang semakin memenuhi pandanganya.

Maeda tidak bisa menahan sakitnya. Badannya tersungkur dan tertumpu pada lututnya. Tangannya memegangi kepala. Padangannya hanya cahaya putih menyilaukan. Suara dengus nafas orang-orang lenyap.

*****
Sebuah urutan yang sama terjadi. Cahaya putih dan pusing perlahan hilang lagi bersamaan. Perlahan matanya terjaga lagi. Kali ini Maeda berada di sebuah rumah tua. Di sekelilingnya adalah orang Belanda dengan wajah payah, tegang, dan waspada. Senapan, granat, dan ribuan peluru bagai furniture wajib penyambut tamu.

Seakan lupa bahwa dirinya tak dihiraukan, Maeda merangkak  dan meringkuk ketakutan di pojok ruangan. Jika ia ada di zaman penjajahan, maka artinya ia ada di tempat dan waktu yang sangat salah. Kebingungannya bertambah dengan: kenapa ia ada di sarang musuh.

Maeda diam dan sadar “penderitaannya” belum berakhir. Ia teringat hidupnya yang entah sejak kapan mulai menghilang. Ia mulai menangis merasakan kesendirian yang sangat nyata karena tidak ada yang merasakan kehadirannya, sementara ia dengan jelas merasakan mereka.

Stil, ze kwamen. Diam, mereka datang,” bisik seseorang yang melihat cahaya dari dalam hutan. Mendadak Maeda mengerti bahasa Belanda.

Ze niet zichtbaar, spookachtige. Mereka tak terlihat, seperti hantu.”

Maeda bangkit bersama para tentara yang serentak siaga. Mereka bersiaga di celah-celah jendela dengan posisi  siap menekan pelatuk senapan yang mereka peluk. Mata tegang, keringat dingin, dan tremor mengisi wajah-wajah kaukasoid mereka. Mereka bersiaga di semua arah mata angin, menatap tajam pada gelapnya hutan.

Indien Diponegoro die leidde, we dood. Jika Diponegoro yang memimpin, matilah kita.” Kata seorang prajurit yang terlihat muda sambil membuang nafas panjangnya.

Doorr… suara senapan menghentikan udara di ruangan itu. Suara itu jelas dari dalam ruangan. Tapi malah tentara yang menjadi sumber suara itu yang terkapar. Darah mengucur dari dahinya. Mati. Perang dimulai. Perang Jawa, Perang Diponegoro, De Java Oorlog. Pemberontakan terbesar di Jawa.

Benar saja, sekompi pasukan dan kuda datang menyerbu tempat itu dari segala sisi. Menggentarkan tentara-tentara disini. Diantara pasukan itu, Maeda melihat sosok yang dikenalnya dari patung di kampusnya, patung di Monas, dan lukisan karya Raden Saleh. Dialah Pangeran Diponegoro.

Maeda mulai bisa menerima dirinya. Melihat semangat bangsanya, ia berdiri, mengepalkan tangan dan berlari mendobrak ketakutan untuk bergabung dengan pasukan Jawa. “Maju, Serang!” Teriaknya lantang.

Sebuah peluru mengarah ke tubuh Maeda tepat di jantungnya yang seketika itu berhenti sesaat. Nafasnya tertahan oleh kengerian yang merengkuhnya. Tetapi perluru itu hanya menembus dan mengenai pejuang di belakangnya. Ia melihat banyak mayat dan darah yang mengalir dari kaki, kepala, jantung, perut dan organ lainnya. Jeritan kesakitan melolong meretas malam.

“Maju! Sadumuk bathuk, sanyari bumi bumi ditohi tekan pati! Sejari kepala, sejengkal tanah dibela sampai mati!” Sang Pangeran Diponegoro membakar semangat para pejuang. Mata Sang Pangeran bertemu mata Maeda dan membakar habis kengeriannya. Pejuang yang gugur dilihatnya tersenyum. Merekalah bunga-bunga di musim gugur. Memberi kesempatan bagi bunga-bunga baru musim semi. Tubuh mereka bagai musim dingin, tapi semangat mereka adalah musim panas. Yang masih hidup pun berperang dengan gagah, peluru yang datang mereka songsong dengan senyuman dan semangat perjuangan.

Sebuah siklus terjadi lagi. Cahaya putih muncul lagi dengan kondisi yang sama. Tapi, kali ini Maeda tampak siap sambil menahan sakit kepalanya. Begitu juga dengan sang cahaya, tampak bersahabat mendatang kemudian membawanya.

*****
Maeda dibawa berkeliling menapaki sejarah. Cahaya itu kali ini ia anggap sebagai cahaya Tuhan. Hadir untuk memberi makna baginya di dunia nyata yang entah akan kembali atau tidak, ia pun belum yakin.

Perang Maluku atau Perang  Saparau, Maeda hadir di depan tiang gantungan Thomas Matulessy atau Kapitan Pattimura dan kawan-kawannya. Pada Perang Aceh ia bertemu senyum dengan Cut Nyak Dien dan Teuku Umar. Pangeran Antasari dengan Pasukan Banjar-nya menumpas Belanda dengan gagah di depan matanya. Perang Padri di bawah Tuanku Imam Bonjol pecah di sekelilingnya. Bentuk persatuan antara kaum adat dan kaum agama demi membela satu kata. Nusantara. Ia berteriak “Serang!” bersama Sisingamangaraja XII pada Perang Tapanuli atau Perang Batak. Dan, senyuman Sultan Hasannudin di Makasar kala menjemput ajal begitu menyejukan jiwanya.

Cahaya itu terus membawa Maeda melihat senyuman-senyuman pejuang Indonesia. Senyuman perjuangan dan senyuman menghadapi kematian demi segenggam tanah dan setetes air milik Ibu Pertiwi. Hingga akhirnya Maeda tiba pada sebuah momen sakral bangsanya.

*****
“…Atas Nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.” Tepat di depan rumah di JL. Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Penggalan kalimat proklamasi ia dengar. Begitu nyata, begitu menyentuh, begitu… serba begitu. Sang Merah Putih melaju menyongsong angin. Darah, air mata, lolongan, penindasan, semua meriringi bersama lagu Indonesia Raya. Maeda menghormat bendera. Hormat terbaik selama 23 tahun hidupnya. Jiwanya bergetar, bulu kuduknya meremang, tiap butir air matanya menetes dan melebur bersama tanah yang akhirnya berhasil direbut dengan penuh perjuangan.

Inilah pondasi. Jembatan emas menuju Indonesia merdeka. Setelah ini, Merah Putih akan selalu berkibar di setiap bentuk perjuangan. “Merdekaaaa!” Teriak Maeda dengan lantang menyambut larik terakhir Indonesia Raya. Indonesia memang baru lahir, tapi Indonesia tak gentar bertolak pinggang dibawah matahari. Dan, tak akan berhenti merenungi sinar bulan.

*****
Sekeliling Maeda kembali berwarna. Cahaya putih itu kali ini benar-benar hilang dan meninggalkan rasa kehilangan. Memorinya kembali. Ia ingat sedang berada di ruang terakhir Gedung Joang 45, Cikini. Dirasakannya tubuhnya. Dihirupnya udara. Ditariknya kesimpulan: dunia nyata. Di sentuh pipinya, basah. Air matanya masih menetes. Ia baru saja melewati batas-batas waktu, bersetubuh dengan peristiwa-peristiwa besar.

Maeda masih mematung di depan poster-poster dan kata-kata Bung Karno. Ia ada tepat di depan kalimat “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Maeda merangkai semua peristiwa yang baru saja ia lalui dalam waktu tak lebih dari setengah jam. Senyum mereka adalah pesan bagi generasiku sebagai pemegang tongkat perjuangan bangsa. Namun sekarang musuhnya berbeda. Musuhnya adalah orang-orang yang berdiri dan minum dari tanah dan air yang sama. Dan yang pernah bersumpah di bawah kain yang sama.

Tak bisa kita mengusir mereka. Rumah mereka disini juga. Hanya ada satu cara. Enyahkan mereka ke alam lain. Demi peluru di dada, demi merahnya darah, demi putihnya jiwa, dan demi Ibu yang diperjuangkan. Maeda tersenyum. Ditatapnya poster Bung Karno. Dan Bung Karno pun tersenyum penuh harapan.


Maeda melangkah meninggalkan museum. Menyongsong terik matahari. Ditatapnya matahari, tajam. Entah menantang, memohon restu, atau berkonspirasi. Sambil membaca kata tengah gedung itu. Joang.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar