Sabtu, 15 Februari 2014

Utang Rasa

“Ini saya kutip dari kata-kata Mbah Sujiwo Tejo. Kata-kata sederhana tapi bermakna dalam mencipatakan harmoni hidup sebagai manusia bukan sebagai produk motivator yang biasanya menuhankan kata ‘Sukses’ secara sempit.”


Rasa ini bukan rasa yang diolah oleh saraf pengecap pada lidah. Yang ada manis, asin, pahit, dan masam. Bukan juga rasa yang ada di truk-truk pengangkut barang. Lali wajahe, eling rasane. Lupa wajahnya ingat raasanya. Kalau itu rasa-nya bisa dinikmati oleh fisik si supir truk dan si tukang servis persneling.

Mungkin kalau ditambah rarangken barung, salah satu imbuhan dalam tata Bahasa Sunda yang artinya gabungan rarangken hareup (prefiks) dengan rarangken tukang (sufiks), jadinya kata “Pe-rasa-an”. Lebih terdefinisi kan “rasa” yang dimaksud? Perasaan, itu rasa yang abstrak yang semuanya tergantung bagaimana kita mengolahnya. Biasanya itu karena kita berinteraksi dengan orang bukan dengan komputer atau gadget.

Utang disini beda dari utang-utang lain. Beda dengan utang buat bayar anak sekolah, utangnya si budi, utang rentenir, kredit, apalagi utang-utang Nusantara ke Nusanturu yang sebenarnya bisnis yang menjerat anak cucu. Ngawur aja, nih. Namanya juga beropini sambil beropium.

Jadi seperti apa utang rasa itu? Utang rasa itu ketika kita merasakan suatu pancaran kosmis dari apa yang orang lain lakukan. Bukan hanya orang, bisa juga alam, lingkungan dan apa saja. Walaupun itu bukan merupakan bantuan, apalagi yang bungkusannya pakai bendera partai. Reminder. Bahkan kadang tidak secara langsung bersinggungan dengan kita. Tinggal kita yang memilih merasa atau cuma biasa saja.

Contohnya. Waktu kita lagi panas-panasan nunggu busway yang harga jalurnya satu juta per kendaraan, tiba-tiba ada cewe, nih, cantiknya kayak Dewi Widowati yang menitis ke Dewi Sinta. Terus pas kita ngelirik, hati kita merasa adem ayem melihat cahaya bulan dari matanya yang sorotnya seluas samudera. Nah, itu sudah utang rasa. Bagi yang bisa merasa dan fair mengangapnya utang.

Pada kesendirian saya ke negeri tempat pemujaan Dewa Shiwa, Dieng. Saya meningkatkan berkali-kali lipat kemampuan merasa saya. Kenapa? Dewean, su, rak ono sing di jak ngomong.

Setidaknya empat orang-orang yang membuat saya merasa berhutang rasa.


Pertama yaitu di Terminal Kampung Rambutan. Adalah seorang calo bus yang mau menipu saya yang saya merasa berhutang rasa keberanian sama dia. Ceritanya, karena saya suka agak tolol, saat turun dari Kopaja, seperti biasa, lah, calo-calo sudah berkeliaran. Biasanya saya langsung menghindar, tapi karena saya mau menguji kemampuan lolos dari jerat calo, saya terima saja ajakannya. Saya bilang mau naik Sinar Jaya, dibawalah saya ke P.O. yang saya lupa apa namanya. Disuruhlah bayar 175 ribu. Bah, Sinar Jaya cuma 80ribu. Eyel-eyelan lah saya sama si calo, sampai terlintas kalo tidak mati, ya, saya pasti babak belur karena saya udah mau menghajar si calo. Akhirnya saya gak jadi beli tapi saya bayar si calo 10ribu. Selesai. Setelah dipikir, saya merasa berani juga sama si calo waktu itu sampai bisa lolos.

Berikutnya sama di terminal tapi Terminal Mendolo, Wonosobo. Terminal yang kalem, bebas calo, ojek pun tidak maksa dan ngejar-ngejar. Disana ada warung makan namanya Cahaya. Ibu penjualnya punya aura kebaikan yang tinggi. Sabar melayani, nyaman dan ternyata saya sudah pernah dapat itu saat pertama saya ke Wonosobo tahun lalu. Tapi baru sekarang saya merasakannya. Kebaikan si Ibu jadi lengkap memenuhi rasa dengan menu “Bacem Babat Iso”-nya. Maknyus. Kangen saya.

Secara naratif, selanjutnya yaitu Pak Eko. Siapa dia? Dia yang akan bareng sama saya dan teman-teman ke Latimojong bulan Mei. Ketemu dia saya merasa dunia jadi sesempit otak Duryudana, sulung Kurawa. Lagi asik ngopi dan merokok di warung di kaki bukit Sikunir. Tiba-tiba ada mobil mau parkir, selintas kelihatan ternyata Pak Eko sekeluarga. Ngpurane pak Eko, tapi yang terlintas pertama bukan Subhanallah atau Alhamdulillah. Tapi, “Juancuk, Pak Eko jebule, kok iso ki lho.” . Nah, sejak itu saya jadi punya teman ngobrol yang saya kenal dan pulangnya saya dapet tebengan.

Terakhir waktu mau pulang. Bareng satu mobil sama bule-bule dari Prancis sembilan orang. Dan pastinya saya ajak mereka ngobrol. Mereka juga ke arah terminal dan mau ke Jakarta. Satu hal dari mereka yang membuat saya merasa kena pukulan jarak dekatnya Bruce Lee adalah saat di terminal. Salah satu temannya menanyakan keberadaan kantor pos karena ingin mengirim kartu pos ke Prancis. Lalu saya bilang kalo kantor pos sudah jarang dipakai di Indonesia karena teknologi telekomunikasi sudah maju. Dia kaget, “Kenapa? Tapi kartu pos dan surat menyurat kan kenangan?”. Mbegegeg saya, diam.

Selain yang saya ceritakan, sebenarnya masih banyak orang-orang dan hal-hal dalam keseharian saya yang saya merasa berhutang rasa.

Utang rasa bagi saya adalah sesuatu yang menyenangkan. Utang rasa juga bisa dibayar. Scope-nya malah bisa lebih luas, bisa pada orang atau apapun. Caranya dengan berusaha membuat orang merasa utang rasa sama apa yang kita lakukan. Kalau belum bisa, tabung saja dulu utang rasanya. Jadi, lebih memilih diam dan cuek atau merasa dan memberi rasa? Kalau saya lebih milih yang kedua, lumayan sedikit mengurangi dosa dari sektor kesombongan.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar