Minggu, 02 Februari 2014

Keluarlah Baduy Luar

“Saya pernah baca blog yang merasa modernisasi pada suku Baduy Luar adalah hal yang bertentangan dengan budaya leluhur. Hmm, benarkah ?”

Welcome Picture
Setelah gagal mengunjungi suku Baduy secara utuh pada perjalanan sebelumnya, saya mengulanginya lagi pada 25 Januari 2014. Kali ini pronoun-nya tidak lagi “Saya”, tapi “Kami”, karena saya pergi bersama tiga orang teman saya. Nanti akan saya ceritakan lagi kebersamaan bersama mereka karena saya mau menceritakan Suku Baduy dan yang mengorbit disekitarnya dulu. Tak ketinggalan polemik modernisasinya.

Orang Kanekes atau Suku Baduy adalah sebuah kelompok masyarakat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Mereka menerapkan prinsip isolasi dari dunia luar. Walau prakteknya, itu hanya terjadi di masyarakat Baduy Dalam secara utuh. Sedangkan masyarakat Baduy Luar yang sebagaimana sudah jadi rahasia umum, sudah membuka diri dengan dunia luar. Bahkan mereka sudah ada yang pakai BlackBerry dan punya Facebook walaupun rumahnya masih memakai bambu dan beratap injuk.

Ironisnya, mereka pakai handphone tapi tidak punya listrik. Jadi mereka nge-cas handphone di luar perbatasan yang ada listriknya. Pemenuhan kebutuhan tersier di atas kebutuhan primer sepertinya. Jadi kesimpulan saya, hanya Baduy Luar yang terluarlah yang sudah memakai fasilitas teknologi. Karena semakin jauh ke dalam, semakin jauh juga akses listriknya. Setuju ?


Masyarakat Baduy Luar tetap memanfaatkan kehijauan alam mereka dalam mencari nafkah. Di luar hasil penjualan kerjianan kain dan aksesoris dan pemasukan dari pengunjung, berbagai hasil sawah dan ladang tetap menjadi modal utama mereka untuk ditukarkan rupiah untuk makan dan kebutuhan lainnya. Beberapa untuk beli pulsa. Hehehe.
Kehidupan Berladang dan Bersawah

Walau begitu, di beberapa kegiatan, sinergi mereka dengan alam hilang. Contohnya, walaupun mandi di sungai, mereka menggunakan sabun kimia yang dilarang di Baduy Dalam karena alasan pencemaran sungai.

Warna hijau di Baduy Luar sudah tidak lagi hanya terlukis di alamnya. Pakaian yang mereka gunakan sudah baju-baju modern dengan sablon dan warna kain yang tentunya tidak hanya hijau. Salah satu produk yang mereka hasilkan juga hasil tenun dengan benang warna-warni. Kata Pak Syarif (warga Baduy Luar), tenun disana tidak memiliki corak dan filosofi khusus khas Baduy. Makanya harganya di pameran kerajianan nasional jauh lebih murah dari tenun-tenun Sumatera seperti Ulos dan Songket.

Tapi sudahlah, jangan hanya menghakimi pergeseran budaya di masyarakat Baduy Luar. Toh, budaya adalah sesuatu yang bergerak. Karena pergeseran itu juga kita bisa mengenal masyarakat Baduy dan berkunjung kesana untuk mencari pengalaman atau sekedar update media sosial. Jadi kalau boleh saya luruskan, masyarakat Baduy Luar (yang paling luar) adalah portal antara dimensi kita dengan dimensi Baduy Dalam. Dimensi 16M Color-nya Galaxy S4 dengan dimensi monochrome-nya Nokia 3310.

Dengan adanya pengunjung tentu membantu kehidupan sehari-hari mereka. Apalagi, Pak Syarif, yang pernah jadi penghubung Baduy dengan Pemda, bilang, Baduy adalah salah satu sumber pemasukan Provinsi Banten dari bidang pariwisata. Tak tanggung-tanggung pada tahun 2013, Baduy harus setor ke Pemda sebesar 10 juta rupiah. Dan disitulah tentu saja sikap membuka diri dengan dunia luar dibutuhkan. Karena tiket masuk saja katanya tidak bisa meng-cover angka tersebut.

Tenun
Mereka harus mencari dana lewat pameran, tip-tip pengunjung, bahkan sponsor. Santai saja, walaupun kita memberi tip besar pada Pu’un (pimpinan tertinggi adat Baduy) sekalipun, tidak akan dianggap gratifikasi dan ditangkap KPK, kok.

Pendapat terakhir saya, asalkan jangan sampai ada warnet dan game online di Baduy. Maksudnya tetap menganut pada budaya leluhur dengan teknologi sebagai fasilitas untuk terus melestarikan budaya tersebut. Dalam skala lebih besar, Jepang, walaupun terkenal dengan teknologinya, masih tetap terkenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kebudayaan leluhurnya. 


Tidak ada komentar :

Posting Komentar