Jumat, 07 Februari 2014

Haduh!

Aku sedang tidak ingin menulis. Tulisan perjalanan sudah di post semua. Mungkin ada segelintir orang yang menikmati hasil tarian jariku. Diatas deretan huruf di keyboard komputer yang entah kenapa urutan hurufnya seperti ini. Ah, pembeli komputer mana yang mau peduli. Darimana pun itu berasal. Perjalanan pun belum dimulai lagi di tahun yang bukan tahun kabisat ini. Kenapa ada kata kabisat? Aku sendiri tidak tahu, Tangan dan, apa ya, bersekongkol menghasilkan sesuatu yang ngawur. Ngawur saja. Bukan Ngawur Karena Benar seperti bukunya Mbah Sujiwo Tejo.

Ceracau, Meracau. Yak, lebih tepatnya itu yang akan saya lakukan malam ini. Entah malam ini malam minggu keberapa selama hidupku. Kesendirian sedang hinggap lagi setelah hari-hari sebelumnya ada saja dering HP yang mengisi. Kali ini bahkan lagu-lagu yang kuputar pun ikut mendukung kesunyian di kamar dan mengasahnya menjadi parang tajam yang menikam.

“Tapi kan tidak sunyi?” sebagian diriku, mungkin otak, nyeletuk berbicara. “Kamu punya internet dan tentu saja dunia dapat kau lihat dari 14 inch laptopmu.”

“Hay bung, naif sekali teorimu, lihatlah perasaannya penuh kesunyian.” Aku yakin suara bernada agak bijak dan mendayu namun sejuk ini adalah hati.

“Ini fakta teman, lihatlah aku lebih digunakannya dalam kehidupannya. Dia bekerja menggunakanku. Tanpa aku apa dia bisa dapat uang.”

“Jangan ngaco kamu, lihat dong motivasi dan semangatnya tiap pagi. Karena apa menurutmu ?”

“Karena doronganku, untuk terus menatap laptopnya.”

“Telaah lah lagi, ada perasaan begitu kuat memotivasinya untuk terus menjalani hdupnya. Ada wanita yang walau dia cuma diam tapi memotivasinya, itu karena aku. Asmara.”

“Sudahlah.” aku menengahi mereka. “Aku hanya ingin meracau, kenapa kalian ikut-ikutan berdebat.”

 Aku memang di depan laptop dengan dunia dan berita di tiap pixel layarnya, tapi aku sedang melesatkan jiwaku ke galaksi yang bahkan tidak dapat dicari di Google Al-Alim, Google Yang Maha Mengetahui.
Aku memang bisa saja tidak kesepian, hai, otak. Kemampuanmu berpikir, berencana, dan berimajinasi memang nomer satu. Aku dapat semua prestasi juga karena kamu.

Tapi tak adil rasanya hanya kamu yang aku asah. Hati, jangan kecilkan hatimu. Porsi dan hargamu sama dengan otak. Bahkan di warung padang dekat tempatku tidak jual otak, hanya jual hati ayam dan hati sapi. Kamu tolol ya? Apa hubungannya? Namanya juga sedang meracau.

Memang malam ini tidak sunyi, tapi itu karena otakku menganalisa dan melihat. Coba ganti dengan hati yang merasa. Pastilah kesunyian malam sedang menertawakanku dari sana. Dengan senyum sinis hitam tanpa hiasan. Ia mungkin sedang cekikikan disana.

Baiklah. Aku memang sedang sunyi. Tapi paling tidak aku masih bisa meracau. Sejenak mengatasi kesunyian dengan berkata yang mungkin tidak bagus untuk dikatakan. Apalagi dimaknai.

“Jadi mau kau bawa kemana tulisanmu ini?” Kata hati dan otak yang mendadak akur dalam satu kalimat.
Betul, dari tadi aku hanya berbicara tidak karuan tanpa ada pesan yang jelas.

Aku tidak tahu menangagapi mereka berdua. Bahkan kedua hal penting dalam diriku sudah mulai mengkritik ceracauku ini.

Sebenarnya aku ingin menggambarkan suasanaku dan kamarku. Gejolak antara logika dan perasaan. Asmara. Aku liat dari media sosial, ada seekor burung mungil yang dulu selalu tersangkar di dalam jiwa dan batinku, kali ini mulai merajut sarang baru di jiwa dan batin burung jantan lain.

Kalau otak sedang bekerja sama, maka aku dapat berfikir begini.  “Sudahlah, kamu jangan jadi sepi. Pikirkanlah semua yang bisa kau lakukan tanpa burung mungil itu. Kau bisa bebas melakukan yang kau inginkan.”

Tapi tak selamanya otak menang berkelahi dengan hati. Kalau hati yang menang maka aku akan hanyut dalam kerinduan dan kesepian lagi.

Tapi itu mungkin sama-sama tujuannya untuk membuatku bebas melakukan sesuatu. Cobalah ketika hati menang, maka seharusnya ada banyak suasana yang bisa aku tuangkan dalam beberapa lembar halaman kosong microsoft word.

Ah, aku tak lagi peduli otak atau hati yang menang malam ini. Aku hanya ingin meracau. Sudahlah kembali ke pembicaraan ngawurku tadi saja. Kata-kataku terus saja berputar-putar tanpa arah.

Memang aku tidak mencoba stabil malam ini untuk memilih antara otak dan hati yang pertarungannya sedang kuwasiti. Aku hanya ingin menciptakan tulisan yang kelak akan aku baca kembali saat sedang iseng. Atau syukur-syukur ada orang lain yang tertarik untuk ikut menikmati tulisan ini, yang sama sekali tak berbobot. Seperti beras yang dicuci terlalu bersih hingga hanya menghasilkan kebodohan dalam setiap butirnya. Hanya memenuhi otot bukan otak apalagi hati.

Oke, “Hati dan Otak”. Kalian semua adalah dua sisi diriku yang sangat berguna. Imajinasiku dibalut perasaan keindahan dapat menjadi sebuah ….. , apa ya nama yang bagus, yang tidak terarah ini.
Ya sudah mari kita buat kopi untuk kita bertiga sebagai tanda kerjasama kita selama ini.

“Apakah kopi ini untuk ketenangan ?” kata otakku.

“Sepertinya tidak bung, ia ingin larut dan lebih larut lagi dalam secangkir pahitnya kopi.” Timpal hatiku.
Hey, hey sudahlah jangan diperpanjang lagi. Lihatlah karena kalian terus begini langitpun mengajak teman temannya, petir, angin malam, bintang, semesta dan lelaki hidung belang untuk menertawakanku. Bolehlah mereka menertawakanku asalkan ada bulan dengan tubuhnya yang mulus dan molek yang dapat meninggikan birahiku yang akan selalu bangga pada jiwaku.


Makin tidak karuan, namanya juga meracau mungkin juga aku sedang mabuk. Mabuk suasana.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar