Senin, 26 Maret 2012

RIP (REST in PEAK) – GUNUNG MERBABU


Puncak Kentheng Songo 3145 mdpl

Inilah kali kedua saya meninggalkan jejak di kaki langit di Jawa Tengah. Saya harus menunduk untuk melihat awan dan melihat puncak Gunung Merapi, twin tower Sindoro Sumbing, Telomoyo tanpa perlu mendangak ke atas. Kali ini Gunung Merbabu, gunung tertinggi ke-9 di Pulau Jawa dengan ketinggian 3145 mdpl yang saya singgahi. Gunung ini adalah gunung api yang terletak di Kab. Boyolali dan Kab. Magelang.




Kita berempat (saya, mualim, ibnu, dan taufik) bersama menempuh track yang panjang demi mencapai puncak. Selama dalam pendakian saya memetik beberapa pelajaran berdasarkan apa yang kami alami.


1.     Menerawang Masa Depan
Ini berkaitan dengan persiapan, selama pendakian kesiapan kita saya rasa kurang untuk logistik makanan kami hanya berbekal mie instan, roti tawar 10 lembar, dan lauk (telur dan sarden). Disini kita tidak memperhitungkan kondisi track yang panjang dan adanya teman yang mudah lelah dan lapar. Untuk perlengkapan kita kekurangan matras sehingga alam yang dingin menjadi lebih menusuk karena tenda yang tanpa matras. Namun ini menjadi pengalaman berguna untuk pendakian selanjutnya.


2.     Berbagi
Dengan logistik seadanya, kita berusaha bertahan menuju puncak, kita mebagi roti tawar dengan setiap merasa lapar mengambil 2 lembar dan membagi 4. Dan itu membuat roti tawar terasa “manis” dengan toping berbagi dalam keadaan saling membutuhkan. Juga ketika kita diharuskan berbagi matras dan sleeping bag yang hanya ada 1.


3.     Persahabatan dan Kebersamaan


Disana kita mendapat teman baru 4 orang pendaki dari kelompok Trisala, Salatiga mereka sangat bersahabat dan banyak membantu kita. Mereka membagi logistik dengan kita yang dirasa kurang, malam hari ketika jarum dingin menerobos pori-pori langsung ke tulang  kita berkumpul di tenda mereka memasak mie instan untuk makan malam, dan kopi untuk sekedar menghangatkan badan. Benar bahwa mie dan kopi terasa lebih hangat saat kita menikamati bersama dalam ruang tenda sempit diselingi gelak tawa.
Pengalaman saya pribadi yaitu keluar tenda menuju tenda pendaki lain dan berkumpul di tengah api parafin dengan secangkir jahe hangat yang rasanya menakjubkan di tengah angin dan dingin sambil diiringi alunan lagu dengan alat musik ukulele.


4.     Perjuangan
Ini adalah kata wajib dalam pendakian, saya pribadi benar-benar berjuang langkah demi langkah untuk akhirnya sampai ke puncak tertinggi. Dengan berbagai kendala kita berjuang mengatasinya, dari mulai logistik, sepatu teman yang rusak, dan yang paling berkesan adalah semalaman menahan dingin dan terpaan angin yang menyelimuti kita berempat.
Perjuangan tidak lepas dari bagaimana kita menganggap diri kita seperti apa, jika kita mensugesti diri kita untuk bisa melawan semua rintangan untuk mencapai puncak maka kita pasti bisa meraihnya namun tetap realistis dengan situasi dan kondisi. Ketika dingin jika kita hanya diam dan mengeluh dingin maka kita akan terasa semakin dingin, berbeda dengan kita yang bergerak dan berusaha melawan dengan kegiatan, maka dinginakan sedikit terlupakan.


5.     Religi
Nilai religi yang saya dapat terutama adalah rasa syukur dan do’a. Di tengah gunung yang penuh tantangan kita benar-benar disuguhkan lukisan Tuhan yang menakjubkan. Seperti pada puncak dimana sejauh mata memandang saya melihat awan dan puncak gunung-gunung tetangga yang menakjubkan.
Selain itu banyaknya rintangan membuat saya banyak-banyak berdo’a agar dapan mencapai puncak dan pulang ke rumah dengan selamat, walupun harus beribadah ditengah ganasnya alam dan malam.


Pendakian memang tidak hanya kaki yang mendaki, namun hati kita ikut mendaki. Dengan kaki kuat dan hati yang “bersih”, akhirnya saya dan mualim bisa merasakan merebahkan badan dipuncak tertinggi gunug Merbabu ini dan beristirahat sejenak sebelum akhirnya turun dan kembali ke rumah dengan selamat.



Merbabu, 23 - 24 Maret 2012

Rabu, 21 Maret 2012

19 Maret 2012


Teras rumah kontrakan selepas makan, kita membuka perbincangan seperti biasa dengan candaan-candaan pencair suasana yang bisa dibilang belum pernah beku sebenarnya. Tapi ternyata berakhir dengan kejutan buatku. Tepat sebelum pulang seusai adzan maghrib ketika kamu bersiap mengenakan slayermu, kamu bilang “Bismillah, IYA” . Serentak perasaanku tidak karuan, salting dan sebagainya yang bodoh-bodoh pokoknya karena jawaban atas pertanyaanku minggu lalu di rumahmu akhirnya kamu jawab. Tapi jelas aku sangat senang. Hari itu adalah hari kedua aku dan kamu bersikap bodoh dan mati gaya tapi kedua hari itu juga adalah hari yang paling indah buatku dan aku yakin buatmu juga.

Aku bukan anak cinta, artinya aku tidak suka percintaan yang sebentar-sebentar konflik sedikit langsung bubar dan mencari cinta lagi. Aku suka cinta yang berkualitas, aku suka kita saling mencover saat salah satu sedang “begejolak”, aku suka kita saling menghargai kegiatan masing-masing, dan aku suka aku punya harapan untuk itu dari kamu. Aku ingin sayang sama kamu lebih dari aku pernah sayang sama dia. Jangan marah saat baca ini, karena mungkin kamu ga pernah aku ceritakan tentang kehidupan dan perjuanganku dengan dia secara mendetail, karena bener-bener aku ga pengen menceritakannya . Tapi aku benar-benar berharap aku bisa melakukannya lebih buat kamu dan menulis buku baru dengan kita sebagai tokoh sentral. Cukup itu isi perasaanku.

Pagi
Aku mulai suka waktu tersebut karena aku selalu baca smsmu yang menyuruh bangun dan solat subuh walaupun aku merasa benar-benar ga menghargai karena tetap saja kesiangan. Tapi aku selalu bangun dan membaca smsmu, dan kujawab dalam hati “iya makasi” tapi tidur lagi, jangan marah jangan bosan sayang.

Siang
Sombongnya matahari benar-benar luntur saat kubuka smsmu lagi yang penuh candaan dan terkadang ledekan, aku memang suka bercanda aku suka terkadang meledek tapi benar-benar aku bermaksud bikin kamu tersenyum. Sabar sayang kalau aku ledekin kamu.

Malam
Saat santai kamu menjadi pelengkap dengan obrolan-obrolan yang seperti biasa tidak jelas dan biasanya ada sedikit gombalan disana walupun terkadang aku telat bales saat lagi ngegame atau berkumpul bersama teman. Maaf buat itu, semoga kamu mengerti sayang. Sampai tengah malam aku selalu menulis “sweetdream” saat kamu sudah bermimpi.

Jangan anggap ini gombalan, aku benar-benar mengesampingkan logikaku yang biasa kupakai dalam menyelesaikan masalah keteknikan dan benar-benar menggunakan perasanku untuk menulis  ini. Aku ingin seperti lagu Efek Rumah Kaca “Kita berdua tak hanya menjalani cinta, tetapi menghidupi”. Semoga suatu saat di moment paling indah kita bisa baca ini bersama. Jangan pernah anggap aku cowo romantis ya, karena aku ga mau seperti itu, jangan anggap aku orang baik karena aku belum merasa baik, cukup anggap aku seperti smsmu :

“Kamu istimewa , jagoan”

Sabtu, 10 Maret 2012

Suara Sayup-sayup Menyentuhku


Aku tulis sebuah syair
Menemani malam mingguku
Terdengar suara sayup-sayup ditengah obrolan bapak-bapak dan itu menyentuhku
Suara itu bukan berasal dari mulut mereka
Mereka mengobrolkan hal menyenangkan namun surara itu tampak tidak menyenangkan
Sayup-sayup , terdengar mulai keras, dan akhirnya menjadi teriakan parau

Aku tulis sebuah syair
Menemani malam mingguku
Suara itu adalah teriakan jiwa mereka
Teriakan jiwa yang khawatir
Yang kontras dengan obrolan mereka, dengan tawa mereka
Jiwa itu meneriakan hal yang sama “besok keluargaku makan apa, sekolah anakku belum dibayar, hutangku menumpuk”
Jiwa itu terlihat bingung, mereka tidak mengerti apa itu birokrasi
Tapi mereka menjadi korban kebijakan birokrasi
Teriakan itu bagai lolongan serigala dimalam hari, yang tak tahu kepada siapa ia berteriak ditengah gemerlap lampu kota yang gelap

Aku tulis sebuah syair
Menemani malam mingguku
Keesokan harinya jiwa itu masih berteriak cemas
Ditempat kerja, di warung kopi, bahkan saat bercinta bersama istri
Jiwa itu berharap Tuhanlah yang mendengar, namun teriakan membentur dinding birokrasi dan terpantul kembali
Seorang datang dan menjalin percakapan dengan jiwa yang berteriak
“Tak berguna kalo jiwamu yang berteriak, teriaklah dengan mulutmu”
“Aku bisu, aku dibisukan karena teriakan mulutku tidak ada yang ia dengar”
“Kalau begitu dengarkanlah perkataannya saat pidato atau berkampanye , mungkin kamu bisa tenang”
“Aku tuli karena tidak pernah mendengar suara yang jelas, hanya keputusan dan perkataan yang mengambang yang kudengar”
“Gunakanlah matamu dan lihat apa yang mereka kerjakan untukmu”
“Aku buta, aku tidak melihat apapun yang ia lakukan bisa menentramkanku, aku dibutakan oleh transparansi mereka yang memantulkan sinar matahri langsung menuju mataku”

Aku menulis syair
Menemani malam mingguku
Sambil  mendengarkan teriakan jiwa yang khawatir yang bersatu seperti paduan suara yang tak pernah pentas



Semarang, 10 Maret 2012, 20 : 05
Pradhany Widityan Indrarama