Kamis, 18 Juni 2015

Kutuntaskan Kerinduanku, Suryakencana

Sama seperti dendam, kerinduan juga harus dituntaskan. Sastrawan Eka Kurniawan mengatakan itu. Rindu memang tidak berupa. Rindu ada dalam hati tiap manusia. Hilang dan muncul meminta untuk selalu di tuntaskan. Kerinduan bukan soal puisi yang dibuat kala hujan. Kerinduan soal memori yang muncul dan meminta untuk diulangi.
Suryakencana. Padang yang luas di kawasan Gunung Gede Pangrango itu selalu menjadi rindu bagi siapa saja yang pernah menginjakkan kaki di sana. Menikmati dinginnya udara. Melawan kencangnya angin. Menikmati aroma bunga-bunga. Meresapi indahnya edelweis yang berjajar. Kemudian bersemangat menyambut matahari bangun dari tidurnya.

Cerita Para Gajah di Way Kambas

14327813861347280413
Kawanan Gajah Way Kambas (Dok. Pribadi)



Perjalanan bukan hanya soal sunset atau sunrise yang indah. Perjalanan adalah soal melihat, berinteraksi dengan orang, belajar dan terutama memperkaya pengalaman.

Hari sudah semakin siang. Suhu Matahari sudah panas menantang. Jalanan kota Lampung sekitar terminal Rajabasa harus segera kita tinggalkan.

“Kita harus secepatnya ke sana. Paling tidak saat malam kita sudah ada di penginapan.” Kataku pada Winda.

Aku menunjukan pesan dari temanku. Aku menjelaskan sedikit tentang Lampung Timur yang santer diberitakan akan banyaknya tindak kriminal disana. Bergegas kita menuju terminal. Mencari bus agar tiba disana sebelum gelap.

Apakah preman dan calo di terminal adalah pekerjaan paling kotor? Tidak juga. Tak jarang yang berseragam pun harus diberi “uang rokok” saat kita meminta bantuan yang seharusnya memang sudah tugasnya. Di terminal Rajabasa, kita diantar oleh petugas ke tempat bus Damri yang menuju Way Jepara. Kemudian secara terang-terangan dia meminta uang rokok. Ya, walaupun kita terbantu dan bebas dari calo terminal, tapi bagiku tak seharusnya petugas mengemis untuk sekedar membeli rokok.

Lampung, Kota dan Wajahnya

Cerah. Matahari menyeruak masuk lewat ventilasi rumah.  Mengetuk mata untuk kembali terjaga dan memulai aktifitas.  Pukul tujuh pagi, hari Senin dan setelah long weekend adalah saat yang paling tepat menyebut “I Hate Monday”. Aktifitas bersama sang waktu dan hasrat kesuksesan yang selalu tak bisa kompromi dimulai.

Aku dan Winda ikut terbangun karena waktu tinggal di rumah teman kita yang kita tumpangi sudah harus berakhir. Rasanya malas. Tapi memang harus. Jeje dan keluarganya, teman kita yang memberi tempat bermalam dan makan, harus mulai bekerja. Sebabnya, kita harus juga ikut memulai aktifitas. Untunglah bukan ikut bekerja, namun memulai lagi langkah kita mencari secarik keindahan di ujung selatan tanah Sumatera. Lampung.

Wajah Kota

Matahari bersinar cerah. Kita kembali “hidup” di jalanan setelah turun dari mobil Jeje yang mengantarkan kita sampai kota. Berada di Lampung rasanya seperti berada di Jawa. Orang-orang yang saya temui di jalan bisa berbahasa Jawa. Itu adalah efek Lampung yang merupakan tujuan transmigrasi. Bahkan sejak zaman kolonial, Lampung telah jadi tujuan pemerataan jumlah penduduk yang membludak di Jawa.

Keindahan dalam Memori Bencana


Mendengar namanya kita akan teringat salah satu bencana dahsyat yang pernah terjadi di Indonesia. Letusan gunung berapi yang terjadi pada tahun 1883 mencatatkan nama Gunung Krakatau dalam memori bencana-bencana alam dahsyat yang pernah dialami umat manusia. Sekarang, nama itu begitu menjual bagi para pecinta jalan-jalan.

1431137048786266703
Gunung Anak Krakatau (Dok. Pribadi)

Sebenarnya bukan Gunung Krakatau yang akan dikunjungi. Gunung Krakatau sendiri sudah menghilang seiring letusan dahsyat yang berkekuatan 30.000 kali bom Hirosima-Nagasaki itu. “Anak”-nya dan keindahan Selat Sunda lah yang sekarang menjadi daya tarik wisata.

Keinginan untuk menjajal keindahan dan sejarah yang disajikan pun menarikku dan teman-temanku berkunjung ke sana. Menempuh perjalanan dari Jakarta, kita menghabiskan waktu tiga hari dua malam (1-3/5) untuk menikmati rentetan keindahan di sana.

Setelah menyebrang dari Merak menuju Bakauheni kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat menuju Pelabuahan Kalianda, kita kemudian menggunakan kapal sewaan berupa kapal nelayan dengan kapasitas maksimal tiga puluh orang.

Minggu, 07 Juni 2015

Belajar Menjadi Indonesia dari Sitor Situmorang

“Bulan di atas kuburan”

Satu kalimat itu mungkin adalah satu hal yang paling mudah diingat dari sosok sastrawan asal tanah Batak, Sitor Situmorang. Itu bukan penggalan, melainkan memang isi (satu-satunya isi) dari puisi yang berjudul “Malam Lebaran”.


Bulan Di Atas Kuburan
Namun, bukanlah maksud untuk mengkaji puisi itu, saya menulis tentang Sitor. Bukan pula hanya karena bungsu dari sastrawan Angkatan ’45 ini sudah selesai bertugas “menasehati” manusia di bumi pada 20 Desember 2014 lalu.

Sitor yang berada pada masa yang sama dengan penyair sableng Chairil Anwar, yang kemudian namanya melambung setelah Chairil mati muda, memiliki pemikiran, ideologi, metode, dan jalan yang dibutuhkan oleh generasi sekarang untuk “Belajar Menjadi Indonesia”.

Tema itulah yang diangkat pada diskusi dengan narasumber Giat Wahyudi dan Radhar Panca Dahana dan JJ Rizal sebagai moderatornya. Diskusi ini berlangsung pada 21 April 2015, sebagai salah satu dari rangkaian acara “100 Kenangan Sitor Situmorang” yang diadakan di Taman Ismail Marzuki pada 20-22 April 2015.

Kamis, 04 Juni 2015

Membangunkan Matahari di Atap Jawa Tengah

Atap Jawa Tengah. Bukan sesuatu yang berlebihan menyematkan julukan tersebut pada Dataran Tinggi Dieng yang membentang di daerah Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah. Secara etimologis, nama Dieng saja sudah berarti tempat bersemayamnya para dewa yaitu dari kata “di” yang berarti tempat, dan “hyang” yang berarti dewa.

Para Pendaki (Dok. Pribadi)
Magnet wisata tempat ini memang begitu kuat. Tak hanya wisatawan lokal, wisatawan luar Jawa Tengah dan wisatawan asing pun tertarik menikmati kawasan yang serba hijau dan dikelilingi pegunungan ini. Wisata candi, kawah, dan bagi yang ingin berusaha lebih keras, terdapat juga gunung.

Gunung Prau. Di puncaknya yang luas kita dapat membangunkan matahari dari tidurnya. Menyambutnya untuk mulai bekerja memberi kehidupan di bumi. Sudah pasti rata-rata tujuan para pengunjung gunung dengan titik tertinggi 2.565 mdpl ini adalah mencari sunrise. Fajar. Matahari terbit.

Mendung memang sudah menyelimuti dari tempat kita memulai perjalanan yaitu Semarang. Baru setengah perjalan menuju Desa Tambi yang akan langsung tembus ke jalan utama Dieng, hujan sudah menyambut. Hujan berhenti, kabut turun. Jarak pandang tak seberapa jauh. Namun, perjalanan tetap berlanjut dan tidak ada masalah sampai kita semua tiba di Desa Patak Banteng, dan kemudian disambut hujan cukup deras.