Minggu, 07 Juni 2015

Belajar Menjadi Indonesia dari Sitor Situmorang

“Bulan di atas kuburan”

Satu kalimat itu mungkin adalah satu hal yang paling mudah diingat dari sosok sastrawan asal tanah Batak, Sitor Situmorang. Itu bukan penggalan, melainkan memang isi (satu-satunya isi) dari puisi yang berjudul “Malam Lebaran”.


Bulan Di Atas Kuburan
Namun, bukanlah maksud untuk mengkaji puisi itu, saya menulis tentang Sitor. Bukan pula hanya karena bungsu dari sastrawan Angkatan ’45 ini sudah selesai bertugas “menasehati” manusia di bumi pada 20 Desember 2014 lalu.

Sitor yang berada pada masa yang sama dengan penyair sableng Chairil Anwar, yang kemudian namanya melambung setelah Chairil mati muda, memiliki pemikiran, ideologi, metode, dan jalan yang dibutuhkan oleh generasi sekarang untuk “Belajar Menjadi Indonesia”.

Tema itulah yang diangkat pada diskusi dengan narasumber Giat Wahyudi dan Radhar Panca Dahana dan JJ Rizal sebagai moderatornya. Diskusi ini berlangsung pada 21 April 2015, sebagai salah satu dari rangkaian acara “100 Kenangan Sitor Situmorang” yang diadakan di Taman Ismail Marzuki pada 20-22 April 2015.

Belajar

JJ Rizal bercerita pertemuannya dengan Sitor, Pramoedya, dan Afrizal Malna. Saat itu Pram berkata begini pada Sitor “Negeri ini sedang krisis, tidak ada sastrawan yang karyanya menggambarkan geografi Indonesia.” Sitor menjawab “Sastrawan itu ada di depan Kamu, namanya Sitor Situmorang.” Mereka tertawa.

Ya, Sitor memang semacam artefak yang dalam karya-karyanya menggambarkan Indonesia tidak hanya secara geografis, namun juga secara historis, etnologis, dan antroplogis. Sejarah dan Budaya Indonesia menghasilkan karya yang sinestesis.

Dalam konteks belajar, maka artinya tidak akan ada habisnya. Bahkan Sitor pun pasti tidak secara menyeluruh mengenali Indonesia. Belajar artinya terus menerus. Bukanlah ilmu yang akan habis, melainkan usia yang akan mengakhiri proses tersebut.

Dalam diskusi ini saya mencatat 3 poin penting dalam menjalani proses belajar menjadi Indonesia menurut Sitor lewat para narasumber.

Diskusi

Pertama, erat dengan kawan dan berdamai dengan lawan. Sitor sering melakukan dialog tidak hanya dengan orang-orang yang ideologinya sama dengannya. Sitor yang seorang Sukarnois tidak pernah memaksakan dan merasa ideologinya di Indonesia adalah yang paling benar. Dia selalu berdiskusi bahkan dengan lawan politik dan lawan ideologi sekalipun. Tujuannya agar membuka pikiran bahwa Indonesia dari zaman dahulu terbentuk dari beragam ideologi, yang kemudian dikerucutkan menjadi Pancasila.

Ambil contoh Tan Malaka. Dia dianggap Komunis yang “najis”. Namun diluar itu, sepak terjangnya mengubah pikiran masyarakat Indonesia dari pemikiran berdasarkan hal gaib dan mistik, ke pemikiran berdasarkan logika, benda, dan ilmu pengetahuan yang dibuktikan.

Kedua, bangga menjadi suku bangsa tertentu. Indonesia adalah negara yang terbentuk dari gabungan berbagai macam suku bangsa. Selama kita menganggap semua keragaman suku bangsa yang ada memberikan sumbangsih yang sama besarnya bagi Indonesia, maka dengan itu pula kita telah belajar mengenai Indonesia dalam konteks persatuan.

Sumpah pemuda memang pertemuan dan persatuan pemuda dari berbagai daerah yang dikenal dengan sebutan “Jong”. Sejatinya setelah mengikrarkan diri sebagai “satu”, maka yang perlu kita lakukan adalah mewujudkan “satu” dengan cara kembali ke daerah. Kembali menjadi “Jong” dengan semangat persatuan.

Ketiga, dengan cara pertemuan. Sitor mencontohkan itu pada Giat Wahyudi. Giat kerap disuruh untuk bertemu dengan beragam tokoh dan belajar dari para tokoh tersebut. Dari situlah dia menyimpulkan bahwa belajar adalah dengan cara bertemu orang per orang, bedialog, dan mendapat ilmu.

Radhar menambahkan bahwa belajar Indonesia tidak bisa dari teks atau script. Menurutnya, dewasa ini tidak ada lagi buku sejarah yang benar. Penggambaran sejarah bangsa dalam buku pelajaran semua tergantung pemimpinnya siapa. Pemimpin pendahulunya, apalagi jika berbeda ideologi, otomatis akan “dijatuhkan”, siklus itu akan berlangsung terus dan lama-lama membentuk sejarah yang kita pelajari. Maka dari itu, jalan lain adalah dengan melakukan perjalanan, bertemu orang, dan dari situlah sejatinya kita akan belajar menjadi Indonesia.

Jalan Sitor Situmorang dalam menanamkan ke-Indoensia-an memang bukan jalan yang strategis. Bukan jalan yang secara langsung dapat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Namun, jalan itulah yang dia anggap paling “bersih”. Bersih dari tuntutan zaman yang menuhankan satu kata “beli”. Jalan itulah jalan sastra, kesenian, dan kebudayaan yang pondasinya adalah hati nurani dan kebenaran.

Satu-satunya persamaan manusia adalah perbedaan. Begitulah kata Gus Candra Malik, seorang sufi. Perbedaan itulah yang jika disikapi dengan baik akan menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang besar.

Kamu ada, karena Aku ada. Ada Kamu, maka ada Aku. Kita adalah bagian (part of), bukan yang lain (the other). Dan Sitor, dengan penuh luka dan sakitnya, membuka pengetahuan dan jalan bagi kita untuk menempuh jalan itu.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar