Rabu, 05 Februari 2014

Hijau Abu-abu

“Warna, komposisinya menciptakan keindahan bagi dunia. Terlepas dari warna-warni pengunjung, Masyarakat Baduy Dalam memaknai dan melukis kehidupan mereka dengan dua warna.”

Jalan Panjang dan Berliku
Tersedotlah kami berempat oleh gravitasi sebuah dimensi yang baru pertama saya, mungkin kami, rasakan. Perjalanan menembus “dimensi lain” ini tidak seperti fenomena terowongan kuantum (quatum tunneling) dalam ilmu fisika yang secara fiksi diartikan teleportasi atau mesin waktu. Tak ada waktu yang singkat untuk menuju ke dimensi ini, kami harus menempuh jalan bukit yang naik turun tak kurang dari tiga jam. Pergi dan pulang sama saja. Tidak seperti mendaki gunung dimana pergi kita akan naik, tapi pulangnya kita turun.

Baduy Dalam. Dimensi monochrome-nya telah memberikan ketenangan batin walau hanya semalam. Tak berbeda dengan wanita malam yang lekuk tubuhnya dapat dinikmati, Baduy Dalam pun memiliki lekuk tubuh abstrak yang sukses kami setubuhi malam itu. Saya, Adit, Agung, dan Alicia adalah salah empat dari pengunjung lain yang terpuaskan oleh desahan alam malam di desa Cibeo, Baduy Dalam. 

Alicia ini tokoh baru, anak mall, anak gaul, dan baru pertama gabung kami di alam. Bahkan dia membawa boneka Minion untuk tidur. Tapi dia cukup semangat dan tegar menikmati setiap jengkal tanah dan rumput, dipayungi restu semesta berupa langit biru yang berawan putih. Cerah.

Menempuh jalan menuju Baduy Dalam sama dengan teori Dispersi Cahaya. Teori dimana cahaya putih adalah harmonisasi dari warna-warni cahaya pelangi yang terbias pada sebuah prisma. Semakin dalam kami berjalan, semakin berkurang warna-warna yang ada. Tersisa hanya sebuah warna, saya sebut abu-abu, yang jika diurai menjadi harmoni warna bagi kanvas seorang Paolo Veronese, ahli warna dari Itali tahun 1500an.


Tapi kan judulnya ada warna hijau? Ah, benar juga. Hijau saya tarik dari teori diatas. Hijau akan saya artikan lebih religius dan denotatif. Hijau berarti alam. Hasil lukisan Tuhan Yang Maha Artistik. Asma ul husna yang hanya ada di kitab saya. Alam di Baduy Dalam merupakan komponen penting dalam kehidupan. Mereka memanfaatkan dan menjaga relief Tuhan itu dengan sangat bijak. Hanya sesama ciptaan Tuhan yang boleh menikmatinya. Kamera tidak diijinkan menikmatinya.

Masyarakat Baduy Dalam hidup dengan menjaga dan dijaga alam. Bukan hanya slogan yang sok stop global warming, tapi memang realita. Mereka membangun sinergi sedemikian rupa untuk kelangsungan hidup mereka. Tidak boleh ada pencemaran. Pencemaran hanya datang dari pengunjung yang tidak bertanggung jawab. Yang curi-curi demi sekedar bergaya atau membuat badan wangi saat mandi di sungai.

Hari itu kami berempat tiba sesaat sebelum matahari berkemas. Di situlah warna abu-abu Baduy Dalam diterima kornea, disaring intensitasnya di pupil dibantu iris, diteruskan ke retina oleh lensa mata dan ditarik oleh syaraf optik ke otak. Buta warna, padanan kata yang cukup tepat saya rasa. Kebutaan yang indah, karena itulah dimensi yang kami tuju dengan nuansa abu-abunya.

Rumah Baduy
Di sebuah rumah bambu yang sudah disiapkan untuk kami singgahi, kami mengurai asam laktat pada otot yang menumpuk setelah berjalan jauh. Air dari gelas bambu meluncur bebas ke kerongkongan kami. Saya sendiri hanya sok-sokan merasa segar minum dari perkakas alam. Padahal rasa airnya menurut saya aneh.

Sesaat kemudian matahari tersenyum untuk terakhir kalinya hari itu. Langit mulai berdandan serba hitam. Gelap. Senyap. Lenyap. Riangnya aliran air sungai di bawah jembatan di antara jeram melarutkan tubuh telanjang kami, bertiga, dalam kedinginan pukul tujuh malam. Tapi sukses jadi kelas akselerasi untuk menghanyutkan sisa kelelahan kami. Alicia, entah sedang apa di kamar mandi sana.

We are
Malam sudah mantap menyelimuti kehijauan dan keabu-abuan. Setelah makan dan ngopi ditemani temaram cahaya lampu minyak, kegiatan tanpa cita-cita kami teruskan. Duduk berselimut gelap di tengah, mmm, lapangan mungkin.  Bintang tanpa bulan kami nikmati, terkadang ditelan awan lalu dimuntahkan lagi. Suara serangga beradu gelombang dengan senandung lirih Alicia yang, boleh lah disebut menghibur dengan cengkok yang agak jazzy. Obrolan berbalut candaan tercecer di bawah taburan bintang di langit.

Orang Kanekes, menyihir segala warna dengan dua warna yang kontras namun harmonis. Membangun tatanan masyarakat yang damai, alami, dan suasana desa yang malam itu bernada minor.




2 komentar :