Kamis, 10 April 2014

Orasi dalam Orasi

Di sebuah acara kampanye partai. Curahan hati hadirin sejenak mengisi kebosanan mendengarkan orasi.

“Man, aku lagi sedih.”

“Kenapa, Bro?”

Yang disebut “Bro” menerawang dan berorasi tentang kegelisahannya. 

“Aku ngeri. Setelah acara senang-senang dan pemilu selesai. Kita pasti dicampakkan seperti saudara-saudara kita dulu.”

“Padahal, kita rela berpanas-panasan, menahan bau keringat orang-orang, dibuat warna-warni terus diadu. Padahal kita kan sebangsa. Kita juga tidak mengeluh mendengarkan janji-janji politik.”

Si Man hanya mengangguk menghargai dan dalam hati berkata "Hmm."

“Tapi habis ini? Kita paling-paling jadi keset kamar mandi, lap pel, dibuang, atau paling beruntung dipakai orang-orang yang lupa saat pemilu mereka pilih apa dan karena apa.”

“Man, diantara semua atribut partai, kita ini kasta tertinggi. Kita ini kaos partai. KA-OS PAR-TAI. Atribut paling berguna buat manusia. Paling dekat dengan manusia. Paling tahu motivasi mereka datang kesini. Kita beradab, makanya cuma kita yang bisa curhat.”

Yang disebut “Man”, adalah pendengar yang baik. Dia hanya memasang telingnya untuk menampung curhatan teman sekonveksinya itu. Tanpa berkomentar.

“Tapi kita kalah sama atribut lain. Janji-janji, bendera, spanduk. Janji-janji, walaupun yang mengucapkan lupa, rakyat akan selalu ingat. Bendera, bisa dipakai lagi pemilu depan. Spanduk, mereka lebih beruntung jadi tutup warung pecel lele. Nah, kita?”

“Ya sudah, Bro. Takdir kita memang hanya lima tahun sekali dan hidup maksimal lima bulan. Mending sekarang kita dangdutan saja. Sudah mulai, nih. Orang-orang juga sudah semangat lagi.” Man akhirnya menimpali saat melihat Bro mulai kehabisan kata-kata dilanda kesedihannya.

Si Bro, kaos partai yang cerdas, menurut dan ikut bergoyang bersama kegelisahan dan kesedihannya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar