Minggu, 06 April 2014

Bapak Pengangkat Mobil

Mungkin kalian tidak akan percaya ceritaku ini. Apapun alasannya aku harap kalian jangan dulu meremehkan ceritaku. Aku menulis karena aku melihat. Lebih dari mata orang lain. Buktinya, kejadian sehebat ini hanya aku yang menceritakan. Padahal aku di dalam busway bersama penumpang yang jumlahnya dua ratus persen kapasitas kursi.

Ah, aku yakin orang-orang lebih sibuk dengan smartphone mereka. Sibuk dengan obrolan mereka disana. Sibuk dengan emoteicon yang belum tentu menggambarkan suasana hati betulan. Aku yakin, yang seperti itu sering mendengar ceramah yang bunyinya “Kita harus tetap tersenyum sesedih apapun kita, karena kita punya Tuhan”. Dan itu mereka aplikasikan dengan emoteicon.

Aku berkata begitu karena saat itu kebetulan aku sedang tidak pegang handphone. Kalau pun sedang pegang, tetap saja akan ada kata-kata lain untuk mengomentari orang-orang yang hidupnya hanya seluas LCD. Dan tentu saja akan menempatkanku sebagai orang yang paling benar. Jangan protes, ini tulisanku. Jadi Tuhan pun aku mampu disini.

Ceritanya, saat sedang asik bergelantungan di busway, tiba-tiba busway-ku terjebak macet. Pikirku ini biasa karena aturan denda satu juta kan sudah tidak terdengar. Tapi ternyata lain. Aku terjebak di perempatan Duren Tiga. Kondisinya sudah padat sekali. Mungkin jalan disitu kurang makan sayuran hijau.

Oh, aku ingat tweet temanku yang terjebak macet karena kampanye sebuah partai. Betul, ini masih masa kampanye.

Cukup lama aku terjebak disitu. Pengguna motor di bawah mulai beradu klakson. Bagaimana tidak, macetnya di perempatan yang semua sudut akan melewati jalur itu.

Seorang pemotor turun dan terlihat marah-marah pada pengguna mobil. Karena macet atau ditambah iri aku tidak tahu pasti. Dia menyuruh mobil itu untuk mundur agar ada sedikit celah bagi pemotor melewati perempatan itu. Setelah mobilnya mundur jalan tebuka dan beberapa motor lewat.

Beberapa menit kemudian celah itu kembali tertutup. Seorang pemotor lain turun lagi, mungkin akan melakukan hal yang sama. Tapi aku kaget, ternyata tidak.

Si Bapak berperawakan wajar itu mengangkat sebuah mobil. MENGANGKAT. Sendirian. Dia angkat mobilnya, dibawanya ke trotoar lalu diletakkan di dekat situ. Sungguh tidak bisa dipercaya. Seorang bapak paruh baya yang mungkin mengangkat derajat hidupnya saja kepayahan bisa dengan mudahnya mengangkat mobil. Oh Parpol, himpitanmu sungguh sangat keterlaluan. Sampai-sampai kekuatan Tuhan turun tangan mengurai kemacetan.

Aku tercengang. Lebih tercengang lagi karena orang-orang masih saja sibuk dengan smartphone mereka. Tidak ada yang peduli pada mukjizat seorang Bapak. Mereka acuh, dasar.

Yang terakhir paling membuatku tercengang. Ternyata memang hanya aku yang menanggapi kejadian ini dengan sangat sentimental. Karena sesungguhnya, Si Bapak hanya mengangkat mobil-mobilan plastik dengan skala satu banding dua puluhan mobil betulan dan beratnya tidak lebih dari sepersepuluh berat badan Si Bapak.


Macet selesai, busway-ku pun melaju ke halte berikutnya.

2 komentar :

  1. hahahaha
    saya lebih tercengang ketika membaca kalimat " Karena sesungguhnya, Si Bapak hanya mengangkat mobil-mobilan plastik dengan skala satu banding dua puluhan mobil betulan dan beratnya tidak lebih dari sepersepuluh berat badan Si Bapak."
    mntep dan (y)

    BalasHapus