Selasa, 01 April 2014

Cerita Pekerja

Sama sekali tak bisa dilihatnya lagi wajah itu. Semenjak mereka memutuskan pindah dari desa yang hening ke kota yang mengiklankan sejuta cahaya, semua hilang. Keceriaan ayahnya dalam menggarap kebun, bahkan sampai larut malam ketika musim panen tiba, menguap bersama cahaya lampu kota.

Semua karena sengketa lahan yang memenangkan developer perumahan itu merenggut bumi kami. Tak ada pilihan lain. Untuk menjawab rengekan perut dan hidup,  mereka ikut pakde mereka ke kota dan ayahnya bekerja di pabrik. Jadi bos? Tentu tidak, buruh pastinya.

Lama ayahnya bekerja. Berangkat pagi dengan gontai, pulang malam bahkan larut dengan tambah gontai lagi. Apa karena ayahnya rajin bekerja? Bukan. Tak ada lagu dan dongeng lagi menjelang tidurnya. Hanya kasur tipis, bising mesin, dan terkadang orang strees sebelah rumah yang berteriak-teriak. Katanya dia strees karena hutangnya tidak kunjung bisa dilunasi walaupun sudah bekerja keras. Gila kerja membuatnya menjadi gila betulan.


Jangan kira pulang larut itu karena rajin. Tubuh rajin jiwa dirajam. Orang seperti ayahnya bekerja hanya untuk merubah nasib. Loyolitas bukan loyalitas. Hanya bekerja, terus bekerja, bekerja terus. Hanya satu alasan untuk orang-orang pabrik seperti ayahnya menjadi gila kerja. PHK.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar