Kamis, 19 Maret 2015

Pacitan (3) – Symphony di Barat Pacitan

Perjalanan berlanjut (21/3). Ke arah barat menuju pantai-pantai yang seharusnya dikunjungi lebih awal. Setelah sebelumnya sempat mampir ke Pantai Taman, tak jauh dari Pantai Soge, yang termasuk bagian kawasan pantai bagian timur. Tepatnya di Kecamatan Ngadirojo. Disana sebenarnya ingin mencoba flying fox yang panjangnya 400 meter dan melintasi pantai. Namun sayang sekali, hanya dibuka pada hari Sabtu sore dan hari Minggu.

Pantai di kawasan barat yang berbatasan dengan Wonogiri juga menyimpan keindahan yang tak kalah dengan pantai di kawasan timur. Tiga pantai yang kita kunjungi, semuanya mempunyai daya pikat yang berbeda namun tetap sama. Yakni sama-sama lihai dalam memikat wisatawan. Mungkin bagaikan Charlie’s Angels, tiga wanita cantik yang berbeda karakter namun sama-sama memukau penontonnya. Ketiga pantai tersebut secara berurutan dari yang pertama kita datangi yaitu Pantai Buyutan, Pantai Banyu Tibo, dan Pantai Klayar. Ketiganya berada di rute yang sama.


Pantai Buyutan
Jalan rusak dan berbatu, melalui hutan-hutan kecil, lalu tembus ke persawahan yang saat itu sedang bersemi membentangkan warna hijau yang segar, baru sebuah pantai di bawah tebing yang memukau. Sangat memukau. Itulah kronologi perjalanan menuju sebuah karya seni Tuhan nan eksotis.

Pantai Buyutan
Tebingnya yang menjulang seolah menjadi benteng dari sebuah keindahan laut biru nan jernih, pasir putih, ombak riuh, karang yang teguh dan angin yang  sangat genit bertiup.

Gradasi lautnya begitu jelas. Bukan coklat atau putih, namun biru. Betul-betul biru laut dan tosca seperti gambar yang diwarnai dengan crayon atau cat air. Bahkan pasir di tepian dangkalnya dapat terlihat dari atas bukit. Ya dari atas bukit, karena kita harus menuruni bukit melalui jalan yang ada untuk menyapa pantainya.

Terlihat pula sebuah batu karang yang besar di laut. Menjulang membentuk kerucut atau piramida atau apapun yang atasnya lancip. Sehingga bagian atasnya seperti hanya ada satu batu yang merupakan puncak. Terlihat seperti perahu, namun penduduk lebih percaya seperti mahkota. Mitosnya, itu adalah mahkota Batara Narada, sekjennya para dewata di jagad pewayangan. Mahkota itu jatuh saat dia melintasi pantai ini. Lima bintang untuk pantai Buyutan dari kita.

Pantai Banyu Tibo

Kecamatan Donorejo, Desa Widoro, Pacitan, Jawa Timur adalah alamat dari pantai ini. Banyu Tibo adalah bahasa jawa yang jika di-Indonesia-kan artinya air yang jatuh. Sesuai namanya, disini terdapat air terjun kecil yang jatuh ke pantai, kemudian mengalir perlahan ke laut.

Pantai Bany Tibo
Pantainya sempit, namun ramai. Pantai yang bisa dibilang “tak biasa” ini pasti menjadi salah satu tempat yang harus masuk daftar kunjungan di Pacitan. Banyak pengunjung yang berbasah-basahan di bawah air terjun kecil tersebut, ada yang asyik berfoto, bahkan ada sekelompok yang bermain sepak bola di pantai. Keramaian yang pastinya membuat dapur warga sekita tetap ngebul.

Menurut penjaga warung makan yang kami singgahi, di Pantai ini banyak pencari lobster, namun tidak dijual ditempat melainkan dibawa ke pasar. Selain pedagang makanan dan tempat istirahat, pedagang batu akik ternyata juga turut mengais rezeki. Setidaknya dua pedagang batu alam tampak sibuk menjelasakan kepada pembeli yang berkerumun. Pacitan juga dikenal dengan kerajinan batu akiknya, salah satunya daerah Donorejo ini.

Air mengalir sampai jauh, jadinya ke laut. Cocok juga untuk Pantai Banyu Tibo ini.

Pantai Klayar

Pantai terakhir yang kita kunjungi. Sore itu, Pantai Klayar akan mejadi tempat bermalam kita. Pengunjungnya cukup ramai, pedagang yang buka dari malam hingga pagi hari pun ada, parkiran kendaraan memadai, fasilitas seperti kamar mandi dan penginapan cukup banyak.

Kita kembali membuka tenda, kali ini langsung menghadap laut. Menikmati angin sore yang selalu dinanti para pecinta pantai. Berkhayal, bercerita, duduk manis di pintu tenda, sampai membayangkan bentuk awan yang sore itu kita sepakati berbentuk seperti pesawat terbang.


Pantai Klayar
Awan putih mulai berarak. Disapu gelap yang sekaligus menyapu lembayung. Perlahan tapi pasti. Kita tak banyak bicara. Selain lelah, juga karena kita sedang menikmati bulan yang perlahan muncul, bintang yang mulai berformasi menjadi rasi dan laut yang deburan ombaknya tak henti-hentinya bersimfoni.

Akustik. Melodi alam. Musik klasik ala Tuhan. Partitur yang menyusun nadanya sendiri. Mengalun bagai alunan piano Mozart. Mungkin Symphony 40 atau Symphony 25. Ah tidak, ini Symphony 99. Untuk nama suci Tuhan yang saya yakini pandai bermusik juga.

Kembang api yang kita nyalakan sejenak memberi warna pada gelapnya malam. Malam itu, kita kemudian lelap dalam keramaian Pantai Klayar yang tetap bernuansa keheningan dan ketenangan. Menuju pagi, untuk meninggalkan Pacitan dan segala keindahannya. Keindahan yang terbungkus rapi dalam kesahajaan kotanya.


Indrarama

Jakarta, 19 Maret 2015 : 16:27

Tidak ada komentar :

Posting Komentar